بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ketika Madinah terjadi
gerhana matahari, ketahuilah bahawa Rasulullah SAW merasa takut dan segera
mengajak umat Islam untuk solat di masjid. Meskipun beliau adalah manusia yang
paling mengetahui segala sesuatunya [lewat izin Allah] tetapi Rasulullah SAW
tidak menunjukkan sikap yang tenang ketika terjadi gerhana.
Sebaliknya, Rasulullah SAW
malah waspada. Beliau takut dan kuatir akan terjadi kiamat.
Lihatlah, sungguh berbeza
dengan sikap umat Islam sekarang ini. Merasa teknologi sudah demikian
canggihnya, sehingga menganggap peristitwa gerhana matahari atau bulan adalah
sebuah peristiwa alam ‘biasa’ yang tidak perlu disikapi apapun. Jika Rasulullah
SAW takut, umatnya malah gembira. Jika Rasulullah SAW waspada, umatnya malah
sibuk berencana foto selfie. Jika Rasulullah SAW kuatir akan terjadi kiamat,
umatnya malah larut dalam rencana pesta gemerlap.
Astagfirullah.
Akan jadi apakah umat ini
jika sikap Rasulullah SAW tidak menjadi teladan bagi kita? Janganlah kita
merasa sok lebih pintar, sok lebih hebat, lebih canggih ketimbang zaman
Rasulullah SAW.
Meskipun zaman Rasulullah SAW
belum ada satelit luar angkasa, belum ada teropong bintang, bahkan belum ada
mobil. Tapi ketahuilah, ilmu yang dimiliki Rasulullah SAW adalah yang paling
luas, dalam dan lengkap yang pernah dimiliki oleh manusia.
Kita hanya tahu peristiwa
gerhana matahari atau gerhana bulan hanya dalam perspektif ilmu pengetahuan tetapi
apa kandungan peristiwa dibalik semua itu, kita buta sama sekali. Kita tidak
punya ilmu sedikitpun untuk menyingkap tabir dibalik peristiwa gerhana yang
terjadi pada Rabu, 31 Januari 2018 ini. Mengapa gerhana tidak terjadi tahun
sebelumnya, atau mengapa tidak gerhana akhir-akhir ini lebih sering ketimbang
zaman Nabi?
Jawapannya bukan hanya
persoalan science. Tapi sesungguhnya ada sesuatu yang menyelimuti hal itu, yang
tidak kita ketahui. Ada ‘suatu pesan’ yang hendak disampaikan ALLAH SUBHANAHU
WA TAALA dari peristiwa gerhana ini.
Sesuatu yang menyelimuti
itulah yang diketahui oleh Rasulullah SAW, sehingga beliau merasa kuatir, takut
dan waspada. Dan sebagai solusi dari ketakutan beliau, Rasulullah SAW melakukan
solat kusuf atau solat khusuf,
Sungguh, Nabi Takut Akan
Gerhana
عَنْ
أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ
فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ
يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى
يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا
شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
Abu Musa Al
Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pernah terjadi gerhana matahari pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut kerana
kuatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian
beliau mengerjakan solat dengan berdiri, rukuk dan sujud yang lama. Aku belum
pernah melihat beliau melakukan solat sedemikian rupa.”
Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sesungguhnya ini adalah tanda
tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkanNya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi kerana
kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk
menakuti hamba-hambaNya. Jika kalian melihat sebahagian dari gerhana tersebut,
maka bersegeralah untuk berzikir, berdoa dan memohon ampun kepada Allah.”
An Nawawi rahimahullah
menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, kuatir
terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di
antaranya:
Gerhana tersebut merupakan
tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari
barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebahagian
tanda kiamat.
Hendaknya seorang mukmin
merasa takut kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, kuatir akan tertimpa azabNya.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita
semua tahu bersama bahawa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba
yang paling dicintai ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Lalu mengapa kita hanya
melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi
dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan
berbuat maksiat.
Siapa yang tahu peristiwa ini
ternyata adalah tanda datangnya bencana atau azab? Atau tanda semakin dekatnya
hari kiamat, misalnya dengan semakin lemahnya tembok yang mengukung Ya’juj dan
Ma’juj? Atau akan semakin keringlah sungai Eufrat di Iraq?
Sesungguhnya, ada ‘pesan’
apakah yang hendak disampaikan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA dari peristiwa gerhana
ini?
Tidak patutlah umat Nabi
Muhammad menyambut gerhana matahari atau bulan dengan suka cita kerana tuntunan
Rasulullah SAW menyuruh kita untuk menghadapi gerhana dengan mempertebal
keimanan, dan terus menerus berzikir mengingat ALLAH SUBHANAHU WA TAALA. Kita
tidak tahu bencana apa sesungguhnya yang tengah menanti kita, tapi kita
pasrahkan semuanya kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Perbanyaklah zikir,
istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya. Dan bukannya malah berfikir
untuk foto selfie atau mengagumi peristiwa gerhana itu sendiri.
Daripada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ،
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi kerana kematian seseorang atau lahirnya seseorang.
Jika melihat hal tersebut maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah,
kerjakanlah solat dan bersedekahlah.”
(HR. Bukhari no. 1044)
Wallahu a’lam bishowab
Tiada ulasan:
Catat Ulasan