Sentiasa
kita memanjatkan puji dan syukur kita kepada Allah subhanahu wa taala yang
telah banyak memberikan kepada kita kurnia dan nikmat, terutama nikmat Islam
dan nikmat iman. Sentiasa nikmat itu turun kepada kita, akan tetapi sentiasa
maksiat itu naik kepada Allah subhanahu wa taala.
Sesungguhnya
yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah qudwah
(tauladan). Dan di antara
perkara yang paling penting adalah adanya qudwah hasanah, suri
tauladan yang baik yang harus dijadikan sebagai panduan untuk kehidupan kita.
Maka ketahuilah wahai saudariku muslimah, Allah subhanahu wa taala telah
menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah.
Allah berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suatu tauladan yang baik bagimu (iaitu) bagi
orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan di hari kiamat dan
banyak mengingat Allah.”
(Surah 33, AL AHZAB : ayat 21)
Maka
sesungguhnya saudara dan saudariku, seseorang yang mencari tauladan kepada selain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka ia akan binasa. Maka ia pun akan tersesat, kerana petunjuk itu berasal
dari Allah, disampaikan kepada Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam.
فإن أصدق الحديث كلام الله،
وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكلّ محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل
ضلالة في النار
“Sesungguhnya
sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan seburuk-buruk perkara
adalah perkara-perkara yang baru (dalam agama). Setiap perkara baru (dalam
agama) adalah Bidaah dan setiap bidaah adalah kesesatan. Pada hal setiap
kesesatan adalah berada di dalam neraka.”
(Kalimat
ini disebut dengan Khutbatul Haajah, Shahih dikeluarkan oleh An Nasa’i
(III/104), Ibnu Majah (I/352/1110), Abu Daud (III,460/1090). Lihat Al-Wajiz fi
Fiqhis Sunnah hal. 144-145)
Oleh
kerana itulah, kewajipan kita untuk memilih dan memihak. Mana orang yang boleh
dijadikan tauladan dan mana yang tidak. Para ‘ulama dari kalangan sahabat, para
‘ulama dari kalangan tabi’in, para ‘ulama dari kalangan tabi’ut tabi’in dan
para ‘ulama setelahnya, mereka adalah orang-orang soleh yang telah menghabiskan
umur mereka untuk kebaikan, untuk tetap berada di jalan Allah, untuk berbakti
kepada Allah dan agamanya dan untuk membela agama Allah Rabbul ‘alamin. Kewajipan
kita untuk mengetahui siapa orang yang berhak dijadikan tauladan. Dan siapa
yang tidak berhak dijadikan tauladan. Dengarkanlah firman Allah yang
menyebutkan tentang tiga kriteria sifat yang apabila ketiga kriteria sifat ini
ada pada seseorang, maka tidak boleh kita jadikan sebagai tauladan. Allah
Subhanahu wa Taala berfirman,
وَلَا تُطِعْ مَنْ
أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“…Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan
dari mengingat Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya
itu melewati batas.”
(Surah 18, Al-Kahfi : ayat 28)
Kriteria Pertama
Kriteria sifat yang pertama :
وَلَا تُطِعْ مَنْ
أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا.
Maksudnya :
“Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami.” adalah orang tersebut menyebut Allah
dengan lisannya tapi melupakan Allah dalam hati. Atau hatinya lalai dari al Quran
sama sekali bahkan selalu menyelisihinya. Dan sifat orang munafik, mereka tidak
berzikir kepada Allah kecuali sedikit saja. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ
يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ
قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka .
Dan apabila mereka berdiri untuk solat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riak (dengan solat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali.”
(Surah 4, An-Nisaa : ayat 142)
Berzikir
di sini maksudnya adalah zikir-zikir yang diwajibkan, seperti solat misalnya.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
لِذِكْرِي
“… dan dirikanlah
solat untuk mengingat Aku.”
(Surah 20, Thaahaa : ayat 14)
Seseorang
yang solat di waktu siang, waktu petang demikian pula di waktu Maghrib, ‘Isyak
dan Subuh, maka ia telah melaksanakan zikir yang wajib.
Demikian
pula orang yang meninggalkan zikir-zikir yang sunnah, pun tidak layak kita
jadikan suri tauladan. Kerana sesungguhnya yang sunnah-sunnah itu bukan untuk
ditinggalkan akan tetapi untuk dijalankan.
Maka
dari itulah, orang yang dipalingkan oleh Allah untuk berzikir kepada Allah
pasti yang ia ingat selain Allah Subhanahu wa Taala. Sehingga hatinya
mengagungkan selain Allah, hanya berharap kepada selainNya, dan tidak
bertawakal kepadanya. Cinta pun bukan kerana Allah. Benci pun bukan kerana
Allah. Itulah orang-orang yang tidak pernah berzikir kepada Allah Subhanahu wa
Taala. Sehingga syahwat menjadi kenderaannya, hawa nafsu menjadi komandannya
dan kelalaian itulah menjadi kebiasaannya. Wal iyyadzubillaah.
Maka dari itu Allah berfirman,
وَلَا تُطِعْ مَنْ
أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا
“Jangan
engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk berzikir kepada Kami.”
Apabila
seseorang telah lalai untuk berzikir kepada Allah dan dia berpaling dari
berzikir kepadaNya, maka Allah jadikan syaitan sebagai temannya. Allah
berfirman,
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ
الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa
yang berpaling dari berzikir kepada Allah Yang Maha Pemurah, Kami adakan
baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.”
(Surah 43, AZ ZUKHRUF : ayat 36)
Yang
dimaksud dengan berpaling dari zikir dalam ayat ini adalah berpaling dari
peringatan Allah, iaitu al Quran. Siapa saja yang tidak mengimani al Quran,
membenarkan berita yang disebutkan di dalamnya, tidak meyakini perintah yang
diwajibkan di dalamnya, dialah yang dikatakan berpaling dari zikir pada Allah
dan syaitan pun akan menjadi teman dekatnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya al-Furqon (hal. 43).
Bahkan
Allah Subhanahu wa Taala mengancam kepada orang yang berpaling dari zikir ini iaitu
al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahawa orang tersebut akan diberikan penghidupan yang sempit di dunia dan
akhirat. Allah berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ
رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ
آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan
barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta. Berkatalah ia: Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan
buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman:
“Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.”
(Surah 20, Thaahaa : ayat 124-126)
Orang
yang melalaikan zikir kepada Allah, iaitu berupa peringatan-peringatan al Quranul
karim dan peringatan-peringatan dari sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan
dampak yang sangat buruk bagi kehidupan orang tersebut. Nasihat, pelajaran dan
ibrah dari al Quran dan As-Sunnah tidak bermanfaat lagi padanya, sehingga
hatinya pun mengeras. Padahal orang yang beriman, apabila disebutkan nama Allah
dia menjadi takut. Padahal orang yang beriman apabila dibacakan kepadanya
ayat-ayat Allah, dia menjadi tambah keimanannya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ
آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (kerananya),
dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”
(Surah 8, AL ANFAAL : ayat 2)
Kriteria Kedua
Lalu sifat yang kedua adalah mengikuti hawa nafsunya
وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
Al-hawaa. Tahukan kalian apakah itu al-hawaa,
wahai ukhti?
Sesungguhnya hawaaadalah
jalan yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-hawaa seringkali dimutlakkan oleh para ulama
untuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (baca: bidaah). Oleh kerana
itulah, mereka sering mengatakan ahlul bidaah sebagai ahlul-hawaa.
Pada
sifat yang kedua ini, orang tersebut selalu mengikuti hawaa yakni bidaah yang
menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Yang ia cari adalah sesuatu yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Ahli
bidaah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu, menentang dan memusuhi syariat
yang ada.” (Silahkan lihat al-I’tisham karya
Asy-Syathibi, 1/61)
Yunus
bin Abdul A’laa Ash-Shadafi[1] berkata, “Saya pernah berkata kepada Imam
Asy-Syafi’I, “Sahabat kami, yakni Al-Laits bin Sa’ad[2] pernah berkata, “Jika
kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas air janganlah terpedaya
dengannya hingga kalian lihat apakah orang tersebut mencucuki al Quran dan As Sunnah.”
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Tidak itu saja, semoga Allah merahmati beliau,
bahkan jika kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas bara api atau
melayang di udara maka janganlah terpedaya dengannya hingga kalian lihat apakah
ia mencucuki ajaran al Quran dan As Sunnah.”
(Diriwayatkan
oleh As-Suyuthi dalam ‘Al-Amr Bittiba Wan-Nahii Anil Ibtida’)
Di antara barometer atau
sifat orang yang berhak kita jadikan tauladan, iaitu mereka yang sentiasa
mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kriteria Ketiga
Lalu
Allah menyebutkan sifat yang ketiga. Orang yang tidak berhak dijadikan qudwah
yakni :
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan adalah keadaannya itu melampaui batas.”
Maksudnya,
orang tersebut banyak membuang waktu, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Hari
demi hari berlalu tapi dia tidak boleh menghasilkan sesuatupun (dari amal
ibadah). Di dalam ayat ini terdapat penjelasan pentingnya menghadirkan hati
ketika berzikir kepada Allah. Seseorang yang berzikir kepada Allah dengan
lisannya saja tanpa menghadirkan hatinya, maka berkah amal dan waktunya dicabut
hingga dia merugi dan sia-sia. Kita akan menemui orang tersebut berbuat selama
berjam-jam tapi tanpa hasil sedikitpun. Tapi kalau seandainya dia selalu
menggantungkan hatinya kepada Allah, maka dia akan merasakan berkah amalnya
tersebut.
Kita
lihat terdapat dua fenomena yang keduanya merupakan perkara yang sangat
menyimpang dari agama. Di satu pihak, terdapat orang yang menyia-nyiakan kewajipan-kewajipan
yang telah Allah Subhanahu wa Taala wajibkan kepadanya kemudian ada pihak lain
yang diapun berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menjalankan syariat. Dan ini
lebih berbahaya, wahai ukhti. Salah satu contohnya adalah, berlebih-lebihan
dalam hal pengagungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu yang ghaib. Dia menganggap bahawa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh memberikan manfaat dan mudarat.
Contoh lain adalah, pihak yang berlebih-lebihan kepada orang soleh. Sehingga ia
menganggap bahawa orang soleh boleh mengabulkan doa, padahal orang soleh
tersebut telah mati, orang yang berlebih-lebihan di dalam hal kafir
mengkafirkan. Maka orang-orang seperti ini tidak boleh dijadikan tauladan.
Tiga sifat yang Allah sebutkan yang apabila kita
terjemahkan tiga sifat ini, maka akan sangat panjang dan mencakup semua
keburukan yang ada yang telah Allah sebutkan dalam al Quran dan disebutkan
dalam berbagai hadits. Dan ketiga sifat ini tidak boleh kita jadikan qudwah (tauladan).
Maka
Kebalikannya, Orang Yang Boleh Dijadikan Qudwah Juga Yang Mempunyai Tiga Sifat. Yang Pertama Adalah Orang
Yang Sentiasa Memperhatikan Peringatan al
Quran Dan Sunnah Rasul, Serta Zikir Kepada Allah. Yang Kedua
Adalah Yang Sentiasa Mengikuti Sunnah Rasululah shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam. Yang Ketiga Adalah Yang Tidak Menyia-Nyiakan Kewajipan-Kewajipan Yang Allah
Wajibkan Kepadanya Dan Diapun Tidak Berlebih-Lebihan (Ghuluw) Dalam Beragama.
Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Footnote :
[1] Beliau adalah Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi Abu Musa AI-Mishri, seorang tsiqah. Silakan lihat Tahdzib At-Tahdzib (XI/440), Taqrib At-Tahdzib (II/385), Al-Jarh wat Ta’dil (IX/243), Wafayaatil A’yan (VII/249) dan Al-Ansab(VIII/288).
[2] Beliau adalah Al-Laits bin Saad bin Abdurrahman AI-Fahmi Abul Harits AI-Mishri, seorang tsiqah, faqih dan imam yang sangat terkenal. Silakan lihat Tarikh karangan Ibnu Ma’in (II/501) dan Siyar A’lamun Nubala’ (VIII/122).
[1] Beliau adalah Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi Abu Musa AI-Mishri, seorang tsiqah. Silakan lihat Tahdzib At-Tahdzib (XI/440), Taqrib At-Tahdzib (II/385), Al-Jarh wat Ta’dil (IX/243), Wafayaatil A’yan (VII/249) dan Al-Ansab(VIII/288).
[2] Beliau adalah Al-Laits bin Saad bin Abdurrahman AI-Fahmi Abul Harits AI-Mishri, seorang tsiqah, faqih dan imam yang sangat terkenal. Silakan lihat Tarikh karangan Ibnu Ma’in (II/501) dan Siyar A’lamun Nubala’ (VIII/122).
Penulis: Ummu Izzah Yuhilda
Muroja’ah: Ust. M. A. Tuasikal
Muroja’ah: Ust. M. A. Tuasikal
Tiada ulasan:
Catat Ulasan