Dikisahkan di suatu
negeri, hidup sepasang suami isteri yang soleh/solehah. Mereka hidup serba
kekurangan, namun ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA mencukupkannya. Sang
suami hanya seorang tukang baiki kasut yang bernama Ibnu Mubarak, sedangkan
isterinya hanya suri rumahtangga.
Suatu hari sepulang dari bekerja, Ibnu Mubarak berkata pada isterinya:
"Isteriku, aku ingin mengumpulkan sebahagian
rezeki kita agar tidak hanya habis untuk kita makan."
Mendengar perkataan suaminya, isterinyapun tersinggung dalam hatinya. Ia sempat berfikir jangan-jangan suaminya berandai-andai memiliki kenderaan atau mungkin ingin membangun rumahnya menjadi gedung megah. Hingga akhirnya sang suamipun memberitahukan niat yang sesungguhnya pada isterinya, iapun berkata:
"isteriku, aku bercita-cita untuk mengunjungi baitullah bersamamu, untuk menunaikan ibadah haji. Untuk itu aku berniat menyisihkan sebahagian rezeki kita agar ditabung."
Mendengar perkataan suaminya sang isteripun menangis, ia tak sanggup menahan air mata, kerana ternyata prasangkanya salah beberapa waktu ini. Iapun memeluk suaminya lalu berkata:
"Sungguh ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA telah mengirimkan seorang Imam yang baik dalam
hidupku, baiklah suamiku akupun akan membantu agar cita-cita ini dapat cepat
tercapai, In Sya ALLAH.”
Setelah hari itu sang isteripun bekerja untuk meringankan pekerjaan orang yang memerlukan tenaganya dalam halal meskipun dengan upah yang rendah.
Waktu berlalu cepat, tak terasa ternyata sudah banyak tabungan yang mereka kumpulkan hingga akhirnya Ibnu Mubarak memutuskan untuk menghitung tabungannya bersama isterinya, iapun berkata:
"Alhamdulillah isteriku, tak terasa wang yang
kita kumpulkan sudah hampir cukup untuk kita berhaji berdua."
Dengan gembira
isterinyapun berkata:
"Alhamdulillah suamiku, semoga ALLAH SUBHANAHU WA TAALA meredhai niat ibadah
kita. In Sya ALLAH."
Ketika sedang asik berbincang, tiba-tiba sang isteri mencium aroma masakan yang membuatnya merasa sangat ingin mencicipinya, maklumlah ia sedang hamil muda, ia berkata pada suaminya:
"Suamiku aku ingin sekali mencicipi masakan
ini, aku mohon padamu carilah sumber aroma ini, lalu mintakan pada pemiliknya
meski hanya seiris."
Mendengar perkataan sang
isteri lalu suaminya memaklumi, iapun pamit keluar untuk mencari sumber aroma
yang membuat isterinya sangat ingin untuk mencicipinya.
Setelah berkeliling, akhirnya Ibnu Mubarak menemukan sumber aroma tersebut. Ternyata aroma itu berasal dari rumah seorang janda yang memiliki tiga orang anak. Iapun berhenti dan berfikir, ia takut akan timbul fitnah jika ada yang melihatnya masuk ke dalam rumah tersebut namun mengingat pesan sang isteri iapun memutuskan untuk masuk ke rumah itu, dengan berat hati dan perasaan was-was iapun bergegas masuk. Ketika memasuki pintu rumah sang pemilik rumah kaget, melihat si pemilik rumah terkejut dan curiga Ibnu Mubarakpun tersentak juga, iapun berkata:
Setelah berkeliling, akhirnya Ibnu Mubarak menemukan sumber aroma tersebut. Ternyata aroma itu berasal dari rumah seorang janda yang memiliki tiga orang anak. Iapun berhenti dan berfikir, ia takut akan timbul fitnah jika ada yang melihatnya masuk ke dalam rumah tersebut namun mengingat pesan sang isteri iapun memutuskan untuk masuk ke rumah itu, dengan berat hati dan perasaan was-was iapun bergegas masuk. Ketika memasuki pintu rumah sang pemilik rumah kaget, melihat si pemilik rumah terkejut dan curiga Ibnu Mubarakpun tersentak juga, iapun berkata:
"Maaf, kedatangan saya ke sini kerana isteri saya mencium aroma masakan yang sangat menggugah seleranya, untuk itu saya diutus agar mencari sumber aromanya dan ternyata di sinilah sumbernya, bolehkah kami meminta masakan ini meski hanya seiris.” (Ibnu Mubarak melihat kuali masakan itu penuh gengan irisan daging)
Mendengar ucapan tersebut janda itu menolaknya, ia berkata:
"Maaf aku tidak boleh memberimu makanan ini kerana beberapa alasan."
Mendengar ucapan itu Ibnu Mubarak berkecil hati dan iapun berkata:
"Tolonglah saudariku, isteriku sangat menginginkannya. Ia sedang hamil muda."
Lalu sang janda berkata:
"Maaf saudaraku, sekali lagi aku katakan aku
tidak boleh memberimu masakan ini. Ini haram untukmu."
Ibnu Mubarak berkata:
"Haram? Apa gerangan yang memberatkanmu memberi
masakan ini barang seiris, aku punya wang, jika haram bukankah aku tidak tahu
hal itu sebelumnya, jika tidak keberatan dan jika diizinkan, izinkan aku untuk
membelinya walau hanya seiris saudariku?"
Mendengar ucapan itu sang jandapun berkata:
"Maaf saudaraku, aku ini seorang janda miskin,
aku memiliki tiga orang anak, yang paling tua jika ia lapar cukuplah dengan
minum maka ia dapat menahan laparnya, yang kedua jika ia lapar ia tidak dapat
menahan laparnya hanya dengan minum, sementara yang ketiga ia sedang terbaring
sakit. Memang aku masih muda dan tubuhku masih cukup sihat, aku tidak mungkin
menjual diriku untuk mencukupi keperluanku kerana aku masih punya harga diri
dan aku takut pada ALLAH SUBHANAHU WA
TAALA. Tahukah kau saudaraku, hari ini kami kelaparan dan tak ada satu
makananpun yang boleh untuk kami makan, aku hampir putus asa, aku berkeliling
negeri ini dan berharap mendapat sesuatu yang boleh untuk kubawa pulang untuk
kami makan, diperjalanan aku menemukan bangkai gibas (kambing) ini dan kulihat
bangkai ini masih amat segar lalu kubawa pulang dua potong lengannya untuk
kumasak dan kujadikan bahan makanan. Aku tahu ini haram, tapi biarlah aku yang
menanggung dosanya pada ALLAH SUBHANAHU WA
TAALA demi anak-anakku."
Mendengar ucapan itu, Ibnu Mubarak pun memahaminya lalu ia pulang dengan tangan kosong dan berharap isterinya dapat memahaminya dan mengurungkan niatnya. Setibanya di rumah, ia dapati isterinya dan menceritakan apa yang telah disampaikan oleh pemilik aroma masakan tersebut.
Dengan berbesar hati dan berlapang dada isterinya memaklumi, isterinya berkata:
"Suamiku, sesungguhnya tidaklah diredai ALLAH SUBHANAHU WA TAALA seorang yang berhaji sementara ia tahu bahawa tetangganya kelaparan, aku berpendapat agar kiranya kita dapat mengurungkan niat kita ke Baitullah, aku tidak apa-apa suamiku, tapi sebagai Imamku aku serahkan sepenuhnya hal ini kepadamu. Kerana hanya engkaulah yang berhak mengambil keputusan dalam hal ini."
Mendengar ucapan ini Ibnu Mubarak tak kuasa menitiskan airmata, ia peluk isterinya ia berkata:
"Maha Suci ALLAH yang telah menganugerahkan makmum yang baik bagiku, semoga ALLAH SUBHANAHU WA TAALA merahmati kebesaran hatimu wahai isteriku."
Tidak berapa lama merekapun bergegas ke rumah janda tersebut untuk menghadiahkan tabungan mereka seluruhnya kepada keluarga si janda itu.
Setibanya mereka, Ibnu Mubarak dan isteri telah membawakan bahan makanan dan tak lupa ia juga membawa dua potong lengan gibas (kambing) untuk menggantikan masakan yang sedang dimasak. Ia menemui janda itu dan berkata:
"Maaf saudariku, aku bawa isteriku ke sini, kami sengaja singgah dan tak memberi kabar sebelumnya. Kedatangan kami kerana ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, izinkan kami memasak makanan ini dan kita makan bersama setelahnya."
Sang jandapun bersyukur pada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dan menerima tawaran dari mereka berdua, setelah selesai makan, ketika hendak pulang Ibnu Mubarak memberi bungkusan dan berkata:
"Aku menghadiahimu dan keluargamu, terimalah bungkusan ini saudariku, isinya wang agar dapat dipergunakan untuk keperluan keluargamu."
Dengan derai air mata
penuh rasa syukur sang jandapun menerimanya, iapun berkata:
"Terimakasih saudaraku, semoga ALLAH SUBHANAHU WA TAALA membalas kebaikanmu
melebihi keikhlasanmu padaku dan keluargaku."
Lalu Ibnu Mubarak berkata:
"Aku berpesan agar kiranya disaat engkau
berkecukupan, engkau menggantinya dengan membantu siapapun yang memerlukan
bantuanmu."
Lalu sang janda berkata:
"Baik saudaraku, akan aku pegang amanahmu, semoga ALLAH SUBHANAHU WA TAALA memelihara amanah ini dariku, In sya ALLAH."
~ singkat cerita ~
Beberapa tahun kemudian, ketika itu para jamaah haji telah selesai menunaikan ibadahnya dan kembali ke negeri masing-masing.
Waktu itu, ketika petang hari. Ibnu Mubarak tercengang kaget, ia dapati banya sekali tamu berkunjung ke rumahnya dengan membawa oleh-oleh berupa air zam-zam, peralatan ibadah dan lain-lain. Mereka mengaku seolah-olah mengenal Ibnu Mubarak, dalam kebingungannya ia berkata pada tamu-tamu yang memenuhi rumahnya:
"Ada apa gerangan wahai saudara-saudariku, kalian membawakanku hadiah dan oleh-oleh yang sangat banyak padaku? (sambil menitiskan airmata ia berkata: ) Maha Suci ALLAH dan aku sangat bersyukur padaNya. Tapi bolehkah aku tahu wahai saudara-saudariku sekalian, dapatkah kalian jelaskan padaku tentang apa yang telah kuperbuat sehingganya kalian saudara-saudariku semua dapat mengenaliku, tahu gubukku ini dan membawakan banyak hadiah untukku?"
Satu persatu tamu Ibnu Mubarak berkata:
Seorang berkata :
Apakah engkau lupa saudaraku, engkau menolongku ketika aku tersesat di Jabal Nur?
Seorang lagi berkata:
Apa engkau lupa wahai hamba ALLAH. Beberapa tahun ini aku berturut-turut berhaji tiap tahunnya dan engkau sering menuntunku ketika aku yang telah berumur ini terhimpit jamaah mengitari Kaabah?
Lalu Ibnu Mubarak berkata:
“Sebenarnya aku tidak pernah berhaji wahai saudaraku.”
Seorang berkata:
“Apakah engkau lupa telah meminjamkanku terompah ketika kakiku terluka, ini terompahmu dan ini kuhadiahkan mushaf al Quran dan tasbih untukmu.”
Lalu seorang berkata:
“Wahai hamba ALLAH, janganlah merendahkan dirimu padahal kami kenal siapa engkau, dan semoga ALLAH SUBHANAHU WA TAALA mengangkat darjatmu melebihiku.”
Dan demikian seterusnya hingga tak satupun tamunya yang tidak memberi keterangan padanya.
Malam tiba, selesai Fardlu Isya Ibnu Mubarakpun tertidur.
Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM, di dalam mimpinya RASULULLAH SHALALLAHU ALAIHI WASALLAM berkata:
“Wahai Ibnu Mubarak, aku akan memberitakanmu. ALLAH SUBHANAHU WA TAALA telah mengutus malaikatnya dalam bentuk yang menyerupaimu beserta sifat dan sikapmu untuk berhaji di Tanah Suci setiap tahun, dan amal ibadahnya diberikan kepadamu.” ~
Ibnu Mubarakpun terbangun, ia menangis dan bersujud penuh syukur, bahawasanya ALLAH SUBHANAHU WA TAALA telah menggantikan niatnya dengan ganti yang jauh lebih baik. Melebihi cita-citanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan