Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Sabtu, 25 Februari 2017

S 1 PENTINGNYA BELAJAR AKHLAK / TASAUF

Selain Iman dan Fiqih, ada Akhlak / Adab yang biasa disebut Tasauf yang juga penting dipelajari. Sebab Nabi Muhammad tidaklah diutus ALLAH SUBHANAHU WA TAALA ke dunia melainkan untuk menyempurnakan Akhlak.
Dengan mulianya akhlak ini, selain hati kita bersih, ucapan dan perbuatan kita juga bersih.
Di antara Kitab Tasauf yang penting adalah Ihya' 'Uluumuddiin susunan Imam Al Ghazali. Banyak dalil al Quran dan Hadits di situ. Mungkin ada yang bilang, ah kitab itu ada salahnya. Semua kitab buatan manusia pasti ada salahnya sebab manusia itu sifatnya adalah salah dan lupa. Cuma Nabi yang maksum. Jika 50% haditsnya dhoif pun tak masalah selama tidak ingkar atau berlawanan dengan Al Quran dan Hadis-hadis Shahih lainnya. Para ulama berpendapat sekadar menyatakan keutamaan amal tidak mengapa. Dibilang Bid'ah juga kitab Al Quran yang kita pegang sekarang dengan tanda bacaannya itu sebagaimana pendapat Khalifah Abu Bakar ra dan Umar ra itu adalah bid'ah yang baik. Tauhid Uluhiyyah itu bid'ah juga bukan?

Sebab jika belajar agama, tapi mulutnya kotor dan banyak mengeluarkan caci maki atau fitnah, tentu ada yang kurang beres.

Akhlak Nabi Muhammad SAW

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”
(Al Ahzab 21)


“Maka disebabkan rahmat daripada ALLAHlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerana itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…”
[Ali 'Imran 159]

Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan Al-Hakim)

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
(HR. Al Bazzaar)

Ketika Aisyah ra ditanya tentang akhlak RASULULLAH SAW, maka dia menjawab, "Akhlaknya adalah Al Quran."
(HR. Abu Daud dan Muslim)

Kepada RASULULLAH SAW disarankan agar mengutuk orang-orang musyrik. Tetapi beliau menjawab: "Aku tidak diutus untuk (melontarkan) kutukan, tetapi sesungguhnya aku diutus sebagai (pembawa) rahmat."
(HR. Bukhari dan Muslim)

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.”
[Fushshilat 34-35]

Paling dekat dengan aku kedudukannya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya.
(HR. Ar-Ridha)

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash meriwayatkan bahawa Nabi pernah bersabda:

إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا

“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)

“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku.”
(HR. at-Tirmidzi)

Nabi senang mendamaikan sesama Muslim. Bukan justeru mengadu-domba mereka kerana tidak akan masuk syurga orang yang gemar mengadu-domba.

“Rasulullah saw bersabda :
“Tidak dapat masuk syurga seorang yang gemar mengadu domba.”
(Muttafaq ‘alaih)

ALLAH SUBHANAHU WA TAALA berfirman:

“Jangan pula engkau mematuhi orang yang suka mencela, berjalan membuat adu domba.”
(al-Qalam: 11)

http://mediaislamraya.blogspot.com/2012/09/akhlaq-nabi-muhammad-saw.htm

R 150 BERSYUKUR KEPADA ALLAH SWT

Bersyukur ertinya berterima kasih kepada yang memberi nikmat/hadiah kepada kita melalui hati yang tulus, dengan pujian secara lisan dan perbuatan yang menyenangkan si pemberi nikmat tersebut.

“Iman terbagi menjadi dua, separuh dalam sabar dan separuh dalam syukur.”
(HR. Al-Baihaqi)

Jika kita mendapat kurnia daripada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, hendaklah kita ucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi ALLAH).

Ada empat perkara, barangsiapa memilikinya ALLAH akan membangun untuknya rumah di syurga, dan dia dalam naungan cahaya ALLAH yang Maha Agung. Apabila pegangan teguhnya  “Laailaha illallah.” Jika memperoleh kebaikan dia mengucapkan  “Alhamdulillah,” jika berbuat salah (dosa) dia mengucapkan  “Astaghfirullah” dan jika ditimpa musibah dia berkata  “Inna lillahi wainna ilaihi roji’uun.”
(HR. Ad-Dailami)

Jika kita bersyukur/berterimakasih atas nikmat ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, nescaya ALLAH SUBHANAHU WA TAALA akan menambah nikmatNya kepada kita. Jika tidak, maka kita akan disiksa olehNya:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.”  
[Ibrahim 7]

“Mengapa ALLAH akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan ALLAH adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. “
[An Nisaa’ 147]

Mengapa kita harus bersyukur kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA?

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan ALLAH mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
(QS. An Nahl : 78)

“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”
[Al Mu’minuun 78]

Cuba kita renungi diri kita. Siapakah yang telah menciptakan kedua mata kita? Kedua telinga kita? Mulut kita? Kaki dan tangan kita? ALLAH SUBHANAHU WA TAALA bukan? Mengapakah kita tidak mahu bersyukur?

Sekadar untuk membeli frame dan lensa saja boleh habis jutaan rupiah. Mata kita tentu nilainya jauh di atas itu. Mengapa kita tidak bersyukur?

Saat orang sakit jantung, dia boleh menghabiskan ratusan juta rupiah untuk mengubatinya. Bukankah kita seharusnya bersyukur kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA yang telah memberikan jantung kepada kita secara percuma?

Jika kita amati orang tua kita, anak-anak kita, isteri kita, semua itu ALLAH SUBHANAHU WA TAALA yang menciptakan.

Begitu pula dengan bumi dan langit beserta seluruh isinya.

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat ALLAH, nescaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya ALLAH benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[An Nahl 18]

Oleh kerana itulah Luqman menasihati anaknya untuk bersyukur kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA :

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, iaitu: “Bersyukurlah kepada ALLAH. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada ALLAH), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya ALLAH Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
[Luqman 12]

 الْحَمْدُ لِلَّهِ

Alhamdulillah merupakan zikir yang penting. Dalam surah Al Fatihah disebut sebagai bahagian daripada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Menyebut Alhamdulillah merupakan rukun dari Khutbah Jumaat. Tidak sah solat Jumaat jika khotib tidak menyebut itu. Tak hairan jika ada khotib yang setelah menyebut Alhamdulillah menyebut kembali dengan lengkap: Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin. Kemudian di tengah-tengah khutbah menyebut kembali khawatir jika terlupa.

Pidato pun jika tidak menyebut Alhamdulillah, tidak berkah. Harusnya si pembicara bersyukur sehingga dia dan juga pendengarnya masih boleh hadir di situ.

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?”
[Al Balad 8-9]

Berapa banyak orang yang terlahir gagu sehingga mereka tidak boleh bicara? Berapa banyak orang yang dewasa kena stroke atau musibah lain sehingga mereka tidak boleh lagi berkata-kata? Berapa banyak orang yang sakit berat sehingga mereka hanya boleh berbaring di tempat tidur?

Untuk segala nikmat itu, hendaknya si penceramah mengucapkan Alhamdulillah sebagai tanda syukur.

Saat bersin pun kita disunnahkan membaca Alhamdulilah.

Untuk bersyukur kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, hendaknya kita mengucapkan Alhamdulillah sebagaimana hadits yang di atas.

Ucapkan juga zikir kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA:

“Barangsiapa pada pagi hari berzikir : Allahumma ashbaha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka wahdaka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy syukru.”
(Ya ALLAH, atas nikmat yang Engkau berikan kepada ku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah seorang dari makhlukMu, maka sungguh nikmat itu hanya daripadaMu dan tidak ada sekutu bagiMu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untukMu)
Maka ia telah memenuhi harinya dengan rasa syukur. Dan barangsiapa yang mengucapkannya pada petang hari, ia telah memenuhi malamnya dengan rasa syukur.”
(HR. Abu Daud no.5075, dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul Muhadditsin)

“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata : Ketika itu hujan turun di masa NABI SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM, lalu Nabi bersabda :

“Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata: ‘Inilah rahmat ALLAH’. Orang yang kufur nikmat berkata: ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu.”
(HR. Muslim no.243)

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya.”
(QS. Adh Dhuha: 11)

Hendaknya kita bekerja demi ALLAH SUBHANAHU WA TAALA:

“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada ALLAH). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.”
[Saba’ 13]

Nabi kerap solat begitu lama untuk bersyukur kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Beliau sering solat malam/tahajjud dan juga solat dhuha :

“RASULULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM biasanya jika beliau solat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya: Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu mahupun yang akan datang? Rasulullah bersabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?”
(HR. Bukhari no.1130, Muslim no.2820)

RASULULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM bersabda:

“Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, kerana setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mukmin sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar dan itu baik baginya.”
(HR. Muslim no.7692)

Hendaknya kita bertakwa kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Ertinya menjalankan setiap perintah ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dan menjauhi larangan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA:

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Sungguh ALLAH telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Kerana itu bertakwalah kepada ALLAH, supaya kamu mensyukuriNya.”
(QS. Al Imran : 123)

Salah cara untuk mensyukuri nikmat ALLAH SUBHANAHU WA TAALA adalah dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara sampainya nikmat ALLAH SUBHANAHU WA TAALA kepada kita. NABI SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM bersabda:

“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, bererti ia tidak bersyukur kepada ALLAH.”
(HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

Oleh kerana itu, mengucapkan terima kasih adalah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. NABI SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM bersabda :

“Barangsiapa yang diberikan satu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: ‘Jazaakallahu khayr’ (semoga ALLAH membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya.”
(HR. Tirmidzi no.2167, ia berkata: “Hadits ini hasan jayyid gharib”)

Sentiasa Qana’ah atau merasa cukup atas nikmat yang telah ALLAH SUBHANAHU WA TAALA berikan :

“Jadilah orang yang warak, maka engkau akan menjadi hamba yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi hamba yang paling bersyukur.”
(HR. Ibnu Majah no. 4357, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Lakukan Sujud Syukur :

“Daripada Abu Bakrah Nafi’ Ibnu Harits Radhiallahu’anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggembirakan beliau bersimpuh untuk sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada ALLAH.”
(HR. Abu Daud no.2776, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil)

Berdoalah:

Allahumma a’inni ‘ala dzukrika wa syukrika wa huni ‘ibadatika
“Yaa ALLAH aku memohon pertolonganmu agar Engkau menjadikan aku hamba yang sentiasa berzikir, bersyukur dan beribadah kepadamu dengan baik.”

Referensi:

http://buletin.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/bersyukur-kepada-allah

Bersyukur Kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA

At Tauhid edisi VI/45

Disarikan oleh Yulian Purnama dari artikel berjudul ‘Asy Syukru’ karya Dr. Mihran Mahir Utsman hafizhahullah dengan beberapa tambahan. Artikel asli: http://www.saaid.net/Doat/mehran/51.htm]


http://media-islam.or.id/2012/11/19/alhamdulillah-pengajian-malam-sabtu-bersama-habib-hud-bin-bagir-al-athas/

R 149 HATI-HATI TERHADAP DOA ORANG YANG DIZALIMI / TERANIAYA

Meski ALLAH SUBHANAHU WA TAALA melarang kita mendoakan orang lain agar celaka / dapat bencana, namun khusus terhadap orang-orang yang dizalimi / dianiaya ALLAH SUBHANAHU WA TAALA membolehkannya. Jadi saat seseorang dizalimi dan disakiti dan dia mendoakan orang yang menyakitinya agar ditimpa musibah, ALLAH SUBHANAHU WA TAALA akan mengabulkannya.

ALLAH SUBHANAHU WA TAALA telah berfirman :

لا يحب الله الجهر بالسوء من القول إلا من ظلم وكان الله سميعا عليما


"ALLAH tidak suka seseorang mengatakan sesuatu yang buruk kepada seseorang dengan terang-terangan melainkan orang yang dizalimi maka dia boleh menceritakan kezaliman tersebut ; dan ALLAH itu maha mendengar dan maha mengetahui."
(148 : an-Nisa)

Jadi meski ada orang yang kafir atau jahat, hendaknya kita tetap berlaku adil. Tidak berlebihan dan menzalimi mereka. Sebab doa orang yang teraniaya meski mereka itu kafir dan jahat, tetap dikabulkan oleh ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.


Daripada Mu'az ra berkata: Aku diutus oleh RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM lalu Beliau bersabda :

Sesungguhnya engkau akan mendatangi sesuatu kaum dari ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan ALLAH dan bahawa aku adalah utusan ALLAH. Jika mereka telah patuh untuk melakukan itu, maka beritahukanlah bahawa ALLAH telah mewajibkan atas mereka solat lima waktu dalam setiap sehari semalam. Jika mereka telah patuh untuk melakukan itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahawa ALLAH mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, kemudian diberikan kepada yang miskin. Jika mereka telah patuh untuk melakukan itu, jauhilah harta mereka. Peliharalah diri kalian dari doa orang yang terzalimi, kerana sesungguhnya tidak ada penghalang antara doa tersebut dengan ALLAH.
(Muttafaq 'alaih)

Daripada Abu Hurairah ra  berkata: RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM bersabda :

Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, iaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa buruk orang tua kepada anaknya.
(HR Abu Daud dan al-Tirmizi. al-Tirmizi berkata: Hadis hasan)

http://masuksurga.pusatkajianhadis.com/id/index.php/kajian/temadetail/796/doa-orang-yang-dizalimi

Hadis daripada Anas ra , RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM bersabda:


اتق دعوة المظلوم وإن كان كافرا فإنه ليس دونها حجاب


"Hendaklah kamu waspada terhadap doa orang yang dizalimi sekalipun dia adalah orang kafir. Maka sesungguhnya tidak ada penghalang di antaranya untuk diterima oleh ALLAH."
Hadis riwayat Ahmad - sanad hasan

Hadis daripada Abu Hurairah ra, RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM bersabda :

دعوة المظلوم مستجابة وإن كان فاجرا ففجوره على نفسه


"Doa orang yang dizalimi adalah diterima sekalipun doa dari orang yang jahat. Kejahatannya itu memudaratkan dirinya dan tidak memberi kesan pada doa tadi."
(Hadis hasan riwayat at-Tayalasi)

Hadis daripada Ibnu Umar ra, RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM bersabda :


اتق دعوة المظلوم فإنها تصعد إلى السماء كأنها شرارة

"Hendaklah kamu waspada terhadap doa orang dizalimi. Sesungguhnya doa itu akan naik ke langit amat pantas seumpama api marak ke udara."

(Hadis riwayat Hakim - sanad sahih)

R 148 SEMAK DAHULU SEBELUM SEBARKAN SESUATU HADIS

Apa jua khabar atau hadis yang di atas namakan NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM tidak boleh sewenang-wenangnya diterima tanpa terlebih dahulu dipastikan status kesahihan atau kebenarannya. Ini bagi mengelakkan menyandarkan sesuatu kepada Nabi dengan cara prasangka, dusta, atau bohong yang mana telah kita ketahui setiap apa yang datang dari Nabi itu memberi nilai agama sama ada dari aspek aqidah, tauhid, hukum-hakam, akhlak, mu’amalah, dan sebagainya.

Dari itu, siapapun tidak boleh sesuka hati mengatakan sesuatu atas nama Nabi tanpa melalui cara yang benar.

NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM pernah mengingatkan:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta ke atas namaku tidaklah sama dengan berdusta menggunakan nama orang lain. Maka sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, bersiap-sedialah dengan tempat duduknya di neraka.”
(Hadis Riwayat al-Bukhari, 5/37, no. 1209)

Oleh sebab itulah para ulama hadis telah menyusun sebuah kaedah khusus bagi memastikan kesahihan khabar yang disandarkan kepada Nabi. Iaitu dengan meneliti sanad dan barisan para perawi hadis. Setelah keabsahannya dikenalpasti, maka barulah ia layak dijadikan sebagai hujjah dan pegangan dalam agama bersesuaian dengan kaedah-kaedah lainnya.

Imam ‘Abdullah B. al-Mubarak rahimahullah (Wafat: 181H) berkata:

الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Isnad adalah sebahagian dari agama. Jika tidak ada isnad, maka sesiapa saja akan berbicara sesuka hatinya.”
(Mukaddimah Shahih Muslim, 1/15)

Seorang tabi’in, Sa’ad B. Ibrahim berkata:


لَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا الثِّقَاتُ


“Tidak ada yang berhak mengkhabarkan sebuah hadis daripada RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM melainkan orang-orang yang tsiqah(terpercaya).”
(Hadis Riwayat Muslim, 1/15)

Kata Muhammad B. Sirin rahimahullah (Wafat: 110H):

سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

“Mereka (ahlus sunnah) sebelum itu tidak bertanya tentang sanad, tetapi ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata, “Sebutkanlah kepada kami nama para perawimu.” Apabila dilihat yang menyampaikannya adalah ahlus sunnah maka hadisnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya adalah ahli bid’ah maka hadisnya ditolak.”
(Mukaddimah Shahih Muslim, 1/15)

Kriteria Hadis Shahih

Seseorang Bertanya kepada imam asy-Syafi’i, “Sebutkan kepadaku syarat minima agar suatu perkhabaran hadis itu boleh diterima sebagai hujjah.” Maka beliau pun menjawab, “Perkhabaran yang disampaikan dari satu orang dari satu orang sehingga sampai kepada Nabi atau kepada perawi yang berada di bawah Nabi (para sahabat).”

Beliau menyambung, “Perkhabaran hadis dari satu orang kepada satu orang tidak dapat diterima sebagai hujjah sehingga memenuhi beberapa syarat yang di antaranya:

“Orang yang meriwayatkan mesti tsiqah (terpercaya) dalam agamanya. Dikenal sebagai orang yang benar lagi jujur dalam berbicara, memahami apa yang ia riwayatkan (atau khabarkan), memahami lafaz yang boleh mengubah makna-makna hadis, dan mampu menyampaikan hadis bertepatan dengan huruf-hurufnya persis sebagaimana yang ia dengar dan bukan menyampaikan sekadar dengan maknanya atau sekadar dari kefahamannya sahaja.

Orang yang meriwayatkannya perlu hafal apa yang ia riwayatkan jika dia meriwayatkannya dari hafalan, atau mencatatnya dengan tepat jika dia meriwayatkan berdasarkan catatannya (atau kitabnya). Apabila dia menghafal suatu hadis bersama-sama dengan para huffaz (penghafal hadis) yang lain, maka apa yang ia riwayatkan perlu selari dengan apa yang diriwayatkan oleh para huffaz lainnya tersebut.

Orang yang meriwayatkannya tidak boleh seorang yang mudallis dengan meriwayatkan suatu riwayat (hadis) dari seseorang yang ditemuinya tetapi tidak pernah mendengar riwayat dimaksudkan secara langsung darinya. Atau apabila ia meriwayatkan suatu hadis daripada NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM, ia tidak boleh menyelisihi apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah yang lainnya daripada Nabi.


Inilah keriteria yang perlu dimiliki bermula dari perawi terendah (paling bawah) sehingga paling atas yang sampai kepada NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM yang diriwayatkan secara maushul (bersambung). Iaitu setiap perawi mengakui orang yang menyampaikan kepadanya dan orang yang menyampaikan juga mengakuinya. Tidak seorang pun perawi yang boleh mengelak dari ketentuan ini.”
(asy-Syafi’i, ar-Risalah, m/s. 369-372 – Daar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir)

Kriteria dan syarat yang ditetapkan oleh imam asy-Syafi’i inilah yang diterima pakai oleh para ulama hadis dahulu dan kini dalam menetapkan boleh atau tidaknya sesebuah hadis diterima pakai. Di mana sanadnya mesti muttashil (bersambung dan tidak putus), para perawinya ‘adil, perawinya dhabit (tepat dan sempurna hafalannya), selamat dari syuyudz (riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang lebih tsiqah darinya), dan selamat dari ‘illat atau kecacatan-kecacatan hadis lainnya. Inilah di antara asas utama bagi memastikan kedudukan sesebuah hadis sama ada shahih, hasan, dha’if (lemah), maudhu’ (palsu), atau selainnya.

Ini sekaligus menunjukkan ketelitian dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh imam asy-Syafi’i dalam bidang hadis. Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, “Siapa sahaja yang memahami ucapan imam asy-Syafi’i rahimahullah pada bab ini, pasti dia akan mendapati bahawa imam asy-Syafi’i telah menyusun (atau merangkumkan) sebuah kaedah yang shahih tentang ilmu hadis. Dan bahawasanya beliaulah orang pertama sekali menjelaskan ilmu ini dengan begitu terang. Beliau adalah pembela hadis yang paling unggul serta orang yang lantang menekankan kewajiban mengamalkan sunnah.

Beliau turut mengeluarkan hujjah bantahan terhadap orang-orang yang menentang dan menolak hadis. Benarlah gelaran yang diberikan oleh pendudukan Makkah kepada imam asy-Syafi’i sebagai Naashirus Sunnah (pembela Sunnah), semoga ALLAH meredhainya.”
(Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, ar-Risalah, m/s. 369)

Inilah di antara prinsip imam asy-Syafi’i rahimahullah bahkan prinsip para ulama ahlus sunnah wal-jama’ah dari dahulu hingga kini dalam mengambil dan menerima hadis sebagai hujjah agama. Mereka terlebih dahulu memastikan keabsahan dan keshahihan sesebuah hadis sebelum mengamalkan dan menyebarkannya. Mereka tidak mengambilnya dari sebarangan orang begitu sahaja.

Alhamdulillah pada hari ini, fasa periwayatan dan pembukuan hadis telah pun tamat lengkap dengan sanad-sanadnya sekaligus memudahkan para ulama dan masyarakat terkemudian menyemak serta memanfaatkannya. Cuma setiap hadis tersebut masih perlu dinilai shahih atau tidaknya. Dan ini masih sangat memerlukan perincian dan bantuan dari para ulama hadis sama ada dahulu atau kini. Kita tidak boleh sewenang-wenangnya memetik hadis begitu sahaja tanpa dipastikan terlebih dahulu keabsahan atau status keshahihannya berpandukan kaedah yang benar. Setiap hadis perlu diambil dari kitab dan sumbernya.

Selamilah pengorbanan para ulama terdahulu yang sanggup keluar bermusafir ribuan batu demi sebuah hadis yang mulia. Hadis-hadis diriwayatkan lalu dibukukan dengan cara terhormat lagi dimuliakan. Dipilih dengan kaedah yang penuh teliti lagi hati-hati.

Maka sepatutnya kita pada hari ini memanfaatkan hasil pengorbanan mereka dengan tidak sewenang-wenangnya memetik hadis hanya dari surat-surat khabar, internet, cakap-cakap orang, dan pelbagai sumber lainnya tanpa terlebih dahulu memastikan keabsahannya.

Para ulama ahlus sunnah wal-jama’ah terkenal amat berhati-hati dalam memilih dan mengambil hadis. Ini dalam rangka mengelak dari tersalah ambil hadis-hadis yang lemah, maudhu’, atau tidak shahih lalu mengatakannya ini adalah hadis shahih daripada Nabi?! Inilah juga di antara prinsip yang dipegang teguh oleh imam asy-Syafi’i rahimahullah sebagaimana dikatakan imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H):

تمسكه بالاحاديث الصحيحة: واعراضه عن الاخبار الواهية الضعيفة: ولا نعلم أحدا من الفقهاء أعتنى في الاحتجاج بالتمييز بين الصحيح والضعيف كاعتنائه

“Beliau (Imam asy-Syafi’i rahimahullah) amat berpegang teguh dengan hadis-hadis sahih dan menjauhi hadis-hadis yang lemah lagi dha’if. Kami tidak mengetahui ada seorang pun dari kalangan fuqaha’ yang begitu berhati-hati ketika berhujjah dengan membezakan di antara hadis shahih dan dha’if sebagaimana yang dilakukan oleh beliau (asy-Syafi’i)...”
(al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1/11)

Tapi sayangnya, prinsip ini banyak diabaikan oleh pengamal mazhab asy-Syafi’i sendiri di Nusantara ini. Sebahagian mereka tidak lagi membezakan di antara hadis yang shahih atau tidak. Banyak berlaku di mana hadis-hadis yang tidak shahih dipegang dan disebarkan sebagaimana hadis shahih. Sehingga apabila didatangkan hadis-hadis yang shahih yang bertentangan dengan apa yang mereka imani atau amalkan, mereka tidak lagi mahu menerimanya.

Ini amat bertentangan dengan perkataan dan prinsip imam asy-Syafi’i sendiri di mana beliau mengatakan:

كُلّ َمَا قُلْتُ وَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافُ قُولِي مِمَّا يَصِحُّ، فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَى، وَلَا تُقَلِّدُونِي

“Setiap perkataanku yang berbeza dengan riwayat yang shahih daripada NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM, maka hadis Nabi lebih aula (perlu didahulukan) dan kamu semua jangan bertaklid kepadaku.”
(al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wal Atsar, 2/454)

Juga kata beliau:

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

“Apabila shahih suatu hadis, maka itulah mazhabku.”
(al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1/92)

Pernahkah kita mendengar hadis-hadis yang boleh dianggap popular seperti tentang mendapat ganjaran pahala 70 kali ganda jika memakai serban ketika solat, perselisihan di kalangan umat Muhammad adalah rahmat, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China, Yasin jantung hati al Quran, sesiapa yang mengenal diri maka dia mengenal ALLAH, bermadu bagi isteri akan mendapat payung emas di Syurga, galakkan membaca surah Yasin untuk orang mati, kisah sahabat Nabi Tsa’labah yang bakhil, nyanyian thola’al badru ‘alaina ketika menyambut Nabi tiba di Madinah, kisah ‘Abdurrahman B. ‘Auf masuk Syurga sambil merangkak, serta pelbagai lagi khabar-khabar hadis popular yang disandarkan atas nama agama dan nama RASULULLAH yang mana hakikatnya ia bukanlah hadis-hadis yang shahih dan boleh dibuat hujah mahupun pegangan dalam agama.

Dukacitanya ia berlegar di sekeliling kita, disampaikan oleh mereka yang bergelar ustaz dan ustazah, serta diimani kebanyakan orang. Oleh itu, pastikanlah setiap hadis yang kita terima dan amalkan adalah hadis-hadis yang shahih terlebih dahulu. Takut-takutlah kita dengan ancaman berdusta atas nama RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.

Wallahu a’lam.
http://an-nawawi.blogspot.com/2012/02/pastikan-ambil-hadis-sahih-seperti-imam.html