Mengurai Erti Cinta
Menurut Imam Ghazali, kata "cinta" (mahabbah) berasal dari kata "hubb", yang sebenarnya mempunyai asal kata "habb" yang mengandung erti biji atau inti. Dari sini lah, cinta menjadi inti kehidupan seseorang.
Hakikat cinta adalah kecondongan hati terhadap sesuatu. Ketika seseorang telah jatuh cinta kepada orang lain, maka ia akan berbuat apa saja yang disukai oleh orang yang ia cintai, mencintai apa yang ia cintai (wala') dan pantang untuk melakukan perbuatan yang ia murkai, juga membenci apa yang ia benci (bara'). Itulah kelaziman cinta, jika tidak demikian maka akan dipertanyakan kecintaanya tersebut.
Dalam Islam, cinta atau mahabbah merupakan salah satu pilar dari tiga pilar ibadah yang lain iaitu: rojaa (pengharapan) dan khauf (rasa takut). Jadi orang yang beribadah tanpa cinta, seolah ia berjalan dengan pincang karena telah kehilangan salah satu pilarnya.
Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata: "Ada hamba yang beribadah kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA karena ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada juga hamba yang beribadah kerana takut siksaan, itu ibadahnya budak. Lalu ada sekelompok hamba yang beribadah kerana cinta, itulah ibadahnya orang mukmin”.
Cinta ALLAH SUBHANAHU WA TAALA Cinta yang Tertinggi
Sebanyak apa pun ragam cinta, ia tidak boleh lebih besar dari cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, ALLAH SUBHANAHU WA TAALA lah hulu cinta yang tertinggi. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran: "Katakanlah, jika bapa-bapamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu kuatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada ALLAH dan RasulNya serta berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai ALLAH memberikan keputusannya dan ALLAH tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang fasik."
(QS. 9:24)
Imam Ghazali mengatakan bahawa cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki darjat yang tertinggi,
"ALLAH mencintai mereka dan mereka pun
mencintaiNya."
(QS. 5: 54)
Ada banyak tanda yang harus kita tunjukkan sebagai bukti kecintaan kita
kepada ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA, di antaranya adalah:
1. Banyak Berzikir
Bagi seorang muslim, berzikir merupakan hal yang amat penting untuk menjaga kedekatannya dengan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, kerananya satu-satunya perintah ALLAH SUBHANAHU WA TAALA yang menggunakan kata katsira (banyak) adalah perintah zikir kepadaNya, sebagaimana firman ALLAH SUBHANAHU WA TAALA:
"Hai orang yang beriman, berzikirlah
kamu kepada ALLAH, zikir yang sebanyak-banyaknya."
(QS. 33:41)
2. Selalu Mengagumi ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
Orang yang cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA akan kagum terhadap kebesaran dan kekuasaanNya, kerananya ia akan selalu memujiNya dalam berbagai kersempatan, sebagaimana yang tercermin pada surat Al Fatihah :
"Segala puji bagi ALLAH, Tuhan semesta
alam."
(QS. 1:2)
3. Reda kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
Orang yang cinta bererti reda dengan yang dicintainya, kerana itu bila seseorang mengaku cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, maka ia pun harus reda kepada segala ketentuanNya. ALLAH SUBHANAHU WA TAALA berfirman:
"Dan tidaklah patut bagi lelaki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila ALLAH dan RasulNya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai ALLAH dan RasulNya maka
sungguhlah dia telah sesat dengan sesat yang nyata."
(QS 33:36)
4. Berkorban di JalanNya
Tiada cinta tanpa pengorbanan, begitu pula halnya dengan cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, yang harus ditunjukkan dengan pengorbanan di jalanNya. ALLAH SUBHANAHU WA TAALA berfirman:
"Sesungguhnya ALLAH telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk
mereka. Mereka berperang pada jalan ALLAH; lalu mereka membunuh atau terbunuh."
(QS. 9:111)
5. Takut kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
ALLAH SUBHANAHU WA TAALA berfirman:
"Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang yang ditawan.
Sesungguhnya kami memberikan makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keredaan
ALLAH, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima
kasih. Sesungguhya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari
itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan."
(QS. 76:8-10)
6. Berharap kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
Cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA juga membuat seseorang selalu berharap kepadaNya, yakni berharap untuk mendapatkan rahmat, reda dan pertemuan denganNya. ALLAH SUBHANAHU WA TAALA berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) RASULULLAH
itu suri teladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ALLAH
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut ALLAH."
(QS 33:21)
7. Selalu Taat kepadaNya
Ketaatan kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA merupakan sesuatu yang bersifat mutlak, kerananya manusia tidak boleh menggapai cinta ALLAH SUBHANAHU WA TAALA tanpa ketaatan, ALLAH SUBHANAHU WA TAALA berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendahului ALLAH dan RasulNya dan bertakwalah kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
(QS 49:1)
Warna-Warna Cinta
Dalam Islam, selain cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA ada beberapa macam cinta yang saling terkait dan terikat. Di antaranya adalah cinta kepada RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM, yang merupakan buah yang paling utama dari cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Setidaknya ada tiga bukti cinta kita kepada RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM: mengikuti sunnah-sunnahnya, memperbanyak selawat untuknya, dan memuliakan ahli baitnya.
Cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA pasti akan membuahkan cinta kepada syariat dan hukumNya. Siapa pun yang mengaku cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dan RasulNya, akan tetapi tidak berkomitmen untuk mengamalkan dan memperjuangkan tegaknya hukum ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dalam setiap lini kehidupan, pengakuan cintanya adalah dusta belaka.
Cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dan RasulNya juga akan membuahkan cinta kepada sesama Muslim. Kerana pada hakikatnya sesama kaum beriman adalah bersaudara, dan persaudaraan yang hakiki itu hanya ada di antara orang beriman. Tidak akan sempurna keimanan seseorang jika belum boleh mencintai saudaranya sesama mukmin, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Ada juga warna cinta yang lain, iaitu cinta atau rindu kepada tanah air dan bangsa. Imam Hasan Al Banna menyebutnya sebagai wathaniyyatul hanin, sebagaimana juga cinta kepada seluruh tanah umat Islam di penjuru dunia, tanpa terkotak-kotak oleh nama dan bendera.
Cinta kepada tanah air terbukti dengan perjuangan untuk memerdekakannya dari penjajah asing, dan upaya yang kuat untuk melindunginya dari kerosakan dan keinginan peribadi, serta kesungguhan untuk memakmurkannya dengan memilih pemimpin yang bersih, peduli, profesional, penuh cinta dan harmoni, juga mahu bekerja nyata untuk rakyatnya.
Di antara ragam cinta yang lain adalah cinta kepada pasangan dan keluarga. Cinta itu terwujud dalam ketulusan dan kesetiaan, tanggungjawab dan pengorbanan, kasih sayang dan romantisme, yang dibingkai dengan indahnya cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Sewaktu masih kecil Husain (cucu RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASSALLAM) bertanya kepada ayahnya, Ali bin Abi Thalib RA: "Apakah engkau mencintai ALLAH?" Ali pun menjawab: "Ya." Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai atuk dari Ibu?" Ali kembali menjawab: "Ya." Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?" Lagi-lagi Ali menjawab: "Ya." Husain kecil kembali bertanya: "Apakah engkau mencintaiku?" Ali menjawab: "Ya.”
Terakhir si Husain yang masih polos itu bertanya: "Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Ali pun menjelaskan: "Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada Datuk dari ibumu (Nabi SAW), ibumu (Fatimah RA) dan kepada kamu sendiri adalah kerana cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Kerana sesungguhnya semua cinta itu adalah cabang dari cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA." Setelah mendengar jawapan dari ayahnya itu, Husain pun tersenyum mengerti.
Wallahu a'lam bisshowab.
(Artikel ini ditulis untuk Buletin An-Nisaa, Riyadh, Saudi Arabia)
Diposkan oleh Hakimuddin Salim
Tiada ulasan:
Catat Ulasan