Maha
Suci ALLAH SWT yang telah menurunkan al Quran dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas
dan pembimbing untuk memahami al Quran tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi
umat manusia. Semoga ALLAH SWT mencurahkan hidayah dan inayahNya
kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk sentiasa
menerima kebenaran hakiki.
Telah
kita maklumi bersama bahawa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial
yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat untuk memperingati hari kematian.
Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta
masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat al Quran, zikir-zikir, dan
disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mati. Kerana dari sekian
materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali
bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah
“Tahlilan”.
Acara
ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang
dilakukan sebelum penguburan mayat), kemudian terus berlangsung setiap hari
sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100.
Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mati,
walaupun terkadang berbeza antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak
lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara
diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung
adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih
dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga
acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah
telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disedari
menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan
acara tersebut bererti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari
masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan
hukum iaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidaah (hal
yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para
pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka
yang suka tahlilan, namun sebagai nasihat untuk kita bersama agar berfikir
lebih jernih dan dewasa bahawa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang
telah diyakini keabsahannya iaitu al Quran dan As Sunnah.
Sebenarnya
acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat
Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan
kontra harus dikembalikan kepada al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti
inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar
beriman kepada Allah subhanahu wataala dan RasulNya. Bukankah Allah subhanahu
wataala telah berfirman (ertinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan RasulNya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.”
(An
Nisaa’: 59)
Historis
Upacara Tahlilan
Para
pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan
tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para
sahabatnya? dan para Tabi’in mahupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut
tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu
Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka
ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang yang majoritinya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeza dengan proses selamatan agama lain iaitu dengan cara mengganti zikir-zikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari al Quran, mahupun zikir-zikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka.
Dari aspek sejarah ini kita boleh mengetahui bahawa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan
Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting iaitu:
Pertama:
Pembacaan beberapa ayat/ surat al Quran, zikir-zikir dan disertai dengan
doa-doa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayat.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal
di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara sejarah
acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada
dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki
argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja iaitu istihsan (menganggap
baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil
dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca al Quran,
berzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan
menyajikan hidangan dengan niatan sedekah.
1. Bacaan al Quran, zikir-zikir, dan
doa-doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mati.
Memang
benar ALLAH SWT dan RasulNya menganjurkan untuk membaca al Quran,
berzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca al Quran, zikir-zikir,
dan doa-doa diatur sesuai kehendak peribadi dengan menentukan cara, waktu dan
jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk amalan
dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya boleh
dibenarkan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, kerana memang telah dinyatakan oleh ALLAH SWT dan RasulNya. ALLAH SWT berfirman (ertinya):
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, kerana memang telah dinyatakan oleh ALLAH SWT dan RasulNya. ALLAH SWT berfirman (ertinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmatKu atas kalian serta Aku redha Islam menjadi agama kalian.”
(Al
Maidah: 3)
Juga Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا
بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ
بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat
mendekatkan kepada Al Jannah (syurga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka)
kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.”
(H.R Ath Thabrani)
Ayat
dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung iaitu bahawa Islam
telah sempurna, tidak perlu ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu
ibadah, baik perkataan mahupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan solat tahajjud dan tidak akan tidur malam,” yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka,” yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah,” maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya solat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.”
(Muttafaqun
alaihi)
Para
pembaca, ibadah menurut kaedah Islam tidak akan diterima oleh ALLAH SWT kecuali bila memenuhi dua syarat iaitu ikhlas kepada ALLAH SWT dan
mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.ALLAH SWT menyatakan dalam al Quran (ertinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa di antara kalian yang paling baik amalnya.”
(Al
Mulk: 2)
Para
ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang
paling ikhlas dan yang mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorangpun yang menyatakan solat itu buruk atau shaum (puasa) itu buruk, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorangpun yang menyatakan solat itu buruk atau shaum (puasa) itu buruk, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang di dalam hadits tersebut tanpa mencontohi sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wataala (ertinya):
“Mahukah Kami beritahukan kepada kalian
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Iaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahawa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”.
(Surah Al Kahfi : ayat 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal bukan di atas
petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(Muttafaqun
alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaedah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ
فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal,
hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka
beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Kerana
tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila ALLAH SWT dan RasulNya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu
teranggap buruk melainkan bila Allah subhanahu wataala dan RasulNya
menganggapnya buruk. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafie:
مَنِ
اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik suatu
amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) bererti dirinya telah
menciptakan hukum syarak (syariat) sendiri.”
Kalau
kita mahu mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafie tentang hukum bacaan al
Quran yang dihadiahkan kepada si mati, beliau di antara ulama yang menyatakan
bahawa pahala bacaan al Quran tidak akan sampai kepada si mati. Beliau berdalil
dengan firman Allah subhanahu wataala (ertinya):
“Dan bahawasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya.”
(An
Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang
secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang
terpuji bahkan dianjurkan sekali di dalam agama Islam. Namun manakala penyajian
hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mati baik untuk sajian tamu
undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan
hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan
berkumpul di rumah keluarga si mati, serta penghidangan makanan oleh keluarga si
mati merupakan bahagian dari niyahah (meratapi si mati).”
(H.R
Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga
acara berkumpul di rumah keluarga si mati dan penjamuan hidangan dari keluarga si
mati termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana
fatwa salah seorang ulama salaf iaitu Al Imam Asy Syafie dalam masalah ini.
Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafie, kerana majoriti kaum
muslimin mengaku bermadzhab Syafie. Al Imam Asy Syafie rahimahullah berkata
dalam salah satu kitabnya yang terkenal iaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci
acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga si mati) meskipun tidak disertai
dengan tangisan. Kerana hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan
mereka.”
(Lihat
Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam
An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafie setelah menyebutkan
perkataan Asy Syafie di atas di dalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279
berkata: “Ini adalah lafadz beliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti
oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan
lainnya berargumentasi dengan argumen lain iaitu bahawa perbuatan tersebut
merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bidaah).
Lalu
apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy
Syafie?
Malah
yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga si mati yang menghidangkan
makanan untuk keluarga si mati, supaya meringankan beban yang mereka alami.
Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
اصْنَعُوا
لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ
“Hidangkanlah makanan buat keluarga Jaafar,
Kerana telah datang perkara (kematian) yang menyibukkan mereka.”
(H.R
Abu Daud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini boleh memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‘a’lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan