Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Sabtu, 29 Disember 2012

K 130 DUA PULUH LAPAN Kitab Karangan Imam Al-Ghazali.




Al Ghazali, sang Hujjatul Islam.

Puluhan karya yang ditulisnya merupakan bukti kecerdasan dan keluasan ilmu yang dimiliki Al-Ghazali. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii atau lebih dikenal dengan nama Imam Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh Muslim terkemuka sepanjang zaman. Ia dikenal sebagai seorang ulama, filsuf, doktor, psikolog, ahli hukum, dan sufi yang sangat berpengaruh di dunia Islam. Selain itu, berbagai pemikiran Algazel–demikian dunia Barat menjulukinya–juga banyak mempengaruhi para pemikir dan filsuf Barat pada abad pertengahan.

Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sungguh fenomenal. ”Tak diragukan lagi bahawa buah fikiran Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropah”, tutur Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944. Salah seorang pemikir Kristian terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-Ghazali, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M). Aquinas merupakan filsuf yang kerap dibangga-banggakan peradaban Barat. Ia telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.
Perbezaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristian, terletak pada metod dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filsuf metafisik non-Islam, seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan, Aquinas mengakomodasi buah fikir filsuf Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.

Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencuba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.

Sosok Al-Ghazali sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Baginya, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, melainkan komponen penting buat pembelajaran dirinya. Filsafat dipelajar Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafatpun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain, Maqasid al-Falasifa (The Intentions of the Philosophers). Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang sangat termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifa (The Incoherence of the Philosophers).
Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan syariah. Konsep-konsep sufisme begitu baik dikahwinkan sang pemikir legenda ini dengan hukum-hukum syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritik aliran lainnya. Ia tertarik dengan sufisme sejak berusia masih belia.

Kehidupan Al-Ghazali

Dilahirkan di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia (Iran), pada tahun 450 Hijrah atau bertepatan dengan tahun 1058 Masehi. Al-Ghazali berasal dari keluarga ahli tenun (pemintal). Ayahnya adalah seorang pengrajin sekaligus penjual kain shuf (yang terbuat dari kulit domba) di Kota Thus.

Namun, sang ayah menginginkan Al-Ghazali kelak menjadi orang alim dan soleh. Kerana itu, menjelang wafat, ayahnya mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, ”Sungguh, saya menyesal tidak belajar khath (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka, saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya”, ungkapnya pada pengasuh Al-Ghazali dan saudaranya.

Imam Al-Ghazali memulai belajar di kala masih kecil dengan mempelajari Bahasa Arab dan Parsi hingga fasih. Kerana minatnya yang mendalam terhadap ilmu, Al-Ghazali mulai mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fikih, dan filsafat. Selepas itu, ia berguru kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Radzakani di Kota Thus untuk mempelajari ilmu fikih. Kemudian, ia berangkat ke Jurjan untuk menuntut ilmu dengan Imam Abu Nashr Al-Isma’ili.

Selepas menuntut ilmu di Jurjan, Al-Ghazali pergi mengunjungi Kota Naisabur untuk berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini. Selama di Naisabur, ia berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafii, ilmu perdebatan, ushuluddin, mantiq, hikmah, dan filsafat. Selain itu, ia berhasil menyusun sebuah tulisan yang membuat kagum gurunya, Al-Juwaini.

Setelah sang guru wafat, Imam Al-Ghazali pergi meninggalkan Naisabur menuju ke majelis Wazir Nidzamul Malik. Majlis tersebut merupakan tempat berkumpulnya para ahli ilmu. Di sana, Al-Ghazali menantang debat para ulama dan berhasil mengalahkan mereka.

Lalu, kerana ketinggian ilmu yang dimiliki Imam Al-Ghazali, Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah (sebuah perguruan tinggi yang didirikan oleh Nidzamul Malik) di Baghdad pada tahun 484 H. Saat itu, usia Al-Ghazali baru menginjak 30 tahun. Di sinilah, keilmuan Al-Ghazali makin berkembang dan menjadi terkenal serta mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Sebagai pimpinan komuniti intelektual Islam, Al-Ghazali begitu sibuk mengajarkan ilmu hukum Islam di madrasah yang dipimpinnya. Empat tahun memimpin Madrasah Nizamiyyah, Al-Ghazali merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Batinnya dilanda kegalauan. Ia merasa telah jatuh dalam krisis spiritual yang begitu serius. Al-Ghazali pun memutuskan untuk meninggalkan Baghdad.

Kariernya yang begitu cemerlang ditinggalkannya. Setelah menetap di Suriah dan Palestin selama dua tahun, ia sempat menunaikan ibadah Haji ke Tanah Suci, Mekah. Setelah itu, Al-Ghazali kembali ke tanah kelahirannya. Sang ulamapun memutuskan untuk menulis karya-karya serta mempraktikkan sufi dan mengajarkannya.

Apa yang membuat Al-Ghazali meninggalkan kariernya yang cemerlang dan memilih jalur sufisme? Dalam autobiografinya, Al-Ghazali menyedari bahawa tak ada jalan menuju ilmu pengetahuan yang pasti atau pembuka kebenaran wahyu kecuali melalui sufisme. Itu menandakan bahawa bentuk keyakinan Islam tradisional mengalami kondisi kritis pada saat itu.

Keputusan Al-Ghazali untuk meninggalkan kariernya yang cemerlang itu, sekaligus merupakan bentuk protesnya terhadap filsafat Islam. Al-Ghazali wafat di usianya yang ke-70 pada tahun 1128 M di kota kelahirannya, Thus. Meski begitu, pemikiran Al-Ghazali tetap hidup sepanjang zaman.

Karya-karya Sang Sufi

Selama masa hidupnya (70 tahun), Imam Al-Ghazali banyak menulis berbagai karya dalam sejumlah bidang yang dikuasainya. Mulai dari fikih, tasauf (sufisme), filsafat, akidah, dan lainnya. Dalam kitab Mauqif Ibn Taimiyyah min al-Asya’irah dan Thabawat Asy-Syafi’iyyah karya Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif. Sejumlah karyanya kini tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Bidang Ushuluddin dan Akidah

1. Arba’in Fi Ushuliddin merupakan juz kedua dari kitabnya, Jawahir Alquran.

2. Qawa’id al-’Aqa`id yang disatukan dengan Ihya` Ulumuddin pada jilid pertama.

3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.

4. Tahafut Al Falasifah berisi bantahan Al-Ghazali terhadap pendapat dan pemikiran para filsuf, dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.

5. Faishal At-Tafriqah Bayn al-Islam Wa Zanadiqah.

Bidang Usul Fikih, Fikih, Filsafat, dan Tasawuf

1. Al-Mustashfa Min Ilmi al-Ushul

2. Mahakun Nadzar

3. Mi’yar al’Ilmi

4. Ma’arif al-`Aqliyah

5. Misykat al-Anwar

6. Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna

7. Mizan al-Amal

8. Al-Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi

9. Al-Ajwibah Al-Ghazaliyah Fi al-Masa1il Ukhrawiyah

10. Ma’arij al-Qudsi fi Madariji Ma’rifati An-Nafsi

11. Qanun At-Ta’wil

12. Fadhaih Al-Bathiniyah

13. Al-Qisthas Al-Mustaqim

14. Iljam al-Awam ‘An ‘Ilmi al-Kalam

15. Raudhah ath-Thalibin Wa Umdah al-Salikin

16. Ar-Risalah Al-Laduniyah

17. Ihya` Ulum al-din

18. Al-Munqidzu Min adl-Dlalal

19.Al-Wasith

20. Al-Basith

21. Al-Wajiz

22. Al-Khulashah

23. Minhaj al-’Abidin

Masih banyak lagi karya Imam Al-Ghazali. Begitu banyak karya yang dihasilkan, menunjukkan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Ghazali. Ia merupakan pakar dan ahli dalam bidang fikih, namun menguasai juga tasauf, filsafat, dan ilmu kalam. Sejumlah pihak memberikan gelar padanya sebagai seorang Hujjah al-Islam.
Ihya ‘Ulum al-Din; Magnum Opus Al-Ghazali

Salah satu karya Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal di dunia adalah kitab Ihya` Ulum al-din. Kitab ini merupakan magnum opus atau masterpiece Al-Ghazali. Bahkan, kitab ini telah menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia dalam mempelajari ilmu tasauf. Di dalamnya, dijelaskan tentang jalan seorang hamba untuk menuju ke hadirat Allah.

Saking luas dan dalamnya pembahasan ilmu tasauf (jalan sufi) dalam karyanya ini, sejumlah ulama pun banyak memberikan syarah (komentar), baik pujian maupun komentar negatif atas kitab ini.

Syekh Abdullah al-Idrus

”Pasal demi pasal, huruf demi huruf, aku terus membaca dan merenunginya. Setiap hari kutemukan ilmu dan rahsia, serta pemahaman yang agung dan berbeza dengan yang kutemukan sebelumnya. Kitab ini adalah lokus pandangan Allah dan lokus redhaNya. Orang yang mengkaji dan mengamalkannya, pasti mendapatkan mahabbah (kecintaan) Allah, rasul-Nya, malaikatNya, dan wali-waliNya.”

Imam an-Nawawi

”Jika semua kitab Islam hilang, dan yang tersisa hanya kitab al-Ihya`, ia dapat mencukupi semua kitab yang hilang tersebut”.

Imam ar-Razi

”Seolah-olah Allah SWT menghimpun semua ilmu dalam suatu rapalan, lalu Dia membisikkannya kepada Al-Ghazali, dan beliau menuliskannya dalam kitab ini.”

Abu Bakar Al-Thurthusi

”Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasa`il Ikhwan ash-Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.”

(Dinukil Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala, 19/334).
Sebahagian ulama ada pula yang mengkritik karya Imam Al-Ghazali ini kerana memuat sejumlah hadis, yang diduga beberapa sanadnya terputus. Wa Allahu A’lam. sya/taq

Tiada ulasan:

Catat Ulasan