(QS. Shad [38]: 75-76).
Ketika disuruh sujud (penghormatan) oleh Allah SWT kepada Adam, dirinya
merasa lebih baik dari manusia dengan alasan; tercipta dari api, sedangkan Adam
dari tanah. Sejak saat itu iblis disebut pembangkang dan terusir dari syurga.
Lain halnya dengan Adam, tidak pernah sekali-kali terlihat sifat sombong pada dirinya. Padahal, dirinya memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, iaitu: dikurniai ilmu oleh Allah SWT. Bahkan ketika akhirnya tergoda oleh bujuk rayu iblis, ia tidak melakukan apologi, namun mengakui kesalahannya dengan doa yang menggambarkan kerendahhatian.
ﻗَﺎﻻَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻇَﻠَﻤْﻨَﺎ ﺃَﻧﻔُﺴَﻨَﺎ ﻭَﺇِﻥ ﻟَّﻢْ ﺗَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻨَﺎ ﻭَﺗَﺮْﺣَﻤْﻨَﺎ ﻟَﻨَﻜُﻮﻧَﻦَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﺎﺳِﺮِﻳﻦَ
“Yaa Tuhan kami! Kami telah menzalimi diri
kami sendiri. Dan jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, nescaya kami
menjadi bahagian dari orang-orang yang merugi.”
(QS. Al-A’raf [7]: 23)
Demikianlah sejatinya akhlak orang yang berilmu, semakin tinggi ilmunya,
maka bertambah rendah hati.
Peribahasa: Seperti padi, kian berisi kian tunduk. Seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk. Maknanya, semakin tinggi ilmu seseorang maka dia semakin rendah hati.
Dalam al-Quran juga ada ungkapan:
ﻭَﻓَﻮۡﻕَ ﻛُﻞِّ ﺫِﻱ ﻋِﻠۡﻢٍ ﻋَﻠِﻴﻢٞ ٧٦
“dan di atas tiap-tiap orang yang
berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.”
(QS. Yusuf [12]: 76)
Kerana itulah, ulama sejati akan selalu tawaduk. Dia tidak akan merasa paling berilmu serta meremehkan orang lain. Semakin bertambah ilmu, dirinya merasa semakin bodoh, kerana sejatinya yang diberikan oleh Allah SWT kepada dirinya hanyalah sangat sedikit dibanding keluasan ilmu Allah SWT.
Dari Imam Jauzi (510-597 H) pembaca boleh menemukan sosok ulama teladan yang begitu rendah hati. Bayangkan! Dalam kitab “Dzailu Thabaqāt al-Hanābilah” (I/167) dikisahkan diakhir hidupnya dia pernah bercerita telah menulis dua ribu jilid buku, menobatkan 100 ribu orang dan membuat 20 ribu orang Yahudi dan Nasharani masuk Islam.
Lebih dari itu, jumlah minima hadirin yang mengaji pada beliau adalah 10 ribu orang. Meski demikian, tidak ada kesombongan yang ditonjolkan oleh beliau. Yang ada justeru semakin merasa rendah hati.
Dalam kisah masyhur disebutkan, menjelang wafat beliau kerendahhatian itu masih sangat nampak. Menjelang ajal tiba, beliau sempat berujar kepada murid-muridnya, “Jika kelak di syurga kalian tidak menjumpaiku, maka tanyakanlah kepada Allah perihalku: ‘Yaa Allah yaa Tuhan kami, sesungguhnya hambamu Si Fulan (Ibnu Jauzi) dulu di dunia telah mengingatkan kami tentang diriMu.” Lantas kemudian Ibnu Jauzi menangis.
Ulama yang sedemikian dalam dan luasnya itu tidak pernah merasa tinggi hati. Betapapun jasa-jasanya begitu besar dalam Islam, namun dia menafikan eksistensi dirinya. Dirinya adalah fakir ilmu di hadapan Allah SWT. Ilmu yang luas tidak digunakan untuk merendahkan dan meremehkan orang lain.
Lain halnya dengan fenomena dewasa ini. Banyak yang mengetahui satu ayat dua ayat, atau satu hadits dua hadits dan seterusnya, namun dengan sangat mudah merasa sudah menjadi ulama. Tanpa melalui kajian ilmiah mumpuni, sudah berani menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya, gampang menyesatkan, mengkafirkan dan merasa dirinya paling benar. Akibatnya, yang ditimbulkan adalah perpecahan saudara.
Tak menghairankan jika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan doa:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻧْﻔَﻌْﻨِﻲ ﺑِﻤَﺎ ﻋَﻠَّﻤْﺘَﻨِﻲ، ﻭَﻋَﻠِّﻤْﻨِﻲ ﻣَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻨِﻲ، ﻭَﺯِﺩْﻧِﻲ ﻋِﻠْﻤًﺎ
“Yaa Allah! Jadikanlah ilmu yang
dianugerahkan olehMu kepadaku bermanfaat; ajarilah padaku ilmu yang bermanfaat;
serta tambahkanlah ilmu kepadaku.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Ciri ilmu itu bermanfaat –sebagaimana kisah Nabi Adam—adalah di antaranya ketika tidak membuat orang yang berilmu menjadi sombong atau tinggi hati.
Suatu saat, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu memberi nasihat, “Barangsiapa yang tawaduk (rendah hati) secara khusyuk kepada Allah, maka kelak di hari kiamat angkat diangkat darjatnya oleh Allah. Sedangkan orang yang tinggi hati (sombong), maka akan direndahkan oleh Allah pada hari kiamat.”
(al-Khara`ithi, Masāwi al-Akhlāq , 258)
Dengan demikian, jika dengan ilmu Allah SWT akan mengangkat darjat seseorang (QS. Al-Mujadilah [58]: 11), maka dengan tawaduk pula atau kerendahan hati Allah SWT juga akan mengangkat darjat seseorang. Kerana itu, antara ilmu dan kerendah hatian tidak terpisahkan. Dan itu semua boleh kita teladani dari sosok Imam Ibnu Jauzi.*/ Mahmud Budi Setiawan