Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Ahad, 30 Jun 2013

Bab 261 Uraian Perihal Dusta Yang Dibolehkan






Ketahuilah bahawasanya dusta itu, sekalipun asal hukumnya adalah diharamkan, tetapi dapat menjadi jaiz atau boleh dalam sebahagian keadaan, yakni dengan beberapa syarat yang sudah saya terangkan dalam kitab Al-Adzkar. Adapun keringkasannya keterangan tersebut ialah bahawasanya pembicaraan itu adalah sebagai perantaraan untuk menuju kepada sesuatu maksud. Maka dari itu, semua maksud yang baik yang untuk menghasilkannya itu dapat dilakukan tanpa berdusta, maka berdusta dalam keadaan sedemikian adalah haram, tetapi jikalau tidak mungkin dihasilkannya melainkan dengan berdusta maka bolehlah berdusta itu. Selanjutnya, apabila menghasilkan maksud itu merupakan sesuatu yang mubah, yakni boleh saja hukumnya, maka berdusta di situ juga mubah hukumnya, sedang jikalau menghasilkannya itu merupakan sesuatu yang wajib, maka berdusta itupun menjadi wajib pula hukumnya. Misalnya jikalau ada seseorang Muslim bersembunyi dari kejaran seorang yang zalim dan menginginkan akan membunuhnya atau hendak mengambil hartanya dan orang itu menyembunyikan hartanya, lalu ada seseorang yang ditanya, maka wajiblah yang ditanya itu berdusta dengan maksud untuk menyembunyikan orang tersebut yakni yang akan dianiaya itu. Demikian pula jikalau di sisinya ada suatu titipan dan ada seorang zalim yang hendak mengambilnya, maka wajiblah yang dititipi itu berdusta dengan maksud menyembunyikannya. Tetapi yang lebih berhati-hati dalam kesemuanya ini ialah supaya seseorang itu melakukan tawriah. Makna tawriah itu ialah menggunakan sesuatu ibarat atau kata-kata yang tujuannya adalah benar yakni bukan merupakan kata-kata dusta, nisbat untuk dirinya sendiri, sekalipun tampaknya sebagai kata-kata dusta menurut lahiriahnya lafaz yang diucapkan itu, nisbat bagi pemahaman orang yang diajaknya bercakap-cakap. Sekalipun demikian, andaikata ia tidak menggunakan tawriah, lalu langsung saja menggunakan ucapan yang benar-benar dusta, maka hal itu pun tidak juga haram hukumnya dalam hal ini.
Para ulama mengambil dalil tentang bolehnya berdusta itu ialah dengan Hadisnya Ummu Kultsum radhiallahu 'anha bahawasanya ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

Yang Bermaksud : "Bukannya orang yang berdusta apabila seseorang itu bermaksud mengislahkan yakni memperbaiki antara para manusia yang sedang berselisih, lalu ia menyampaikan sesuatu berita yang baik-baik atau mengucapkan yang baik-baik." 
(Muttafaq 'alaih)


Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya: Ummi Kultsum berkata: "Saya tidak pernah mendengar Rasulullah s.a.w. meringankan dalam segala sesuatu yang diucapkan oleh para manusia itu perihal dusta, melainkan dalam tiga keadaan, iaitu dalam peperangan, dalam mengislahkan antara para manusia dan ucapan seseorang suami terhadap isterinya atau seorang isteri terhadap suaminya yang masing-masing itu untuk kemaslahatan keluarga."


Tiada ulasan:

Catat Ulasan