Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Rabu, 27 November 2013

M 108 : TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM

Maha Suci ALLAH SWT yang telah menurunkan al Quran dan mengutus Nabi Muhammad  shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami al Quran tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga ALLAH SWT mencurahkan hidayah dan inayahNya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk sentiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahawa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat al Quran, zikir-zikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mati. Kerana dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayat), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mati, walaupun terkadang berbeza antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disedari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut bererti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum iaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidaah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasihat untuk kita bersama agar berfikir lebih jernih dan dewasa bahawa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya iaitu al Quran dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wataala dan RasulNya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman (ertinya):

“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan RasulNya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.”
(An Nisaa’: 59)

Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya? dan para Tabi’in mahupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?

Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang yang majoritinya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeza dengan proses selamatan agama lain iaitu dengan cara mengganti zikir-zikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari al Quran, mahupun zikir-zikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka.

Dari aspek sejarah ini kita boleh mengetahui bahawa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam

Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting iaitu:

Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat al Quran, zikir-zikir dan disertai dengan doa-doa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayat.

Kedua: Penyajian hidangan makanan.

Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara sejarah acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja iaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca al Quran, berzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan sedekah.

1. Bacaan al Quran, zikir-zikir, dan doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mati.

Memang benar ALLAH SWT dan RasulNya menganjurkan untuk membaca al Quran, berzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca al Quran, zikir-zikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak peribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk amalan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya boleh dibenarkan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, kerana memang telah dinyatakan oleh 
ALLAH SWT dan RasulNya. ALLAH SWT berfirman (ertinya):

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmatKu atas kalian serta Aku redha Islam menjadi agama kalian.”
(Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (syurga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.”
(H.R Ath Thabrani)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung iaitu bahawa Islam telah sempurna, tidak perlu ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan mahupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan solat tahajjud dan tidak akan tidur malam,” yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka,” yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah,” maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya solat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.”
(Muttafaqun alaihi)

Para pembaca, ibadah menurut kaedah Islam tidak akan diterima oleh ALLAH SWT kecuali bila memenuhi dua syarat iaitu ikhlas kepada ALLAH SWT dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.ALLAH SWT menyatakan dalam al Quran (ertinya):

“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa di antara kalian yang paling baik amalnya.”
(Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlas dan yang mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorangpun yang menyatakan solat itu buruk atau shaum (puasa) itu buruk, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang di dalam hadits tersebut tanpa mencontohi sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wataala (ertinya):

“Mahukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Iaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahawa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”.
 (Surah Al Kahfi : ayat 103-104)

Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal bukan di atas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaedah ushul fiqh yang berbunyi:

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ

“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Kerana tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila ALLAH SWT dan RasulNya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap buruk melainkan bila Allah subhanahu wataala dan RasulNya menganggapnya buruk. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafie:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) bererti dirinya telah menciptakan hukum syarak (syariat) sendiri.”

Kalau kita mahu mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafie tentang hukum bacaan al Quran yang dihadiahkan kepada si mati, beliau di antara ulama yang menyatakan bahawa pahala bacaan al Quran tidak akan sampai kepada si mati. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wataala (ertinya):

“Dan bahawasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya.”
(An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).

2. Penyajian hidangan makanan.

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali di dalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mati baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga si mati, serta penghidangan makanan oleh keluarga si mati merupakan bahagian dari niyahah (meratapi si mati).”
(H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga si mati dan penjamuan hidangan dari keluarga si mati termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf iaitu Al Imam Asy Syafie dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafie, kerana majoriti kaum muslimin mengaku bermadzhab Syafie. Al Imam Asy Syafie rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal iaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga si mati) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Kerana hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.”
(Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafie setelah menyebutkan perkataan Asy Syafie di atas di dalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz beliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain iaitu bahawa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bidaah).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafie?
Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga si mati yang menghidangkan makanan untuk keluarga si mati, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ

“Hidangkanlah makanan buat keluarga Jaafar, Kerana telah datang perkara (kematian) yang menyibukkan mereka.”
(H.R Abu Daud, At Tirmidzi dan lainnya)

Mudah-mudahan pembahasan ini boleh memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.

Sumber : Bulletin Al Ilmu


Tiada ulasan:

Catat Ulasan