Kebaikan
selalu mententeramkan jiwa dan keburukan selalu menggelisahkan jiwa. Itulah
realiti yang ada pada umumnya manusia.
Dari cucu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Hasan bin ‘Ali,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ
يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa
yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa,
sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.”
Dalam
lafazh lain disebutkan,
فَإِنَّ الخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ
وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ
“Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan keburukan
selalu mendatangkan kegelisahan.”
Dalam
hadits lainnya, dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ
وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan
keburukan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika keburukan
tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah
manusia.”
An
Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa selalu
menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hatipun akan nampak tidak
tenang dan selalu khuatir akan dosa.”
Sampai-sampai
jika seseorang dalam keadaan bingung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan menanyakan pada hatinya, apakah perbuatan
tersebut termasuk dosa ataukah tidak. Ini terjadi tatkala hati dalam keadaan
gundah gulana dan belum menemukan bagaimanakah hukum suatu masalah.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihatkan pada
Wabishoh,
اسْتَفْتِ نَفْسَكَ ، اسْتَفْتِ
قَلْبَكَ يَا وَابِصَةُ – ثَلاَثاً – الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ
النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى النَّفْسِ
وَتَرَدَّدَ فِى الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
“Mintalah fatwa pada jiwamu. Mintalah fatwa pada hatimu
(beliau mengatakannya sampai tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang
menenangkan jiwa dan mententeramkan hati. Sedangkan keburukan (dosa) selalu
menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.”
Ibnu
Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Hadits
Wabishoh dan yang semakna dengannya menunjukkan agar kita selalu merujuk pada
hati ketika ada sesuatu yang merasa ragu. Jika jiwa dan hati begitu tenang, itu
adalah suatu kebaikan dan halal. Namun jika hati dalam keadaan gelisah, maka
itu berarti termasuk suatu dosa atau keharaman.” Ingatlah
bahwasanya hadits Wabishoh dimaksudkan untuk perbuatan yang belum jelas halal
atau haram, termasuk dosa ataukah bukan. Sedangkan jika sesuatu sudah jelas
halal dan haramnya, maka tidak perlu lagi merujuk pada hati.
Demikianlah
yang namanya dosa, selalu menggelisahkan jiwa, membuat hidup tidak tenang. Jika seseorang mencuri,
menipu, berbuat kecurangan, korupsi, melakukan dosa besar bahkan melakukan
suatu kesyirikan, jiwanya sungguh sulit untuk tenang.
Bagaimana pula jika ada yang melakukan dosa malah hatinya begitu
tenteram-tenteram saja?
Jawabannya,
bukan perbuatan dosa atau maksiat dibenarkan. Yang benar adalah itulah keadaan
hati yang penuh kekotoran, yang telah tertutupi dengan noda hitam kerana tidak
kunjung berhenti dari maksiat. Allah Taala berfirman,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى
قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu
mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
(QS. Al
Muthoffifin: 14).
Jika hati
terus tertutupi kerana maksiat, maka sungguh sulit mendapatkan petunjuk dan
melakukan kebaikan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Jika
hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ
فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ
Allahumma
inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot. Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai
kemungkaran.
Diselesaikan di siang hari di
Panggang-Gunung Kidul, 15 Syawal 1431 H (23/09/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Tiada ulasan:
Catat Ulasan