Saydina Ali bin Abu Talib ra berkata : “Pahala pencarian seorang
pencari ilmu adalah syurga dan balasan pencarian seorang pemburu maksiat adalah
neraka”. Ilmu adalah
suatu hasil usaha secara sedar terhadap potensi akal manusia untuk :
a. Menyelidiki.
b. Menemui.
c. Meningkatkan kefahaman, terhadap realiti yang diamati sama ada oleh pancaindera
manusia atau bukan, adalah kurniaan Allah swt yang melekat pada penciptaanNya.
Firman Allah swt : “Dan Dia telah mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami,
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS Al-Baqarah : 31-32)
Meskipun manusia berkemungkinan mampu
mencapai pengetahuan sejagat hingga ia dapat melakukan hubungan secara terus
dengan keseluruhan ruangan alam semesta seperti yang tersirat dalam ayat
tersebut, namun mengingatkan bahawa manusia memiliki keterbatasan yang melekat
kepada dirinya maka tidak ada jaminan untuk dapat mencapai semua itu. Ya, ilmu
memang memberikan kepastian dengan membataskan ruang lingkup pandangannya,
namun kepastiannya seiring dengan keterbatasan manusia itu sendiri. Walaupun
begitu, usaha manusia untuk mencapai keseluruhan itu melalui proses
transformasi yang tiada henti-hentinya, menempatkan posisinya secara terhormat
dalam kedudukan makhluk.
Itulah yang membuatkan Adam sampai ke
tingkatan yang lebih unggul dari para malaikat. Kedudukan unggulnya itu jelas
disebabkan oleh kesan dari dalam dirinya yang memantulkan kesempurnaan
tersebut. Proses transformasi yang dilakukan manusia melalui akalnya, iaitu
potensi nalurinya yang membezakan dirinya dengan makhluk-makhluk lain, adalah
kewajiban fitrah yang dapat meningkatkan kualiti
kemanusiaannya.
kemanusiaannya.
Menurut Ibnul Jauzi, salah satu fungsi
akal ialah untuk memahami perintah dan tanggungjawab dari Allah swt. Dengan
cara :
1. Melakukan transformasi ilmu yang
terus-menerus.
2. Membebaskan akalnya dari dominasi nafsu.
3. Memfungsikannya secara tepat.
manusia dapat mencapai puncak prestasinya yang secara nilaiannya menempati kedudukan yang paling mulia.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS Al-Hujurat : 3)
Demi meraih puncak prestasi tersebut, sayugianya setiap diri sentiasa bersemangat untuk menuntut ilmu hingga menjadi pemburunya yang tulus kerana kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah swt dan masyarakat akan disandang oleh orang yang berilmu.
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah,
nescaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu, maka berdirilah, nescaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
darjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS Al-Mujadalah : 11)
Imam Al-Zamakhsyari mengutip sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan orang-orang berilmu dari orang-orang yang tidak berilmu. Antara lain, sabda Rasulullah saw :
“Jarak antara seorang alim (orang yang
berilmu) dan seorang abid (tukang ibadah yang tidak berilmu) adalah seratus
darjat / tingkat. Jarak di antara dua tingkat itu adalah perjalanan kuda selama
70 tahun.”
(HR Abu Ya’la dan Ibnu Adi)
Al-Quran memberikan berbagai gelaran
mulia dan terhormat kepada orang yang berilmu yang menggambarkan kemuliaan dan
ketinggian kedudukannya di sisi Allah swt dan makhlukNya.
PERTAMA : “Al-RAASIKHUN FIL ILM”
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al
Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah
pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah
untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(QS Ali Imran : 7).
KEDUA : “ULUL AL-ILMI”
“Allah menyatakan bahawasanya tidak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak
ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
(QS Ali Imran : 18)
KETIGA : “ULUL AL-BAB”
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.”
(QS Ali Imran : 190)
KEEMPAT : “AL-BASHIR” DAN “AS-SAMI’”
“Perbandingan kedua golongan itu
(orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan
orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama
keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada
perbandingan itu)?”
(QS Hud : 24)
KELIMA : “AL-A’LIMUN”
“Dan perumpamaan- perumpamaan ini Kami
buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang
berilmu.”
(QS Al-Ankabut : 43)
KEENAM : “AL-ULAMA”
“Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
(QS Fathir : 28)
Atas dasar itulah, para ulama’
menegaskan bahawa pekerjaan menuntut atau memburu ilmu sebagai usaha mulia yang
layak memperolehi balasan mulia pula.
Seperti dinyatakan oleh Saiyyidina Ali
bin Abu Talib di atas, balasan para pemburu ilmu adalah syurga, sebuah tempat
kembali terbaik bagi manusia yang selama hidupnya di dunia konsisten menunaikan
amanah Allah swt (amanah ibadah dan amanah khilafah) yang telah dibebankan
kepada dirinya, takut kepadaNya dan mampu mengendalikan hawa nafsunya.
“Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya.”
(QS An-Nazi’aat : 40-41)
Seterusnya, agar ilmu yang dimilikinya
dapat menghantarkannya ke kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt, para pemburu
ilmu mesti menghiasi dirinya dengan etikanya.
Tegasnya, mesti dilaksanakan secara
beretika, sama ada dalam menuntut, mengembangkan, ataupun memanfaatkannya.
Antara lain tidak melakukan maksiat dalam pencarian dan pengamalannya kerana
kemaksiatan akan memberi implikasi yang sangat tragis terhadap pelakunya. Nasib
paling tragis yang dialami oleh manusia ialah lupa pada kewujudan dirinya
sendiri sebagai akibat dari sikapnya yang melupakan Allah swt. Boleh dikatakan,
tidak ada pengalaman yang paling menyakitkan dan menghinakan selain orang yang
telah kehilangan makrifah (pengetahuan) kepada dirinya sendiri. Al-Quran
memastikan orang yang melupakan dirinya akan mengakibatkan ia terjerumus ke
dalam kefasikan.
“Dan janganlah kamu seperti orang yang
lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(QS Al-Hasyr : 19)
Sesungguhnya kefasikan seseorang
merupakan refleksi kelemahan dirinya dalam menahan kobaran nafsunya.
Kobaran nafsu yang diperturutkan itulah
yang menyebabkan seseorang berenang di lautan kemaksiatan yang mengakibatkan
dirinya terseret ke dalam api neraka. Oleh sebab itu, orang yang tidak mampu
mengendalikan nafsunya, sudah pasti tidak akan mampu bertahan pada tapak moral,
norma, dan tatacara yang benar. Bahkan tindakannya cenderung untuk melanggar
setiap peraturan sehingga secara praktikalnya, dirinya akan terjerumus ke
jurang kemaksiatan.
Sebagai bentuk sikap durhaka atau
menentang hak-hak, hukum-hukum atau ketentuan Allah swt, maksiat sama ertinya
dengan mengkhianati janji di alam rohnya dan menurunkan nilai kehambaannya.
Tentu sahaja, semua itu memberi implikasi yang buruk terhadap perjalanan hidup
dan nasib akhir yang akan diterimanya. Melakukan perbuatan dosa dengan
melalaikan laranganNya sama ertinya dengan membentuk kemanusiaannya menjadi
liar yang terus-menerus memburu kemaksiatan. Akhir kesudahan para pemburu
kemaksiatan ialah disemayamkan ke dalam neraka.
“Adapun orang yang melampaui batas dan
lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat
tinggalnya.”
(QS An-Nazi’aat : 37-39)
Dalam Al-Quran, kedahsyatan neraka
dilukiskan dengan menggunakan metafora yang sangat indah dan menggetarkan.
Bola-bola apinya yang dahsyat itu digambarkan sebagai iring-iringan unta yang
kuning.
“Sesungguhnya neraka itu melontarkan
bunga api sebesar dan setinggi istana. Seolah-olah ia iringan unta yang
kuning.”
(QS Al-Mursalaat : 32-33)
Ilmu itu mencerahkan sedangkan maksiat
justeru menggelapkan. Begitulah pengaruh ilmu terhadap situasi batiniah
manusia. Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di depan gurunya yang paling dia
hormati, Imam Malik. Ketika itu ia membacakan sesuatu yang membuat Imam Malik
sangat mengkaguminya terutama dalam hal kecepatannya dalam menangkap pelajaran
serta kecerdasan dan pemahamannya yang sempurna. Waktu itu Imam Malik berkata : “Aku melihat, Allah swt telah
meletakkan sinar dalam hatimu. Jangan padamkan sinar itu dengan kegelapan
maksiat.” Imam Syafi’i
menjawab : “Saya
menzahirkan keluhan tentang hafalanku yang buruk kepada Waqi’. Ia menasihatiku untuk meninggalkan
maksiat.
Waqi’ berkata :
“Ketahuilah bahawa ilmu itu anugerah dan
anugerah Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.” Oleh sebab itu menghindarkan diri dari
menjadi pemburu maksiat merupakan langkah tepat agar seseorang terhindar pula
dari pemburuan yang sia-sia yang menyebabkan dirinya menderita berkepanjangan.
Untuk itu, segala pintunya mesti ditutup rapat-rapat. Pintu-pintu itu, menurut
para ulama’, adalah :
1. Pandangan pertama yang memprovokasi
syahwat.
2. Fikiran yang melintasi benak yang
merupakan permulaan dari seluruh aktiviti manusia.
3. Kata-kata atau ucapan yang tidak
bermanfaat dan tidak bernilai.
4. Langkah nyata untuk melakukan suatu
tindakan yang dilarang oleh syariat.
Ingatlah, jika kita tidak berwaspada,
kemaksiatan akan mudah untuk masuk di antara salah satu pintu tersebut. Ya
Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mencintai ilmu, belajar ilmu, memahami
ilmu dan akhirnya melaksanakan ilmu yang diketahui. Jauhkanlah diri kami dari
terjerumus ke dalam maksiat kerana sesungguhnya maksiat akan memadamkan ilmu
yang ada di dalam hati kami yang akhirnya akan membutakan hati kami sehingga
kami tidak lagi mampu mengenal kebenaran dan berpegang teguh dengannya.
Rujukan:
http://www.ikram.org.my/v2/images/pdf/tarbiah/Memahami%20Maqam%20Ilmu.pdf
Tiada ulasan:
Catat Ulasan