Yang membaca jangan
menangis ya? Saya suka postingan ini, meski sudah berulang kali membacanya.
Di sebuah rumah sederhana
yang asri, tinggal sepasang suami isteri yang sudah memasuki usia senja.
Pasangan ini dikurniakan,
dua orang anak yang telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri yang mantap.
Sang suami merupakan
seorang pesara, sedangkan isterinya seorang ibu rumah tangga.
Suami isteri ini lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah, mereka menolak
ketika putera-puteri mereka, menawarkan untuk ikut pindah bersama mereka.
Jadilah mereka, sepasang
suami isteri yang hampir memasuki alam senja itu, menghabiskan waktu mereka
yang tersisa, di rumah yang telah menjadi saksi berjuta peristiwa, dalam
keluarga mereka.
Suatu senja sebelum
memasuki waktu Isyak, di sebuah masjid tak jauh dari rumah mereka, sang isteri
tidak menemukan selipar yang dikenakannya ke masjid tadi.
Saat sibuk mencari,
suaminya datang menghampiri seraya bertanya mesra:
“Kenapa Bu?”
Isterinya menoleh sambil
menjawab: “Selipar Ibu entah ke mana, Pak.”
“Ya sudah pakai ini saja.”
kata suaminya, sambil menyodorkan selipar yang dipakainya.
Walau agak ragu, sang isteri tetap memakai selipar itu, dengan berat hati.
Menuruti perkataan suaminya
adalah kebiasaannya.
Jarang sekali ia membantah,
apa yang dikatakan oleh sang suami.
Mengerti kegundahan isterinya,
sang suami mengeratkan genggaman pada tangan isterinya.
“Bagaimanapun usahaku untuk
berterima kasih pada kaki isteriku, yang telah menupang hidupku selama puluhan
tahun itu, takkan pernah setimpal terhadap apa yang telah dilakukannya."
Kaki yang selalu berlari
kecil membukakan pintu untukku, saat aku pulang kerja.
Kaki yang telah menghantar
anak-anakku ke sekolah tanpa kenal lelah, serta kaki yang menyusuri berbagai
tempat mencari berbagai keperluanku dan anak-anakku.”
Sang isteri memandang
suaminya sambil tersenyum dengan tulus, dan merekapun mengarahkan langkah
menuju rumah, tempat bahagia bersama.
Usia yang telah lanjut dan
penyakit diabetes yang dideritanya, sang isteri mulai mengalami gangguan
penglihatan.
Saat ia kesulitan merapikan
kukunya, sang suami dengan lembut, mengambil gunting kuku dari tangan isterinya.
Jari-jari yang mulai
keriput itu, dalam genggamannya mulai dirapikan, dan setelah selesai sang suami
mencium jari-jari itu dengan lembut, dan bergumam:
“Terima kasih ya Bu.”
“Tidak, Ibu yang seharusnya
berterima kasih sama Bapak, telah membantu memotong kuku Ibu.” balas sang isteri
tersipu malu.
“Terima kasih untuk semua
pekerjaan luar biasa, yang belum tentu sanggup aku lakukan.
Aku takjub, betapa luar biasanya Ibu. Aku tahu semua takkan terbalas sampai bila-bilapun.”
kata suaminya tulus.
Dua titik bening
menggantung di sudut mata sang isteri.
“Kenapa Bapak berkata begitu?
Ibu senang atas semuanya
Pak, apa yang telah kita lalui bersama, adalah sesuatu yang luar biasa.
Ibu selalu bersyukur, atas
semua yang dilimpahkan pada keluarga kita, baik ataupun buruk.
Semuanya dapat kita hadapi bersama.”
Hari Jumaat yang cerah,
setelah beberapa hari hujan.
Siang itu, sang suami bersiap
hendak menunaikan ibadah Solat Jumaat, Setelah bersalam dengan isteri, ia
menoleh sekali lagi pada isteri, menatap tepat pada matanya, sebelum akhirnya
melangkah pergi.
Tak ada tanda yang tak
biasa di mata dan perasaan sang isteri, hingga saat beberapa orang mengetuk
pintu, membawa kabar yang tak pernah diduganya.
Ternyata siang itu sang
suami tercinta telah menyelesaikan perjalanannya di dunia.
Ia telah pulang menghadap Sang Penciptanya, ketika sedang menjalankan ibadah Solat
Jumaat, tepatnya saat duduk membaca Tasyahud Akhir.
Masih dalam posisi duduk
sempurna, dengan telunjuk ke arah Kiblat, ia menghadap Yang Maha Kuasa.
"Innaa Lillaahi
Wainnaa ilaihi Rooji'uun."
“Subhanallah… Sungguh akhir
perjalanan hidup yang indah.” Demikian gumam para jama’ah, setelah menyedari
ternyata dia telah tiada, di akhir solat Jumaat.
Sang isteri terbayang,
tatapan terakhir suaminya, saat mahu berangkat ke masjid.
Terselip tanya dalam hatinya, mungkinkah itu sebagai tanda perpisahan, pengganti
ucapan "Selamat Tinggal."
Ataukah suaminya khuatir,
meninggalkannya sendiri, di dunia ini. Ada gundah menggelayut di hati isteri,
Walau masih ada anak-anak yang akan mengurusnya, tetapi kehilangan suami yang
telah didampinginya selama puluhan tahun, cukup membuatnya terguncang. Namun ia
tidak mengurangi sedikitpun, keikhlasan di hatinya, yang boleh menghambat
perjalanan sang suami, menghadap Sang Khalik.
Dalam doa, dia selalu
memohon kekuatan, agar dapat bertahan dan juga memohon agar suaminya
ditempatkan, pada tempat yang layak.
Tak lama setelah kepergian
suaminya, sang isteri bermimpi bertemu dengan suaminya.
Dengan wajah yang cerah, sang suami menghampiri isterinya dan menyisir rambut
sang isteri, dengan lembut.
“Apa yang Bapak
lakukan?" tanya isterinya senang bercampur bingung.
“Ibu harus kelihatan
cantik, kita akan melakukan perjalanan panjang.
Bapak tidak boleh tanpa Ibu, bahkan setelah kehidupan di dunia ini berakhir
sekalipun.
Bapak selalu perlukan ibu. Saat disuruh memilih pendamping, Bapa bingung,
kemudian bilang, "Pendampingnya tertinggal, Bapakpun mohon izin untuk
menjemput Ibu.”
Isterinya menangis, sebelum
akhirnya berkata:
“Ibu ikhlas Bapa pergi,
tapi Ibu juga tidak boleh berbohong, kalau Ibu takut sekali tinggal sendirian.
Kalau ada kesempatan mendampingi Bapak sekali lagi, dan untuk selamanya, tentu
saja tidak akan Ibu sia-siakan."
Sang isteri mengakhiri
tangisannya, dan menggantinya dengan senyuman.
Senyuman indah dalam tidur
panjang selamanya.
هُنَّ
لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
"Isterimu itu adalah
'Bajumu' dan Suamimu itu adalah 'Bajumu' pula."
(QS Al-Baqarah: 187)
Semoga boleh mempererat
cinta kasih yang sejati pasangan suami isteri kerana Allah SWT.
Yaa Rabb... jadikan keluarga kami Sakinah
Mawaddah wa Rahmah, matikanlah kami dalam keadaan Husnul Khatimah...Aamiin…..