Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Selasa, 14 Januari 2014

O 36 : TIGA GOLONGAN YANG TIDAK BOLEH DIJADIKAN SAHABAT

Sentiasa kita memanjatkan puji dan syukur kita kepada Allah subhanahu wa taala yang telah banyak memberikan kepada kita kurnia dan nikmat, terutama nikmat Islam dan nikmat iman. Sentiasa nikmat itu turun kepada kita, akan tetapi sentiasa maksiat itu naik kepada Allah subhanahu wa taala.
Sesungguhnya yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah  qudwah (tauladan).  Dan di antara perkara yang paling penting adalah adanya qudwah hasanah, suri tauladan yang baik yang harus dijadikan sebagai panduan untuk kehidupan kita. Maka ketahuilah wahai saudariku muslimah, Allah subhanahu wa taala telah menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah. Allah berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suatu tauladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat dan banyak mengingat Allah.” 
(Surah 33,  AL AHZAB : ayat 21)

Maka sesungguhnya saudara dan saudariku, seseorang yang mencari tauladan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan binasa. Maka ia pun akan tersesat, kerana petunjuk itu berasal dari Allah, disampaikan kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.

فإن أصدق الحديث كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكلّ محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار

“Sesungguhnya sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru (dalam agama). Setiap perkara baru (dalam agama) adalah Bidaah dan setiap bidaah adalah kesesatan. Pada hal setiap kesesatan adalah berada di dalam neraka.” 
(Kalimat ini disebut dengan Khutbatul Haajah, Shahih dikeluarkan oleh An Nasa’i (III/104), Ibnu Majah (I/352/1110), Abu Daud (III,460/1090). Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal. 144-145)

Oleh kerana itulah, kewajipan kita untuk memilih dan memihak. Mana orang yang boleh dijadikan tauladan dan mana yang tidak. Para ‘ulama dari kalangan sahabat, para ‘ulama dari kalangan tabi’in, para ‘ulama dari kalangan tabi’ut tabi’in dan para ‘ulama setelahnya, mereka adalah orang-orang soleh yang telah menghabiskan umur mereka untuk kebaikan, untuk tetap berada di jalan Allah, untuk berbakti kepada Allah dan agamanya dan untuk membela agama Allah Rabbul ‘alamin. Kewajipan kita untuk mengetahui siapa orang yang berhak dijadikan tauladan. Dan siapa yang tidak berhak dijadikan tauladan. Dengarkanlah firman Allah yang menyebutkan tentang tiga kriteria sifat yang apabila ketiga kriteria sifat ini ada pada seseorang, maka tidak boleh kita jadikan sebagai tauladan. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“…Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” 
(Surah 18,  Al-Kahfi : ayat 28)

Kriteria Pertama

Kriteria sifat yang pertama :

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا.

Maksudnya : 

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami.” adalah orang tersebut menyebut Allah dengan lisannya tapi melupakan Allah dalam hati. Atau hatinya lalai dari al Quran sama sekali bahkan selalu menyelisihinya. Dan sifat orang munafik, mereka tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit saja. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk solat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riak (dengan solat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” 
(Surah 4, An-Nisaa : ayat 142)

Berzikir di sini maksudnya adalah zikir-zikir yang diwajibkan, seperti solat misalnya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“… dan dirikanlah solat untuk mengingat Aku.” 
(Surah 20, Thaahaa : ayat 14)

Seseorang yang solat di waktu siang, waktu petang demikian pula di waktu Maghrib, ‘Isyak dan Subuh, maka ia telah melaksanakan zikir yang wajib.

Demikian pula orang yang meninggalkan zikir-zikir yang sunnah, pun tidak layak kita jadikan suri tauladan. Kerana sesungguhnya yang sunnah-sunnah itu bukan untuk ditinggalkan akan tetapi untuk dijalankan.
Maka dari itulah, orang yang dipalingkan oleh Allah untuk berzikir kepada Allah pasti yang ia ingat selain Allah Subhanahu wa Taala. Sehingga hatinya mengagungkan selain Allah, hanya berharap kepada selainNya, dan tidak bertawakal kepadanya. Cinta pun bukan kerana Allah. Benci pun bukan kerana Allah. Itulah orang-orang yang tidak pernah berzikir kepada Allah Subhanahu wa Taala. Sehingga syahwat menjadi kenderaannya, hawa nafsu menjadi komandannya dan kelalaian itulah menjadi kebiasaannya. Wal iyyadzubillaah.
Maka dari itu Allah berfirman,

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا

“Jangan engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk berzikir kepada Kami.”

Apabila seseorang telah lalai untuk berzikir kepada Allah dan dia berpaling dari berzikir kepadaNya, maka Allah jadikan syaitan sebagai temannya. Allah berfirman,

وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

“Barangsiapa yang berpaling dari berzikir kepada Allah Yang Maha Pemurah, Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” 
(Surah 43,  AZ ZUKHRUF : ayat 36)

Yang dimaksud dengan berpaling dari zikir dalam ayat ini adalah berpaling dari peringatan Allah, iaitu al Quran. Siapa saja yang tidak mengimani al Quran, membenarkan berita yang disebutkan di dalamnya, tidak meyakini perintah yang diwajibkan di dalamnya, dialah yang dikatakan berpaling dari zikir pada Allah dan syaitan pun akan menjadi teman dekatnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Furqon (hal. 43).
Bahkan Allah Subhanahu wa Taala mengancam kepada orang yang berpaling dari zikir ini iaitu al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahawa orang tersebut akan diberikan penghidupan yang sempit di dunia dan akhirat. Allah berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” 
(Surah 20, Thaahaa : ayat 124-126)

Orang yang melalaikan zikir kepada Allah, iaitu berupa peringatan-peringatan al Quranul karim dan peringatan-peringatan dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dampak yang sangat buruk bagi kehidupan orang tersebut. Nasihat, pelajaran dan ibrah dari al Quran dan As-Sunnah tidak bermanfaat lagi padanya, sehingga hatinya pun mengeras. Padahal orang yang beriman, apabila disebutkan nama Allah dia menjadi takut. Padahal orang yang beriman apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah, dia menjadi tambah keimanannya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (kerananya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” 
(Surah 8,  AL ANFAAL  : ayat 2)

Kriteria Kedua

Lalu sifat yang kedua adalah mengikuti hawa nafsunya

وَاتَّبَعَ هَوَاهُ

Al-hawaa. Tahukan kalian apakah itu al-hawaa, wahai ukhti?
Sesungguhnya hawaaadalah jalan yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-hawaa seringkali dimutlakkan oleh para ulama untuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (baca: bidaah). Oleh kerana itulah, mereka sering mengatakan ahlul bidaah sebagai ahlul-hawaa.
Pada sifat yang kedua ini, orang tersebut selalu mengikuti hawaa yakni bidaah yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yang ia cari adalah sesuatu yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ahli bidaah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu, menentang dan memusuhi syariat yang ada.” (Silahkan lihat al-I’tisham karya Asy-Syathibi, 1/61)
Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi[1] berkata, “Saya pernah berkata kepada Imam Asy-Syafi’I, “Sahabat kami, yakni Al-Laits bin Sa’ad[2] pernah berkata, “Jika kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas air janganlah terpedaya dengannya hingga kalian lihat apakah orang tersebut mencucuki al Quran dan As Sunnah.” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Tidak itu saja, semoga Allah merahmati beliau, bahkan jika kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas bara api atau melayang di udara maka janganlah terpedaya dengannya hingga kalian lihat apakah ia mencucuki ajaran al Quran dan As Sunnah.”
(Diriwayatkan oleh As-Suyuthi dalam ‘Al-Amr Bittiba Wan-Nahii Anil Ibtida’)

Di antara barometer atau sifat orang yang berhak kita jadikan tauladan, iaitu mereka yang sentiasa mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kriteria Ketiga

Lalu Allah menyebutkan sifat yang ketiga. Orang yang tidak berhak dijadikan qudwah yakni  :

وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan adalah keadaannya itu melampaui batas.”

Maksudnya, orang tersebut banyak membuang waktu, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Hari demi hari berlalu tapi dia tidak boleh menghasilkan sesuatupun (dari amal ibadah). Di dalam ayat ini terdapat penjelasan pentingnya menghadirkan hati ketika berzikir kepada Allah. Seseorang yang berzikir kepada Allah dengan lisannya saja tanpa menghadirkan hatinya, maka berkah amal dan waktunya dicabut hingga dia merugi dan sia-sia. Kita akan menemui orang tersebut berbuat selama berjam-jam tapi tanpa hasil sedikitpun. Tapi kalau seandainya dia selalu menggantungkan hatinya kepada Allah, maka dia akan merasakan berkah amalnya tersebut.
Kita lihat terdapat dua fenomena yang keduanya merupakan perkara yang sangat menyimpang dari agama. Di satu pihak, terdapat orang yang menyia-nyiakan kewajipan-kewajipan yang telah Allah Subhanahu wa Taala wajibkan kepadanya kemudian ada pihak lain yang  diapun berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menjalankan syariat. Dan ini lebih berbahaya, wahai ukhti. Salah satu contohnya adalah, berlebih-lebihan dalam hal pengagungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu yang ghaib. Dia menganggap bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memberikan manfaat dan mudarat. Contoh lain adalah, pihak yang berlebih-lebihan kepada orang soleh. Sehingga ia menganggap bahawa orang soleh boleh mengabulkan doa, padahal orang soleh tersebut telah mati, orang yang berlebih-lebihan di dalam hal kafir mengkafirkan. Maka orang-orang seperti ini tidak boleh dijadikan tauladan.

Tiga sifat yang Allah sebutkan yang apabila kita terjemahkan tiga sifat ini, maka akan sangat panjang dan mencakup semua keburukan yang ada yang telah Allah sebutkan dalam al Quran dan disebutkan dalam berbagai hadits. Dan ketiga sifat ini tidak boleh kita jadikan qudwah (tauladan).

Maka Kebalikannya, Orang Yang Boleh Dijadikan Qudwah Juga Yang Mempunyai Tiga Sifat. Yang Pertama Adalah Orang Yang Sentiasa Memperhatikan Peringatan al Quran Dan Sunnah Rasul, Serta Zikir Kepada Allah. Yang Kedua Adalah Yang Sentiasa Mengikuti Sunnah Rasululah shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Yang Ketiga Adalah Yang Tidak Menyia-Nyiakan Kewajipan-Kewajipan Yang Allah Wajibkan Kepadanya Dan Diapun Tidak Berlebih-Lebihan (Ghuluw) Dalam Beragama.
Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Footnote :
[1] Beliau adalah Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi Abu Musa AI-Mishri, seorang tsiqah. Silakan lihat Tahdzib At-Tahdzib (XI/440), Taqrib At-Tahdzib (II/385), Al-Jarh wat Ta’dil (IX/243), Wafayaatil A’yan (VII/249) dan Al-Ansab(VIII/288).
[2] Beliau adalah Al-Laits bin Saad bin Abdurrahman AI-Fahmi Abul Harits AI-Mishri, seorang tsiqah, faqih dan imam yang sangat terkenal. Silakan lihat Tarikh karangan Ibnu Ma’in (II/501) dan Siyar A’lamun Nubala’ (VIII/122).
Penulis: Ummu Izzah Yuhilda
Muroja’ah: Ust. M. A. Tuasikal


Tiada ulasan:

Catat Ulasan