Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Ahad, 9 Disember 2012

K 40 Memahami Kedudukan Martabat Ilmu



Saydina Ali bin Abu Talib ra berkata : “Pahala pencarian seorang pencari ilmu adalah syurga dan balasan pencarian seorang pemburu maksiat adalah neraka”. Ilmu adalah suatu hasil usaha secara sedar terhadap potensi akal manusia untuk : 

a. Menyelidiki. 

b. Menemui. 

c. Meningkatkan kefahaman, terhadap realiti yang diamati sama ada oleh pancaindera manusia atau bukan, adalah kurniaan Allah swt yang melekat pada penciptaanNya.

Firman Allah swt : “Dan Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS Al-Baqarah : 31-32)

Meskipun manusia berkemungkinan mampu mencapai pengetahuan sejagat hingga ia dapat melakukan hubungan secara terus dengan keseluruhan ruangan alam semesta seperti yang tersirat dalam ayat tersebut, namun mengingatkan bahawa manusia memiliki keterbatasan yang melekat kepada dirinya maka tidak ada jaminan untuk dapat mencapai semua itu. Ya, ilmu memang memberikan kepastian dengan membataskan ruang lingkup pandangannya, namun kepastiannya seiring dengan keterbatasan manusia itu sendiri. Walaupun begitu, usaha manusia untuk mencapai keseluruhan itu melalui proses transformasi yang tiada henti-hentinya, menempatkan posisinya secara terhormat dalam kedudukan makhluk.

Itulah yang membuatkan Adam sampai ke tingkatan yang lebih unggul dari para malaikat. Kedudukan unggulnya itu jelas disebabkan oleh kesan dari dalam dirinya yang memantulkan kesempurnaan tersebut. Proses transformasi yang dilakukan manusia melalui akalnya, iaitu potensi nalurinya yang membezakan dirinya dengan makhluk-makhluk lain, adalah kewajiban fitrah yang dapat meningkatkan kualiti
kemanusiaannya.


Menurut Ibnul Jauzi, salah satu fungsi akal ialah untuk memahami perintah dan tanggungjawab dari Allah swt. Dengan cara : 

1. Melakukan transformasi ilmu yang terus-menerus.

2. Membebaskan akalnya dari dominasi nafsu.

3. Memfungsikannya secara tepat.

manusia dapat mencapai puncak prestasinya yang secara nilaiannya menempati kedudukan yang paling mulia.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” 
(QS Al-Hujurat : 3)

Demi meraih puncak prestasi tersebut, sayugianya setiap diri sentiasa bersemangat untuk menuntut ilmu hingga menjadi pemburunya yang tulus kerana kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah swt dan masyarakat akan disandang oleh orang yang berilmu.


“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah, nescaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, nescaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa darjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS Al-Mujadalah : 11)

Imam Al-Zamakhsyari mengutip sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan orang-orang berilmu dari orang-orang yang tidak berilmu. Antara lain, sabda Rasulullah saw :


“Jarak antara seorang alim (orang yang berilmu) dan seorang abid (tukang ibadah yang tidak berilmu) adalah seratus darjat / tingkat. Jarak di antara dua tingkat itu adalah perjalanan kuda selama 70 tahun.”
(HR Abu Ya’la dan Ibnu Adi)

Al-Quran memberikan berbagai gelaran mulia dan terhormat kepada orang yang berilmu yang menggambarkan kemuliaan dan ketinggian kedudukannya di sisi Allah swt dan makhlukNya. 

PERTAMA : “Al-RAASIKHUN FIL ILM” 

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(QS Ali Imran : 7).

KEDUA : “ULUL AL-ILMI” 

“Allah menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS Ali Imran : 18)

KETIGA : “ULUL AL-BAB” 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” 
(QS Ali Imran : 190)

KEEMPAT : “AL-BASHIR” DAN “AS-SAMI’”

“Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?” 
(QS Hud : 24)

KELIMA : “AL-A’LIMUN” 

“Dan perumpamaan- perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
(QS Al-Ankabut : 43)

KEENAM : “AL-ULAMA” 

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS Fathir : 28) 

Atas dasar itulah, para ulama’ menegaskan bahawa pekerjaan menuntut atau memburu ilmu sebagai usaha mulia yang layak memperolehi balasan mulia pula.

Seperti dinyatakan oleh Saiyyidina Ali bin Abu Talib di atas, balasan para pemburu ilmu adalah syurga, sebuah tempat kembali terbaik bagi manusia yang selama hidupnya di dunia konsisten menunaikan amanah Allah swt (amanah ibadah dan amanah khilafah) yang telah dibebankan kepada dirinya, takut kepadaNya dan mampu mengendalikan hawa nafsunya. 

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya.” 
(QS An-Nazi’aat : 40-41) 

Seterusnya, agar ilmu yang dimilikinya dapat menghantarkannya ke kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt, para pemburu ilmu mesti menghiasi dirinya dengan etikanya.

Tegasnya, mesti dilaksanakan secara beretika, sama ada dalam menuntut, mengembangkan, ataupun memanfaatkannya. Antara lain tidak melakukan maksiat dalam pencarian dan pengamalannya kerana kemaksiatan akan memberi implikasi yang sangat tragis terhadap pelakunya. Nasib paling tragis yang dialami oleh manusia ialah lupa pada kewujudan dirinya sendiri sebagai akibat dari sikapnya yang melupakan Allah swt. Boleh dikatakan, tidak ada pengalaman yang paling menyakitkan dan menghinakan selain orang yang telah kehilangan makrifah (pengetahuan) kepada dirinya sendiri. Al-Quran memastikan orang yang melupakan dirinya akan mengakibatkan ia terjerumus ke dalam kefasikan. 

“Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” 
(QS Al-Hasyr : 19) 

Sesungguhnya kefasikan seseorang merupakan refleksi kelemahan dirinya dalam menahan kobaran nafsunya.

Kobaran nafsu yang diperturutkan itulah yang menyebabkan seseorang berenang di lautan kemaksiatan yang mengakibatkan dirinya terseret ke dalam api neraka. Oleh sebab itu, orang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya, sudah pasti tidak akan mampu bertahan pada tapak moral, norma, dan tatacara yang benar. Bahkan tindakannya cenderung untuk melanggar setiap peraturan sehingga secara praktikalnya, dirinya akan terjerumus ke jurang kemaksiatan. 

Sebagai bentuk sikap durhaka atau menentang hak-hak, hukum-hukum atau ketentuan Allah swt, maksiat sama ertinya dengan mengkhianati janji di alam rohnya dan menurunkan nilai kehambaannya. Tentu sahaja, semua itu memberi implikasi yang buruk terhadap perjalanan hidup dan nasib akhir yang akan diterimanya. Melakukan perbuatan dosa dengan melalaikan laranganNya sama ertinya dengan membentuk kemanusiaannya menjadi liar yang terus-menerus memburu kemaksiatan. Akhir kesudahan para pemburu kemaksiatan ialah disemayamkan ke dalam neraka. 

“Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” 
(QS An-Nazi’aat : 37-39)

Dalam Al-Quran, kedahsyatan neraka dilukiskan dengan menggunakan metafora yang sangat indah dan menggetarkan. Bola-bola apinya yang dahsyat itu digambarkan sebagai iring-iringan unta yang kuning. 

“Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana. Seolah-olah ia iringan unta yang kuning.” 
(QS Al-Mursalaat : 32-33)

Ilmu itu mencerahkan sedangkan maksiat justeru menggelapkan. Begitulah pengaruh ilmu terhadap situasi batiniah manusia. Suatu ketika Imam Syafi’i duduk di depan gurunya yang paling dia hormati, Imam Malik. Ketika itu ia membacakan sesuatu yang membuat Imam Malik sangat mengkaguminya terutama dalam hal kecepatannya dalam menangkap pelajaran serta kecerdasan dan pemahamannya yang sempurna. Waktu itu Imam Malik berkata : “Aku melihat, Allah swt telah meletakkan sinar dalam hatimu. Jangan padamkan sinar itu dengan kegelapan maksiat.” Imam Syafi’i menjawab : “Saya menzahirkan keluhan tentang hafalanku yang buruk kepada Waqi’. Ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat.

Waqi’ berkata :
“Ketahuilah bahawa ilmu itu anugerah dan anugerah Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.” Oleh sebab itu menghindarkan diri dari menjadi pemburu maksiat merupakan langkah tepat agar seseorang terhindar pula dari pemburuan yang sia-sia yang menyebabkan dirinya menderita berkepanjangan. Untuk itu, segala pintunya mesti ditutup rapat-rapat. Pintu-pintu itu, menurut para ulama’, adalah :

1. Pandangan pertama yang memprovokasi syahwat.

2. Fikiran yang melintasi benak yang merupakan permulaan dari seluruh aktiviti manusia.

3. Kata-kata atau ucapan yang tidak bermanfaat dan tidak bernilai.

4. Langkah nyata untuk melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh syariat.

Ingatlah, jika kita tidak berwaspada, kemaksiatan akan mudah untuk masuk di antara salah satu pintu tersebut. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mencintai ilmu, belajar ilmu, memahami ilmu dan akhirnya melaksanakan ilmu yang diketahui. Jauhkanlah diri kami dari terjerumus ke dalam maksiat kerana sesungguhnya maksiat akan memadamkan ilmu yang ada di dalam hati kami yang akhirnya akan membutakan hati kami sehingga kami tidak lagi mampu mengenal kebenaran dan berpegang teguh dengannya.

Rujukan:
http://www.ikram.org.my/v2/images/pdf/tarbiah/Memahami%20Maqam%20Ilmu.pdf

Tiada ulasan:

Catat Ulasan