Polisi
menolong pedagang krupuk © melesat.com
Oleh : Surtiana Nitisumantri
Taqwa pada umumnya digunakan Al Quran untuk menggambarkan bahawa
suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan atas ketakwaan kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, seperti dalam Surah Al-Hajj : 37 :
لَن
يَنَالَ اللّٰـهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ اللّٰـهَ عَلَىٰ مَا هَدَٮٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keredhaan) ALLAH,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah ALLAH telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan ALLAH terhadap hidayahNya
kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(Surah 22 AL HAJJ : 37)
Ketika melihat betapa Abu Dzar sangat berkeinginan tinggal
bersama di Mekah, RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM memberitahukan
ketidak mungkinannya, dan beliau berpesan:
عَنْ أَبِي ذَرّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ, قَالَ ﻟۑ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Diriwayatkan oleh
Abu Dzarr Radhiyallahu’anhu, ia berkata,
RASULLULLAH
SAW berpesan kepadaku : Bertakwalah kepada ALLAH di mana pun engkau berada,
iringilah keburukan dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapus keburukan itu,
dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.”
(HR. Tirmidzi)
Takwa kepada ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA merupakan sesuatu yang harus
dilaksanakan. Takwa kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan
Tuhan dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangNya serta mengerjakan
segala yang diperintahkanNya. Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana
melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa takut kepada yang
menjatuhkan siksaan, iaitu ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari keyakinan
tentang adanya siksaan.
(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 68)
Perintah dan larangan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran
agama yang ditujukan kepada manusia, seperti perintah melakukan solat yang
dinyatakan dalam Surah 17 AL ISRAAK :
78:
“Dirikanlah
solat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
solat) subuh. Sesungguhnya solat subuh itu dilaksanakan oleh malaikat.”
(Surah 17 AL ISRAAK : 78)
Kumpulan dari perintah dan larangan ini dinamakan hukum-hukum syariat.
Sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum alam akan diperoleh di dunia, sedangkan
sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat akan diperoleh di akhirat.
Dengan demikian, ketakwaan mempunyai dua sisi, iaitu sisi duniawi dan sisi
ukhrawi. Sisi duniawi iaitu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan
hukum-hukum alam, sedangkan sisi ukhrawi yakni memperhatikan dan melaksanakan
hukum-hukum syariat.
Dalam bukunya Hadis Tarbawi, Wajidi Sayadi
telah menegaskan bahawa hadis-hadis NABI MUHAMMAD
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM yang memuat
tema perintah bertakwa kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA selalu dalam konteks yang sebagian besar mengenai
masalah sosial (kemasyarakatan) bahkan termasuk sikap kasih sayang kepada
binatang, larangan menghina atau menyakiti, perintah bergaul dengan masyarakat
secara baik dan sopan (memelihara etika sosial), memberikan sedekah walau
sebutir kurmapun, memberi maaf, memberi upah kerja sebelum keringatnya kering,
bersikap adil terhadap anak-anak dan baik terhadap isteri/suami dalam membina
rumahtangga, bersikap baik terhadap perempuan, jujur, sabar, setia kepada
pemimpin, adil sebagai pemimpin dan lain-lain.
Takwa pada dasarnya memiliki karakteristik yang semuanya
berkaitan dengan etika sosial dan kemasyarakatan. Sebagaimana firman ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. :
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (iaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. ALLAH
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(Surah 3 ALI IMRAN : 133-134)
Agama memberikan penjelasan bahawa manusia adalah makhluk yang
memilki potensi untuk berakhlak baik (bertakwa). Yakni, bertakwa dalam keadaan
apapun, di mana saja dan bila-bila masa saja. Dan perintah takwa dalam setiap keadaan
itu diajarkan sentiasa mengiringi setiap keburukan dengan kebaikan kerana
kebaikan itu akan menghapus dosa-dosa akibat keburukan, serta untuk berbuat
kepada setiap manusia dengan akhlak yang baik.
Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri
seseorang. Dari sifat yang ada itulah tercermin sikap dan perilaku (atittude) perbuatan seseorang, seperti sifat
sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah, benci kerana dendam, iri
dan dengki, sehingga memutuskan hubungan silaturahim.
Akhlak yang baik dan mulia akan membawa kedudukan seseorang pada
posisi yang terhormat dan tinggi (takwa). Takwa akan memperbaiki hubungan
antara hamba dan ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA, sedangkan berakhlak yang mulia
memperbaiki hubungan antara sesama. Ketakwaan kepada ALLAH SUBHANAHU WA
TAALA mengundang kecintaan ALLAH SUBHANAHU
WA TAALA terhadap dirinya, sedangkan akhlak yang baik
mendatangkan kecintaan manusia di dalam pergaulan masyarakat.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar ini ditemui dalam
kitab-kitab hadis hanya enam kali, iaitu dalam kitab sunan at-Tirmidzi dan
sunan ad-Darimi masing-masing sekali, dan 4 kali dalam Musnad Ahmad. Semuanya
hanya bersumber dan diriwayatkan daripada sahabat Abu Dzar saja (Wajidi Sayadi,
2009 : 62). Hal ini disebabkan NABI
MUHAMMAD SHALLALLAHU ’ALAIHI WASSALLAM. dalam hadis tersebut hanya disampaikan kepada Abu Dzar
saja. Oleh kerana itu, dilihat dari riwayat dan latar belakang lahirnya hadis
tersebut di atas, NABI MUHAMMAD
SHALLALLAHU ’ALAIHI WASSALLAM bersabda
terkait dengan konteks perilaku dan sikap Abu Dzar sebagai seorang aktifis
pemberdayaan masyarakat yang banyak bergelut memperjuangkan nasib orang-orang
lemah, dia ingin sekali tinggal di mekah bersama dengan NABI
MUHAMMAD SHALLALLAHU ’ALAIHI WASSALLAM.
Pesan NABI
MUHAMMAD SHALLALLAHU ’ALAIHI WASSALLAM kepada Abu Dzar ini dapat kita fahami bahawa keislaman
dan kecintaan kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
dan RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM
itu tidak mesti harus di Mekah dan bersama dengan RASULULLAH SHALLALLAHU
‘ALAIHI WASSALLAM saja, akan tetapi di manapun kita
berada, keislaman dan ketaqwaan dapat diwujudkan dalam pergaulan, etika dan
interaksi sosial dengan memperhatikan nasib orang-orang miskin dan orang-orang
lemah lainnya. Oleh kerana itu, muatan dan pesan utama sesungguhnya yang boleh
ditangkap dari teks hadis di atas adalah takwa yang diwujudkan dalam etika
sosial dan tanggungjawab dalam pergaulan masyarakat tanpa melupakan
tanggungjawab pribadi dan keluarga dan itulah sebabnya RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM mempertegas hadis
selanjutnya dengan mengatakan di mana pun engkau berada dan ikutilah perbuatan
jahat itu dengan kebaikan dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak
yang baik. Penegasan ini berkaitan dengan urusan dan tangggung jawab sosial
kemasyarakatan dalam kehidupan lebih luas dan nyata.
Takwa kepada ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA merupakan sesuatu yang harus
dilaksanakan. Takwa kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA dengan jalan menghindarkan diri
dari segala yang dilarangNya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya.
Hal ini, lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang
menimpa dan rasa takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut
itu pada mulanya timbul dari keyakinan tentang adanya siksaan.
(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 68)
Dari ayat tersebut ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
menjelaskan bahawa yang dimaksud dengan muttaqin (orang bertakwa) adalah mereka
yang membelanjakan sebagian hartanya dalam keadaan lapang dan sempit, yang
mampu menahan gejolak amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain.
Sabda RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM dalam hadisnya yang
lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik yang
berbunyi:
“Aku sedang shalat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku
dengar tangisan bayi. Aku pendekkan shalatku, karena aku maklum akan kecemasan
ibunya karena tangisan itu”.
Dari hadis ini RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM menjelaskan bahwa
jika dalam urusan ibadah bersamaan dengan urusan kemasyarakatan yang penting,
maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan namun bukan ditinggalkan.
Ketika seseorang berbuat buruk, maka dia wajib bertaubat kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Taubat termasuk al hasanah, yakni perbuatan yang baik. Maka
jika berbuat dosa, maka kita mengikutinya dengan perbuatan yang baik, yakni
bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha. Maka taubat akan menghapus dosa-dosa
yang telah kita lakukan, baik dosa besar apalagi dosa kecil. Dan termasuk al
hasanah, perbuatan
baik dalam hadits di atas adalah perbuatan baik secara umum. Perbuatan baik
akan menghapus dosa-dosa kecil saja. Sedangkan dosa besar harus dengan taubat
untuk menghapusnya
(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, 2003 : 69).
Adapun upaya untuk memelihara diri, takwa dapat diaplikasikan
dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan
memperhatikan dan mengedepankan moralitas, sebagaimana yang ditegaskan RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI
WASSALLAM dalam hadis tersebut, yang merangkaikan
perintah takwa dan bermoral. Namun pada kenyataannya masyarakat saat ini banyak
yang lebih mengedepankan rasio dan akal saja dan melalaikan moralitas dan
akhlak. Sehingga banyak ditemui krisis akhlak dan krisis kepemimpinan.
Dalam Islam, salah satu ajaran yang sangat ditekankan secara
tegas adalah penegakan akhlak. Islam dihormati dan disegani termasuk oleh musuh
adalah karena penampilan akhlak. Bahkan ada sesuatu yang sebenarnya secara
hukum dibenarkan dilakukan, tapi dari segi pandangan etika dan moral belum
tentu, misalnya ketika melaksanakan shalat, yang wajib ditutupi bagi laki-laki
adalah sebatas auratnya saja, yaitu dari bagian pusat kebawah, kalau
batasan-batasan ini sudah tertutupi, maka secara hukum shalatnya sudah sah,
tetapi secara etika dan moral masih dipertimbangkan. Karena rasanya tidak etis
menghadap dan bermunajat kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dalam
keadaan dan kondisi badan tidak tertutupi dan hampir telanjang (Wajidi Sayadi,
2009 : 66).
Untuk itu, jelas di dalam ajaran agama Islam, penegakan moral
sebagai insan muttaqin sangat penting dikedepankan dalam segala aspek kehidupan
baik bagi diri sendiri, masyarakat maupun bangsa dan negara. Hal inilah yang
menyebabkan RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM diutus oleh ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA dengan tujuan untuk memperbaiki
dan menyempurnakan akhlak.
Prinsip dasar ketakwaan dalam pergaulan masyarakat sebagaimana
Hikmah Yang Dapat diambil dari Pesan Nabi Kepada Abu Dzar, adalah :
1.
Sebagai pemimpin umat perhatian
yang besar dari RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM terhadap umatnya memberikan arahan kepada mereka pada
hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan di dalam setiap pergaulan di
masyarakat;
2.
Wajibnya bertakwa kepada ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA di manapun juga. Di antaranya
adalah wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian,
berdasarkan sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
3.
Bila keburukan itu diiringi
dengan kebaikan, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya
secara keseluruhan. Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan keburukan, jika
kebaikan itu berupa taubat. Kerana taubat akan meruntuhkan apa-apa yang
sebelumnya. Adapun jika kebaikan itu selain taubat, (misalnya saja) orang itu
berbuat keburukan, kemudian ia melakukan amalan soleh, maka amalannya akan
ditimbang. Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan buruknya, maka akan
hilanglah pengaruhnya, sebagaimana Firman ALLAH SUBHANAHU WA
TAALA :
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ
“Sesungguhnya
perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.”
(Surah
11, HUUD : 114)
Kemudian RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM bersabda,
“Dan bergaullah dengan mereka dengan akhlak yang baik”.
Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik,
baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan.
Perintah di atas, bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara
yang dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah pula dari sini;
disyari’atkannya bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi
menyebutkan secara umum bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu
bervariasi sesuai dengan keadaan dan kondisi orang perorangan. Karena boleh
jadi suatu hal baik bagi seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang
lainnya. Orang yang berakal dapat mengetahui dan menimbangnya
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2009).
Secara prinsip takwa dapat dimaknai sebagai suatu upaya
memelihara diri dari segala macam bahaya yang bisa mengancam dan merusak
ketenangan hidup baik didunia maupun di akhirat. Takwa dapat diaplikasikan
dengan cara berbuat kebaikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan
memperhatikan dan mengedepankan moralitas, ketaqwaan dapat diwujudkan di
tengah pergaulan masyarakat, etika dan interaksi sosial dengan memperhatikan
situasi dan kondisi orang-orang miskin dan orang-orang lemah lainnya.
Dengan demikian ketakwaan seseorang tidak dapat diukur hanya
dengan melihat keshalehannya dalam beribadah saja namun juga dilihat dari
keshalehan sosial kemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara berupa implementasi terhadap etika dan kearifan sosial kemasyarakatan
di tengah pergaulan masyarakat yang kini sedang dalam kondisi carut marut,
tanpa melupakan tanggung jawab pribadi dan keluarga.
Nashrun min Allah wa fathun qariib.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan