By:
Muhamad Agus Syafii
Di
Rumah Amalia pernah ada seorang teman yang berbagi kebahagiaan. Ia seorang ayah
sekaligus suami yang setia berusaha mempertahankan rumahtangganya ketika
terkena prahara. Ya, itulah prahara kehancuran, rasa tak berharga dan hidup
sebagai orang yang kalah. Di saat rumahtangganya sedang bermasalah ia
berbincang dengan seorang teman kerjanya, temannya mengatakan, "Kamu gila
aja mempertahankan rumahtangga, isterimu sudah tidak mencintaimu, sudah tidak
dihargai oleh isteri, apa sih untungnya mempertahankan rumahtangga? Lebih enak
bercerai, tinggalkan saja isteri yang makan hati, buang
waktu, menyia-nyiakan hidup saja bertahan dalam pernikahan dengan isteri
seperti itu."
Ia
menghela nafas panjang mendengar penuturan temannya, ia sama sekali tidak
pernah terbayang teman baiknya menjadi kompor yang membara, membakar
rumahtangganya. Namun ia tetap memilih untuk setia mempertahankan rumahtangga
bukan kerana isteri dan juga bukan kerana anak. Namun kerana Allah. Di sisi
lain, banyak teman-teman yang mengatakan bahawa jika ia bertahan dalam luka
hati itu hanyalah tindakan orang yang bodoh. Untunglah kekuatan doa bersama dan
keikhlasan dalam menjalani hidup untuk mempertahankan rumahtangganya dengan
mengharapkan keredhaan Allah membuahkan hasil. Kesetiaannya sebagai seorang
suami mampu meluluhkan hati sang isteri. Air matanya mengalir di saat dirinya,
isteri dan anaknya solat berjamaah, selesai solat isteri mencium tangan suami
dan membisikkan kata di telinganya, "Maafkan mama ya pah, mama
salah.." penuh isak dan tangis keduanya berpelukan dengan penuh cinta
serta kasih sayang. Anaknya turut dipeluknya. Subhanallah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan