Firman
Allah yang ertinya,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.”
(QS.
Al-Hujurat: 13)
Sebahagian
kita memahami “di sisi” Allah adalah semata-mata kejadian kelak di akhirat
nanti. Namun sesungguhnya posisi/darjat manusia di sisi Allah berlangsung
ketika kehidupan di dunia.
Ada
sebahagian muslim “berani” melakukan perbuatan yang dilarang Allah,
sesungguhnya kerana tidak merasakan “di sisi” Allah. Padahal Allah Maha
Mengetahui, Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Sedangkan
ada sebahagian muslim kerana posisi/darjatnya lebih mulia “di sisi” Allah
maka Allah berikan jalan keluar dan Allah berikan rezeki dari arah
yang tidak disangka dan Allah mencukupkan (keperluan)nya.
Sesuai
dengan firman Allah yang ertinya,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah nescaya Dia akan memberikan jalan keluar,
dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barangsiapa yang
bertawakal kepada Allah nescaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
(QS.
Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Benarlah,
manusia di sisi Allah ketika kehidupan di dunia bahkan dimulai sejak manusia
diciptakan.
Menurut
para ahli Tasawuf, hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama, iaitu
bangunan jasmani dan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan melalui enam
proses kejadian iaitu:
1.
Sari pati tanah
2.
Nuftah
3.
Segumpal darah
4.
Segumpal daging
5.
Pertumbuhan tulang-belulang
6.
Pembungkusan tulang-belulang
Sebagaimana
firman Allah yang ertinya,
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan
manusia daripada sari pati tanah. Kami jadikan sari pati tanah itu air mani
yang ditempatkan dengan kukuh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami
jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu, Kami jadikan segumpal daging,
Kami jadikan pula tulang-belulang, kemudian tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging.”
(QS
Al Mu-minun (23): 12-14)
Setelah
melalui enam tahap proses tersebut maka jasmani manusia boleh dikatakan sebagai
makhluk yang sempurna apabila dipandang dari sudut jasmaniah, tetapi apabila
dipandang dari sudut Rohaniah, manusia yang belum ditiupkan RohKu belumlah
dapat disebut manusia sempurna. Oleh kerananya itu, pada proses kejadian yang
ketujuh, Allah meniupkan sebahagian RohNya kepada jasmani manusia. Pada saat
itulah manusia tersebut boleh dikatakan sebagai manusia yang sempurna baik
jasmani mahupun rohani.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka jika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan
kedalamnya RohKu, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka
bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama.”
(QS
Al Hijr (15):28-30)
Dimaksud
dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.
“Kemudian
Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebahagian dari RohNya
dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit
sekali kamu bersyukur.”
(QS
As Sajadah (32):9)
Menurut
tinjauan ahli Tasauf, di bahagian kepala manusia terdapat tujuh buah lubang
(pintu) sebagai sumber rasa inderawi, iaitu,
1.
Dua lubang telinga sebagai sumber (alat)
pendengaran.
2.
Satu lubang mulut sebagai sumber (alat)
pengucapan dan pengecapan
3.
Dua lubang mata sebagai sumber (alat)
penglihatan
4.
Dua lubang hidung sebagai sumber (alat) pernafasan.
Ketujuh
buah lubang (pintu) yang ada di kepala manusia tersebut secara simbolis
diinformasikan Allah dalam alQuran dengan istilah “tujuh buah jalan” yang ada
di atas badan manusia.
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas (badan) kamu tujuh buah jalan dan
kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami.”
(QS
Al-Mu’minun (23):17)
Tujuh
lubang ini disebut juga sebagai “pembuka,” kerana dengan tujuh lubang inilah,
manusia berhasil membuka segala rahsia pengetahuan, baik yang bersifat lahir mahupun
batin.
Proses
terjadinya aktifiti alat inderawi tersebut yang terwujudkan dalam bentuk
pendengaran, pengucapan atau pengecapan, penglihatan dan pernafasan inilah yang
disebut kiasan “tujuh buah jalan” yang dapat memberi petunjuk kerana dengan
adanya empat inderawi tersebut maka manusia mendapatkan pengetahuan tentang
masalah apapun yang sedang dipelajarinya.
Pada
tubuh manusia, total keseluruhan terdapat sepuluh lubang inderawi, iaitu tujuh
di kepala dan tiga lubang dibahagian badan iaitu lubang pusar, lubang anus dan
lubang kemaluan.Khusus untuk lubang pusar sudah tidak berfungsi sejak manusia
dilahirkan.Sehingga yang berfungsi secara maksimal adalah Sembilan lubang yang
ada pada tubuh manusia.
Apabila
dikaitkan dengan keadaan bayi dalam kandungan maka dapat terlihat bahawa
Sembilan lubang yang ada pada tubuh bayi tidaklah berfungsi, hal ini disebabkan
seorang bayi dalam kandungan berada di dalam air ketuban (omnium
water).Sehingga seorang bayi dalam kandungan tidak melakukan aktiviti inderawi
secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau
berbicara dengan mulut, tidak bernafas dengan hidung, tidak melihat dengan
mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil
melalui anus atau kemaluan,tetapi bayi tersebut mendapatkan semua keperluan
jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan
dinding rahim ibu.
Dalam
kandungan, seorang bayi juga tidak berfikir disebabkan fungsi otaknya belum
sempurna, tetapi kemampuan rohani bayi telah hidup sempurna.Peristiwa ini
dialami oleh seorang bayi selama kurang lebih sembilan bulan. Dalam
bahasa Tasawuf, keadaan ini disebut dengan peristiwa dimana seorang bayi berada
dalam Janah yang berada di bawah telapak kaki ibu selama Sembilan bulan.
Sayangnya
setelah bayi itu tumbuh dewasa, dia tidak dapat mengingat perjalanannya ketika
berada dalam kandungan rahim ibunya.Oleh kerana itu Islam mengajarkan agar
setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat
kembali menemui Allah.
“Dan
sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami
ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan
dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….”
(QS
Al An’am 6: 94)
“Mereka
dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman:
“Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu
pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahawa Kami tiada menetapkan
janji bagi kamu.”
(QS
Al Kahfi 18:48).
Sejak
bayi dalam kandungan yang bersih dan suci telah keadaan “menemui” Allah.
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.”
(QS-
Al A’raf 7:172)
Setelah
anak manusia terlahir ke dunia, keluarga adalah lingkungan pertama yang
dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak
belajar kata-kata yang pertama.Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih
sayang.Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan.Bagaimana
sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada
ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.
Dengan
telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi.Semakin banyak
yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih,
orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama.
Betapapun
sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetaplah sangat berpengaruh
pada pembentukan keperibadian anak.Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola
fikir dan perasaan anak.
Di
dalam Islam, sistem pendidikan dalam keluarga menjadi penentu masa depan anak.
Apakah anak akan menjadi soleh, baik, santun, penyayang atau kurang ajar,
kasar, bengis, semuanya tergantung pada tangan-tangan pertama yang mendidiknya,
yakni orang tuanya.
Dalam
sebuah hadits, menurut kesaksian Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap
bayi dilahirkan di atas fitrah (mentauhidkan Allah), kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani atau seorang Majusi.”
(HR.
Muslim).
Hadits
ini menunjukkan bahawa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.Yang
dimaksud adalah anak-anak yang baru dilahirkan memiliki fitrah yang bersih dan
suci, yaitu beriman kepada Allah SWT.Orang tua memiliki peranan dalam
mengarahkan fitrah anak. Apakah akan tetap bersih, murni dan bersinar? Ataukah
cahayanya akan memudar, bahkan hilang.
Lalu
bagaimana arah tujuan pendidikan anak berdasarkan Islam.
Kalau
mengacu kepada al Quran, maka al Quran memberi tuntunan bagaimana seharusnya
tujuan pendidikan anak.
Allah
SWT berfirman yangertinya,
“Dan
orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS
al Furqaan 25: 74)
“...Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang soleh, tentulah kami terrmasuk orang-orang
yang bersyukur.”
(QS.
Al A’raf 7: 189)
“...Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”
(QS.
Ali Imran: 110)
Ini
sebenarnya inti dari kurikulum pendidikan anak:
(1)
menjadikan anak-anak kita sebagai penyenang hati / penyejuk mata dan
orang-orang bertakwa.
(2)
Menjadikan anak-anak kita sebagai anak-anak yang soleh.
(3)
Menjadikan anak-anak kita sebagai umat terbaik yang akan mengembang dakwah
Islam, dan menegakkan amar makruf nahi munkar.
Kemudian
setelah anak dewasa dan mampu dengan bekal pengetahuan dan pendidikan yang diperolehi
mereka akan mengharungi kehidupan dengan petunjuk alQuran dan Hadist.
Dengan
kemampuan merekalah mengikuti petunjuk alQuran dan Hadist, mengupayakan
posisi/darjat di sisi Allah. Sebahagian mereka yang dianugerahi Allah ilmu
pengetahuan mendapatkan posisi/darjat yang lebih baik sebagaimana firman Allah
yang ertinya,
“Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam
majlis,” maka lapangkanlah nescaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, nescaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa darjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
(QS
Al Mujaadilah 58: 11)
Upaya
kitamendapatkan posisi/darjat yang lebih baik di sisi Allah, salah
satunya dengan mengendalikan hawa nafsu atau mengendalikan tujuh buah
lubang (pintu) sebagai sumber rasa inderawi.
Hawa
nafsu yang bersarang pada jasmani kita, dapat dibagi menjadi empat kelompok, iaitu:
1.
Nafsu Amarah yang bentuk perwujudannya berupa sifat marah, dengki, ujub dan
syirik. Nafsu ini sumbernya di telinga yang dapat timbul melalui hantaran
pendengaran. (Dua lubang telinga, disimbolkan pintu Umar bin Khatab).
2.
Nafsu Lawamah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat rakus, tamak, loba dan
malas. Nafsu ini sumbernya di mulut yang dapat timbul melalui
hantaran pengucapan atau pengucapan (Satu lubang mulut disimbolkan pintu
Ali bin Thalib).
3.
Nafsu Sufiyah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat cinta, kekaguman, dan
keindahan. Nafsu tersebut berada pada mata yang akan timbul melalui
hantaran penglihatan(Dua lubang mata disimbolkan pintu Usman bin Affan).
4.
Nafsu Mutmainah yang termanifestasikan dalam sifat ketenangan dan kedamaian.
Nafsu tersebut berada di hidung yang dapat timbul melalui hantaran
pernafasan (Dua lubang hidung disimbolkan pintu Abu Bakar).
Keempat
nafsu yang termanifestaasikan dalam bentuk pendengaran, pengucapan (pengucapan),
penglihatan dan pernafasan, pada akhirnya akan menimbulkan “hawa” yang
berbentuk rasa jasmani yakni :
1.
Rasa Pendengaran.
2.
Rasa Pengecapan atau pengucapan
3.
Rasa Penglihatan
4.
Rasa Pernafasan atau penciuman
Semua
bentuk “rasa” tersebut bersifat ghaib atau batin yang tidak berwujud tetapi boleh
dirasakan keberadaannya.Keempat rasa dari nafsu tersebut dapat dimatikan mahupun
dihidupkan, tergantung dari bagaimana kita menutup atau membuka “pintu” keluar
masuknya rasa dari sumber nafsu tersebut.
Cara
menutup pintu hawa nafsu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah
diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah yang ertinya:
“Carilah Akhirat dengan “alat” yang
telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia.”
(QS
Al Qashash 28: 77)
“Tatkala aku berada di sisi Rasulullah
Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu?” Lantas
beliau memerintahkan supaya pintu ditutup dan bersabda “Angkat tangan kamu.”
(HR
Al Hakim)
“Tutup
pintumu dan ingatlah Allah.”
(HR
Bukhari).
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas daripada Nabi saw :
“Tutuplah seluruh pintu-pintu kecuali
pintu Abu Bakar.”
Prosesi
“menutup pintu” hawa nafsu yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan
dengan “Takbiratul Ihram,” (Takbir Larangan) yang mempunyai erti bahawa
ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali solat, kita
diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktiviti inderawi seperti mendengar,
melihat, dan berbicara kecuali bernafas (simbol pintu Abu Bakar), kerana
kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh). Hal ini sesuai
dengan firmanNya yang ertinya,
“Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.”
(QS
Al An’am 6: 79)
Ayat
di atas merupakan pernyataan setiap kali kita solat, bahawa kita menyedari
sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah, yang Maha Suci
(bertawajuh).Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahawa “Solatku, Ibadahku, Hidupku dan Matiku semata-mata hanya
untuk Allah semata.” Jika keadaan ini terjadi, tak mungkin akal kita
berkeliaran tak terkendali mengingat selain Allah. Kita juga tidak akan
melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan Allah.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan
kepadamu, iaitu Al Kitab dan dirikan solat.Sesungguhya solat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (solat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain).”
(QS
Al Ankabut 29: 45)
Allah
memberikan gelar kepada orang yang solat tidak sesuai dengan ikrar/sumpahnya
sebagai solatnya orang munafik.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu
menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri
untuk Solat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riak (dengan solat)
di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka zikrullah (menyebut Allah)
kecuali hanya sedikit sekali.”
(QS
An-Nisa 4: 142)
Ketika
melakukan solat, ada kalanya mengalami rasa bosan dan tidak kusyuk, padahal
dalam doa iftitah kita telah berikrar bahawa kita sedang menghadapkan wajah
kita kepada Allah. Hal ini terjadi kerana tidak mengetahui bagaimana cara
melakukan Takbiratul Ihram dengan baik.
Nabi
Muhammad Saw bersabda, bahawa “solat itu adalah mikrajnya
orang-orang mukmin.” Iaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang
terdapat dalam fizik manusia menuju ke hadirat Allah.
Apakah
kita boleh “bertemu” dengan Allah ketika Solat?
Sebahagian
orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori dan berkeyakinan bahawa
manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia.Akibatnya kebanyakan orang
tak mahu pusing mengenai hakikat solat atau bahkan hanya menganggap solat
sebagai kewajipan yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan
tujuannya.
Dilain
pihak ada orang yang melakukan solat, telah mengerahkan segenap daya untuk
mencapai kusyuk, akan tetapi tetap saja fikiran masih menerawang tidak karuan
sehingga tanpa disedari sudah keluar dari “kesedaran solat”. Allah telah
mengingatkan hal ini, bahawa banyak orang solat akan tetapi kesedarannya telah
terseret keluar dari keadaan solat itu sendiri, iaitu bergeser niatnya bukan
lagi kerana Allah.
”….
maka celakalah orang-orang yang solat, (iaitu) orang-orang yang lalai dalam
solatnya, dan orang-orang yang berbuat riak.”
(QS
Al-Ma’un 107: 4-6)
Perihal
itu terjadi bagi orang yang dalam solatnya tidak menyedari bahawa ia sedang
berhadapan dengan Tuhannya sehingga fikirannya melayang liar tanpa kendali.
Solat yang demikian adalah solat yang shahun.Keadaan tersebut bertentangan
dengan firman Allah yang menghendaki solat sebagai jalan untuk mengingat Allah.
“… maka
sembahlah Aku dan dirikanlah solat untuk mengingat Aku.”
(QS
Thaha 20: 14)
“… dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
(QS
Al A’raaf 7: 205)
Inilah
rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah dalaman ibadah solat, iaitu
untuk mengingat Allah, bukan sekadar membongkok, bersujud dan komat-kamit tiada
sedar dengan yang dilakukan.Solat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak
dilakukan orang, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan
watak mushallin yang sebenarnya, iaitu tercegah dari perbuatan keji dan
mungkar.
“Jangan engkau mendekati solat sedang
kamu dalam keadaan mabuk (tidak sedar)…”
(QS
An nisa 4: 43)
Nahyi
(larangan) ditujukan kepada mushalilin agar tidak melakukan solat jika masih
belum sedar bahawa dirinya sedang berhadapan dengan Sang Khaliq. Larangan
itu merupakan syarat mutlak dari Allah.Cuba kita renungkan, untuk mendekati
saja kita dilarang, apalagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan maka Allah
akan murka, yang ditunjukkan dengan perkataan iaitu
“maka celakalah orang yang solat,
(iaitu) orang-orang yang lalai dalam solatnya dan orang-orang yang berbuat
riak.”
(QS
Al-ma’un 107: 4-6)”
Allah
juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyuk dalam solatnya :
“Sungguh
beruntunglah mereka yang beriman iaitu orang-orang yang khusyuk dalam solatnya.”
(QS
Al Mukminun 23: 1-2)
AlQuran
menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyuk, iaitu kerana memperturutkan hawa
nafsu dan melalaikan solatnya. Dalam alQuran Allah juga telah menunjukkan jalan
bagi yang mendapatkan kekhusyukan
“Jadikanlah sabar dan solat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk, (iaitu) orang-orang yang meyakini, bahawa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahawa mereka akan kembali kepadaNya.”
(QS
Al Baqarah 2: 45-46)
Semoga
kita dapat merasakan menemui Allah, kedekatan dengan Allah, mengetahui
posisi/darjat kita di sisi Allah.
Semakin
kita dekat dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan Allah, semakin jauh
kita dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan diri kita sendiri.
Semakin
kita dekat dengan Allah maka kita yakin bahawa segala keperluan kita didunia,
Allah akan mencukupkannya, sedangkan semakin jauh kita
dengan Allah maka kita akan “kepayahan” dengan upaya sendiri memenuhi segala
keperluan kita di dunia.
Orang
yang dekat dengan Allah dikenal sebagai orang-orang Arif.
Orang-orang
Arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan
perbuatan jika Allah yang berkenan bukan kerana keinginan mereka sendiri.
Mereka
faham bahawa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka
berikan untuk diri mereka sendiri.
Jalan
untuk dapat selalu menyibukkan diri dengan Allah atau mengetahui apa yang Allah
berkenan adalah dengan “mengenal” Allah, yakni yang kita kenal
marifatullah. Dengan mengenal Allah (marifatullah) maka kita boleh
memahami apa yang Allah berkenan.
Ilmu
untuk mempelajari tentang marifatullah itulah Ilmu Tasawuf.
Untuk
mencapai pemahaman orang-orang arif tidak cukup dengan kaedah pemahaman secara
harfiah atau tekstual akan tetapi melalui kaedah pemahaman yang lebih dalam /
maknawi atau dikenal “mengambil pelajaran” dengan hikmah.
Sesuai
dengan firman Allah,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang al Quran dan As Sunnah) kepada
siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi kurnia yang banyak. Dan hanya orang-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
(Al-Baqarah
– 269)
Wassalam.
Ditulis
dari berbagai sumber, sebahagian besar diambil dari buku Abu Irsyad, Menyingkap
Rahsia Solat & Puasa sebagai sarana menemui Allah, Pustaka Aladdin
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/01/posisi-di-sisi-allah/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan