Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Jumaat, 16 November 2012

J129 SEPULUH Perkara yang akan menipu alim ulama

Kalangan Ulama ini ada beberapa golongan. Salah satu golongan dari mereka, adalah kalangan yang terlalu mendalami ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu rasionaI. Mereka sibuk dengan disiplin tersebut, namun mengabaikan penjagaan dirinya dari tindakan maksiat dan mengabaikan ketaatan. Mereka terpedaya oleh ilmunya sendiri. Anehnya, mereka menyangka memiliki posisi di hadapan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Bahkan mereka berasumsi bahawa ALLAH SUBHANAHU WA TAALA  tidak akan menyiksanya, kerana ilmunya telah mencapai suatu tahap tertentu. Mereka merasa boleh memberi syafaat terhadap orang lain, dan mereka tidak terkena tuntutan dosa dan kesalahannya. Mereka sebenarnya tertipu.

Kalau saja mereka mahu melihat dengan mata hati, pasti mereka akan menemukan titik pandang bahawa ilmu itu terbagi menjadi dua :

Ilmu Muamalat dan Ilmu Mukasyafah, iaitu pengetahuan terhadap ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. dan Sifat-sifat-Nya.

Sementara Ilmu Muamalat berfungsi sebagai komplementer hikmah yang dituju, iaitu pengetahuan tentang halal dan haram, pengetahuan etika jiwa yang tercela dan terpuji. Mereka itu seperti seorang doktor yang mampu mengubati orang lain, sedangkan ia sendiri ketika sakit sebenarnya mampu mengubati dirinya sendiri, tetapi hal itu tidak dilakukan. Lalu apa gunanya pengubatan tersebut? Sungguh jauh dari harapan, di mana terapi tidak akan bermanfaat kecuali orang yang mahu meminum ubat tersebut setelah merasakan demam. Mereka melupakan firman ALLAH SUBHANAHU WA TAALA :

“Sungguh benar-benar berbahagia orang yang menyucikan jiwa dan benar-benar merugi orang yang mengotorinya.”
(Q.S. asy-Sayms: 9-10).

ALLAH SUBHANAHU WA TAALA tidak berfirman, “Barangsiapa yang mengetahui penyucian jiwa dan menulis ilmunya, serta mengajarkannya kepada manusia”. Merekapun alpa terhadap sabda Nabi saw.:

“Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak tambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah daripada ALLAH kecuali jauh dariNya.”

“Sesungguhnya orang yang paling tersiksa di hari Kiamat adalah seorang ilmuwan yang tidak diberi oleh ALLAH kemanfaatan atas ilmunya.”

Dan hadis-hadis lainnya yang sepadan. Mereka itu adalah para Ulama yang tertimpa tipudayanya sendiri, dan semoga ALLAH SUBHANAHU WA TAALA menjaga kita dari tingkah laku mereka. Mereka sebenarnya terhimpit oleh kecintaan duniawi, egoisme dan mencari kemudahan dunia saja, sembari berangan-angan bahawa ilmunya mampu menyelamatkan dirinya di akhirat tanpa harus beramal.

Kelompok Pertama

Sedangkan kelompok Ulama lainnya menekuni ilmunya dan amal-amal lahiriah, meninggalkan maksiat-maksiat lahiriah, namun alpa dengan kondisi rohani jiwanya. Mereka tidak mahu menghapus sifat-sifat tercelanya di hadapan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA seperti: sombong, riak, dengki, ambisi posisi dan status, berhasrat buruk kepada sesama teman, mencari populariti di tengah-tengah negeri dan penduduknya.

Semua itu merupakan tipudaya, yang disebabkan oleh kealpaannya terhadap hadis Nabi saw.:

“Riak adalah syirik kecil.”
“Dengki itu memakan kebaikan seperti api menghanguskan kayu kering,”
“Cinta harta dan kemuliaan boleh menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air menumbuhkan sayur mayur.” Dan hadis-hadis lainnya.

Mereka pun melupakan firman ALLAH SUBHANAHU WA TAALA :

“Kecuali orang-orang yang menghadap ALLAH dengan hati yang bersih.”
(Q.S. asy-Syu’ara’: 89).

Mereka alpa hatinya dan cukup dengan kesibukan amal lahiriah belaka. Padahal yang hatinya tidak patuh, tidak akan sah taatnya. Ia ibarat orang berpenyakit kudis, lantas doktor memerintahkan untuk mengoleskan dan meminum ubat, tetapi ia hanya sibuk mengoleskan kulit luar saja, tanpa meminum ubat. Akhirnya, penyakit luar hilang tetapi penyakit dalamnya masih bercokol. Padahal akar penyakit itu justeru dari dalam, kerananya semakin bertambahlah penyakit dalamnya. Seandainya sumber penyakit dari dalam hilang, pasti yang di luar semakin ringan. Begitu pula kotoran-kotoran manakala bertengger dalam hati, akan tampak pengaruhnya pada fisik.

Kelompok Kedua

Sekelompok Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui bahawa pelanggaran tersebut dicaci oleh syariat. Hanya saja, kerana mereka terlalu berbangga dan kagum pada diri sendiri, mereka menduga dirinya lepas dari cacian tersebut. Di sisi ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, menurut mereka, telah bebas dari cubaan seperti itu. Mereka yang dicaci adalah kalangan awam, bukan pada pihak yang telah sampat pada taraf ilmu pengetahuan. Sementara mereka kalangan Ulama merasa bebas dari sangsi tersebut, sehingga mereka terjerumus dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi keluhuran dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri, bahawa cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan. Mereka beralasan apa yang dilakukan, sebagai upaya memuliakan agama, menampakkan kemuliaan pengetahuan dan membantu agama ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Mereka Iupa pesta iblis kerana tindakan mereka itu, mereka juga alpa bagaimana sebenarnya kontribusi Nabi Saw. dan bagaimana kehinaan orang-orang kafir.

Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat bertawadhuk, merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya. Sehingga Umar bin Khaththab ra. pernah dikritik kerana pakaiannya yang lusuh setibanya di Syam. Lalu Umar berkata, “Kami adalah kaum di mana ALLAH SUBHANAHU WA TAALA meninggikan kami dengan Islam. Kami tidak mencari kemuliaan selain Islam.”

Kemudian tipudaya lain, memakai pakaian kebesaran untuk meraih kemuliaan agama, dan ia menduga bahawa dirinya memuliakan ilmu dan menghormati agama dengan tindakannya. Ketika mereka membahas rasa dengki teman-temannya atau mereka yang kontra terhadap ucapannya, ia tidak menduga bahawa tindakannya itupun merupakan kedengkian pula. Lantas ia berkelit, “Ini merupakan kemarahan demi kebenaran, mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan kezalimannya.” Tentu tindakannya merupakan tipudaya. Sebab manakala ia menusuk sesama temannya melalui kritiknya, kadang-kadang ia melontarkan bukan dengan amarah, tetapi dengan rasa gembira kerana mampu mengkounter temannya.

Kalau di hadapan manusia ia tampak marah, padahal hatinya gembira. Terkadang lontarannya sebagai pamer pengetahuan, sembari berucap, “Tujuan saya, sebenarnya memberi kontribusi faedah kepada manusia,” padahal ucapannya itu didasari riak. Sebab bila tujuannya untuk membuat kebajikan kepada manusia, tentu ia pasti lebih senang bila tindakannya itu dilakukan oleh orang lain yang sepadan atau di atasnya, bahkan orang yang ada di bawahnya. Kadang-kadang ketika memasuki rumah para penguasa, ia memuji-muji dan menampakkan kecintaannya. Ketika ditanya soal tindakannya itu, ia menjawab, “Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan bersama umat Islam, dan menolak bahaya dari penguasa itu.” Padahal ia terkena tipudayanya sendiri. Tentunya, bila memang demikian tujuannya, pasti ia akan senang bila yang melakukan itu orang lain. Seandainya ada seseorang yang berkenan dan sukses perannya di hadapan penguasa, ia justeru emosi pada tindakan orang lain itu.

Ketika ia boleh meraih harta dari penguasa, lantas muncul di benaknya bahawa harta itu haram, tiba-tiba syaitan berbisik, “Ini harta tanpa pemilik, boleh dipakai untuk kemaslahatan umat Islam. Andakan pemuka umat dan pakar neraka. Kerana Andalah agama ini boleh tegak.”Di sini ada tiga tipudaya:

Pertama, bahawa ada harta yang tidak ada pemiliknya.

Kedua, demi kemaslahatan umat Islam.

Ketiga, ia adalah pemuka umat.

Lantas apakah ada seorang pemuka (Imam) kecuali orang yang menolak duniawi seperti para Nabi, para sahabat dan Ulama-ulama umat yang utama? Dan sepadan mereka, sebagaimana Isa as. berkata, “Seorang alim yang buruk ibarat batu di pinggir jurang, tidak mencerap air tidak pula memancarkan air” yang dialirkan ke pertanian.” Kalangan pakar ilmu pengetahuan ataupun Ulama, banyak yang terpedaya, dan tindakan destruktifnya lebih banyak dibanding reformasi kebajikannya.

Kelompok Ketiga

Mereka mampu mendefinisikan ilmu-ilmu pengetahuan dan menyucikan fisiknya, menampakkan ketaatan-ketaatannya, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan secara lahiriah, sementara mereka mengabaikan akhlak jiwa dari sifat-sifat qalbu, sehingga tetap memelihara riak, dengki, takbur, dendam dan ambisi meraih posisi. Mereka sedang berupaya memerangi diri mereka untuk bebas dari sifat-sifat tersebut, mereka ingin mencabut akar yang tumbuh dalam hatinya, tetapi mereka terpedaya. Sebab dalam pelataran kalbunya ada sejumlah sisa-sisa tersembunyi, berupa rekayasa syaitan dan cacat pengkhianatan nafsu yang semakin dalam dan curam. Mereka tidak mengerti bahkan kemudian mengabaikannya sama sekali. Padahal mereka ibarat orang yang ingin membersihkan tanaman dari rumput, ia mengelilingi tanaman itu dan meneliti setiap jengkal tanaman dan rumput yang ada. Tetapi ia tidak mencabut akar-akar rumput yang ada di dalam tanah, dengan menduga bahawa semuanya sudah selesai. Ketika alpa akan akar-akar rumput dalam tanah itu, rumput tumbuh kembali dan merosak tanaman. Mereka itu seandainya mau berubah pasti akan berubah. Kadang-kadang mereka tidak mahu bergaul dengan sesama, sebagai ekspresi kesombongannya, bahkan memandang mereka dengan sebelah mata. Terkadang mereka melakukan kritik terhadap ijtihad orang lain agar ia tidak dipandang sebelah mata saja.

Kelompok Keempat

Para Ulama yang meninggalkan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka hanya membatasi ilmu fatwa saja dalam bidang hukum dan peradilan. Mereka lebih banyak menekuni bidang kerja duniawi yang berjalan untuk kebaikan kehidupan. Lantas mereka menekuni bidang ilmu yang disebut dengan fiqih. Mereka sebut disiplin itu dengan fiqih atau ilmu mazhab, sementara bersamaan dengan penekunannya tersebut mereka mengabaikan amal-amal yang lahiriah mahupun batiniah. Mereka tidak menjaga fisik, tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan, mencegah perut dari barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke rumah-rumah penguasa. Jika demikian seluruh fisiknya, merekapun tidak boleh mengatur hatinya dari sikap takbur, riak, dengki dan seluruh sifat-sifat destruktif.

Mereka ini terpedaya oleh dua hal :

Pertama : Dari segi ilmu pengetahuan. Kami telah membangun terapinya dalam kitab Al-Ihya’. Bahawa mereka itu seperti orang sakit yang mengetahui ubatnya dari para cendekiawan, namun tidak mahu tahu dan tidak mahu menggunakannya. Mereka itu sebenarnya disanjung oleh kehancuran, dari segi bahawa mereka meninggalkan penyucian dan konsentrasi hati. Mereka lebih sibuk dengan bab haid, denda, li’an, dzihar, sementara mereka mengabaikan konstruksi di dalam jiwanya. Mereka terpedaya oleh pengagungan orang-orang yang mengelilinginya, kerana ia sebagai seorang hakim atau mufti yang menjadi rujukan. Bila mereka berpisah maka mereka saling menusukkan keburukan masing-masing, namun ketika mereka bertemu, lontaran-lontaran mereka tidak muncul lagi.
Kedua : Juga dari segi ilmu pengetahuan. Bahawa mereka berasumsi, ilmu pengetahuan itu hanya ada pada bidangnya, dengan menduga ilmunya dapat menyelamatkannya. Padahal sarana yang boleh menyelamatkan adalah kecintaannya terhadap ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. tidak boleh diraih kecuali dengan ma’rifatullah.

Ma’rifat ini ada tiga: Ma’rifat Dzat, Ma’rifat Sifat dan Ma’rifat Af’aal.

Mereka ibarat orang yang menjual bekal di tengah jalan orang yang sangat memerlukannya, sementara mereka tidak tahu bahawa fiqih (pemahaman) itu datang dari ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, mengenal SifatNya yang bersifat menakuti dan mencegah, agar hati sentiasa merasakan ketakutan, menekuni takwa, sebagaimana firmanNya:

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(Q.S. at-Taubah: 122).

Di antara mereka ada yang membatasi bidang pengetahuan agama tersebut pada bidang fiqih belaka dengan menekuni dimensi polemik antarulama (khilafiyah). Mereka tidak mencurahkan perhatian kecuali melalui metod perdebatan, disiplin dan menampakkan polemik, mempertahankan kebenaran semata bertujuan untuk bangga diri dan menang-menangan. Sepanjang siang dan malam mereka berdiskusi dalam soal pertentangan antarmazhab, mencaci kekurangan lawan atau terman. Mereka sebenarnya tidak bertujuan mencari ilmu, tetapi untuk suatu gengsi di hadapan orang lain. Seandainya mereka sibuk dengan penjernihan hatinya, pasti tindakannya lebih baik dibanding pengetahuan yang tak bermanfaat kecuali sekadar manfaat dunia dan kesombongan. Padahal gengsi tersebut akan berubah menjadi neraka yang menjilat di akhirat nanti. Padahal dalil-dalil mazhab tidak lebih dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Betapa buruknya tipudaya yang mereka geluti!

Kelompok Kelima

Mereka sibuk dengan ilmu Kalam dan polemik, dan sibuk mengkounter lawan-lawannya yang kontra. Mereka memperbanyak wacana logik yang berbeza-beza, dan menekuni doktrin metodologi dalam melawan kelompok lain yang berbeza. Mereka ini ada dua kalangan:
Pertama, kalangan yang sesat dan menyesatkan, dan
Kedua, adalah kalangan yang meneliti secara detail. Kalangan yang sesat dan menyesatkan, mereka terpedaya oleh kealpaannya melalui kesesatan yang dipeluk dengan dugaan kuat bahawa kesesatan itu boleh menyelamatkannya. Kelompok ini terpecah-pecah dan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Mereka tersesat kerana memvonis suatu pandangan tanpa mengetahui bukti dalil. dan metodologinya. Mereka menganggap dalil syubahatpun boleh dibuat pegangan dan akhirnya buktinya pun syubahat. Sementara kalangan yang meneliti secara detail, berpandangan bahawa polemik merupakan persoalan prioriti dan menempati posisi utama dalam agama Allah. Mereka berasumsi bahawa tak seorangpun boleh sempurna agamanya sepanjang belum mengkaji detail.

Siapa yang membenarkan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA tanpa membuat penelitian dan kajian terhadap suatu premis, dia tidak dikategorikan sebagai Mukmin yang sempurna dan tidak boleh dianggap dekat dengan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Mereka sama sekali tidak menoleh pada generasi pertama, bahawa Nabi saw. yang disaksikan oleh mereka sebagai makhluk paling utama sama sekali tidak menuntut suatu dalil untuk keimanan seseorang. Abu Umamah al-Bahily r.a. pernah meriwayatkan dari Nabi Saw. yang bersabda:

“Suatu kaum tidak akan pernah sesat sama sekali kecuali jika perdebatan didatangkan kepada mereka”.

Kelompok Keenam

Mereka sibuk dengan nasihat, mengangkat darjat orang-orang yang membahas seputar akhlak jiwa dan sifat-sifat hati, berupa khauf, raja, sabar; syukur; tawakkal, zuhud, yakin, ikhlas dan kejujuran. Mereka sebenarnya terkena tipudaya kerana dugaannya jika berbicara tentang predikat predikat tersebut dan berdakwah dengan mengajak manusia untuk mendisiplinkan dengan predikat itu, seakan-akan mereka telah memiliki predikat yang sama. Padahal mereka terlepas dari predikat tersebut kecuali sedikit orang saja, di mana kalangan awam tidak mengetahuinya. Mereka sebenarnya terbelenggu tipudaya yang dahsyat. Sebab mereka kagum dengan dirinya sendiri. Mereka menduga, bahawa mereka tidak menyelami ilmu cinta kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA kecuali mereka pasti selamat saat itu. Merekapun merasa aman dan terampuni dosanya kerana mereka hafal akan ucapan kalangan ahli zuhud, sementara amalnya sepi.

Mereka sebenarnya lebih dahsyat tipudayanya dibanding Ulama sebelumnya. Hal itu disebabkan:

Mereka menyangka mencintai ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dan RasulNya, sementara mereka tidak mampu menyelami hakikat ikhlas kecuali mereka benar-benar ikhlas.

Mereka tidak pernah berpijak pada cacat jiwa yang tersembunyi kecuali mereka merasa suci. Begitu pula seluruh sifat-sifatnya.

Mereka mencintai dunia namun dengan menampakkan zuhud duniawi, padahal sangat ambisius dengan dunia dan kecintaannya yang kuat.

Mereka menganjurkan ikhlas sementara mereka tak pernah berlaku ikhlas.

Mereka menampilkan tindakan berdoa kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA padahal mereka lari dari ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.

Mereka menampakkan ketakutan terhadap ALLAH SUBHANAHU WA TAALA padahal mereka merasa dirinya aman dari siksa ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.

Mereka berzikir kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA tetapi sebenarnya mereka lupa denganNya.

Mereka merasa dekat dengan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA padahal mereka jauh dariNya.

Mereka mencaci sifat-sifat tercela sedangkan sifat itu dipakai oleh diri mereka.

Mereka menampakkan seakan-akan tidak perlu makhluk, namun hatinya ambisius agar manusia mengerumuninya. Seandainya mereka dihalangi dari majlis-majlisnya di mana manusia berdoa kepada Allah di sana, dunia terasa sempit baginya.

Mereka menyangka melakukan kebajikan kepada manusia, namun seandainya ada orang lain lebih dahulu tampil dan berhasil di hadapannya, ia merasa gelisah dan dengki. Bila ada sebahagian sahabatnya yang memuji orang lain yang kontra padanya, ia bersikap emosi kepada sahabatnya itu.

Mereka itu adalah kalangan yang benar-benar terkena tipudaya, dan jauh dari peringatan serta kembali pada jalan yang benar.

Kelompok Ketujuh

Mereka beralih orientasi dari kewajipan prioriti dalam nasihat. Mereka adalah penasihat-penasihat zaman ini yang menyimpang, kecuali penasihat yang dilindungi oleh ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Mereka menekuni ketaatan, melakukan ekstase dan mengutip wacana-wacana dari aturan undang-undang syariat dan keadilan, semata-mata agar dikagumi. Kelompok lain malah menggunakan kata-kata yang indah, dengan tujuan menciptakan sajak-sajak dan agar disaksikannya perasaan-perasaan bertemu dan berpisah dengan Tuhan.

Orientasi mereka agar dalam majlisnya ada semacam ekstase, walaupun dengan tujuan-tujuan yang destruktif. Mereka sebenarnya adalah syaitan-syaitan manusia yang tersesat dan menyesatkan. Bila kelompok-kelompok di atas tidak introspeksi diri, toh masih ada orang lain yang mengoreksi dan meluruskan tindakan mereka. Namun untuk kelompok terakhir ini mereka justeru menghalangi jalan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, dan menyeret manusia pada tujuan-tujuan dan tipudaya kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dengan wacana-wacana penyimpangan, semata demi kemaksiatan dan kecintaan duniawi. Apalagi jika penasihat tersebut dihiasi dengan pakaian kebesaran dan penampilan, mereka berpidato di hadapan manusia agar selalu patuh, berharap rahmat kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, hingga mereka yang mendengarnyapun malah putus asa terhadap rahmat ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.

Kelompok Kelapan

Mereka menerima ucapan ahli-ahli zuhud dan kisah-kisahnya dalam mencaci dunia, lantas mereka mengulanginya menurut apa yang telah dihafalnya tanpa menguasai makna sebenarnya. Salah seorang dari mereka lantas berdiri di atas mimbar memberi nasihat kepada orang lain, dan yang lain memberi nasihat di pasar-pasar sambil mengobrol ke sana-ke mari. Mereka menduga dirinya akan selamat di hadapan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, mendapat ampunan dengan menghafal ucapan ahli zuhud sementara amalnya sendiri kosong. Tentu mereka ini lebih dahsyat terpedayanya dibanding sebelumnya.

Kelompok Kesembilan

Mereka menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang ilmu hadis, yakni dalam penyimakan hadis dan seluruh riwayatnya yang banyak. Mereka mencari-cari sanad-sanad yang asing dan tinggi. Hasrat mereka agar boleh berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh, untuk selanjutnya ia boleh mengatakan, “Saya meriwayatkan dari Fulan, dan saya bertemu Fulan, saya mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki orang lain.”

Tipudaya yang melanda mereka ini dari berbagai segi, antara lain mereka seperti pembawa buku. Mereka tidak berkonsentrasi untuk memahami Sunnah dan merenungkan ertinya, namun terbatas pada penukilan. Mereka menduga tindakannya itu sudah cukup, Sungguh jauh! Bahkan tujuan mempelajari hadis dari segi makna dan pemahamannya sirna begitu saja. Pertama-tama mempelajari hadis itu adalah mendengarkan, kemudian menghafal, lantas memahami, selanjutnya mengamalkan, baru menyebarkan. Mereka hanya membatasi diri mendengarkan kemudian tidak boleh membuat keputusan hukum dari ilmunya itu. Manakala tidak ada gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu, sementara hadis pada zaman ini boleh dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa. Sementara syeikh yang membacakan hadispun kadang-kadang lupa, sampai hadisnya bertumpuk namun tidak mengerti. Si murid boleh jadi tertidur ketika syeikh meriwayatkan hadis, dan sang syeikh tidak tahu ketika murid itu tidur. Semua itu merupakan tipudaya. Prinsip dalam penyimakan hadis adalah mendengarkannya dari Rasulullah saw, lantas menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana adanya. Riwayat itu lahir dari hafalan, dan hafalan lahir dari penyimakan. Bila penyimakannya lemah dari Rasulullah saw, ia boleh mendengarkan atau menyimak dari sahabat atau tabi’in, sehingga sima’nya dari mereka seperti penyimakannya dari Rasulullah saw. Ia harus memperhatikan dan menghafal sebagaimana para sahabat dan tabi’in menghafal, sehingga tak satu hurufpun yang dilalaikan. Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau mengajarkannya. Dan ia harus menyalahkan bila mana ada kesalahan.

Penghafalan hadis boleh melalui dua metode.
Pertama, melalui hati dengan cara kontinyu dan mengingat-ingat.
Kedua, melalui penulisan apa yang didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya agar tidak ada tangan yang mengubahnya. Dalam hal ini hafalannya tertumpu pada kitab atau buku hadis, seharusnya buku-buku tersebut tersimpan rapi dalam perpustakaan dan terjaga agar tidak diubah orang lain. Ia tidak boleh menulis penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang yang lupa dan orang yang tidur. Seandainya itu boleh, pasti penyimakan anak-anak boleh ditulis ketika dalam ayunan. Dalam penyimakan hadis memang ada syarat-syarat yang cukup banyak. Tujuan mempelajari hadis adalah mengamalkan dan mengetahuinya.
Hadis memiliki pemahaman yang banyak sebagaimana al-Quran. Riwayat dari Abu Sufyan bin Abul Khair al-Munhy, bahawa dirinya hadir dalam majlis Zahir bin Ahmad as-Sarkhasy. Hadis pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi saw.:

“Di antara kebajikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan apa yang tak berguna”.

Lantas ia berdiri dan berkata, “Ini sudah cukup bagiku hingga aku menuntaskan, kemudian barulah aku menyimak yang lain.” Demikian itu merupakan penyimakan yang sebenarnya.

Kelompok Kesepuluh

Mereka menekuni di bidang ilmu nahwu dan bahasa serta syair dan bahasa-bahasa langka. Mereka terpedaya di sini, kerana menduga disiplin ilmunya boleh menyelamatkannya. Mereka merasa sebagai ulama umat. Kerana tegaknya agama dan Sunnah itu disertai ilmu nahwu dan bahasa. Lantas mereka tenggelam dalam bidang tersebut. Sungguh ini keterpedayaan yang besar. Kalau mereka berfikir pasti mereka tahu bahawa bahasa Arab itu seperti juga bahasa Turki. Orang yang mencurahkan hidupnya untuk bahasa Arab seperti orang lain yang mendalami bahasa Turki, India dan yang lainnya. Mereka hanya dibezakan adanya syariat saja. Padahal bidang bahasa adalah untuk mengenal ilmul gharib dalam Kitab dan Sunnah. Dan dari segi nahwu ada yang berkaitan dengan Kitab dan Sunnah, sementara mendalami secara ekstrem sampai pada frekuensi tak terbatas adalah sikap berlebihan yang tidak perlu dilakukan. Pakar dalam hal ini sebenarnya terkena tipudaya.

Wassalam: Ki Semar

http://sabdaislam.wordpress.com/2010/09/14/tipu-daya-yang-menimpa-para-ulama/


Tiada ulasan:

Catat Ulasan