Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Selasa, 4 Februari 2014

O 75 : SEMUA BENTUK DAN JENIS RIBA ADALAH HARAM DAN TETAP HARAM SAMPAI HARI KIAMAT

Sabda Rasululullah SAW, 

“Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan.” 
(HR Ibnu Bathah, dari Al ‘Auzai).

Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya. Ini dikeranakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun kerana umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeza-bezakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.

Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah

Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut, al Quran telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. 

Firman Allah SWT:

“Disebabkan oleh kezaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) kerana mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakan­nya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan wang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
 (QS An Nisaa’ : 160-161).

Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya praktik sihir, menghalalkan riba sehingga terkenalah dari dahulu sampai sekarang bahawa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:

“Jikalau kamu memberikan pinjaman wang kepada umatku, iaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang pena­gih hutang yang keras, dan janganlah mengambil bunga dari­padanya.” (Keluaran, 22:25).

Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaum­nya sendiri:

“Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya gemetar besertamu, maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga dan laba yang terlalu (besar). Jangan kamu memberikan wangmu kepadanya dengan memakai bunga.” 
(Imamat 35-37).

Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahawa orang-orang Yahudi telah dilarang memakan riba (bunga). Namun dalam kenyataannya, mereka membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa mereka demikian berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini, Buya Hamka (alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 :

“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhanmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bahagian dari harta pusakamu.”

Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahawa ayat tersebut telah menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biarpun tidak duduk pada kerusi pemerintahan di suatu negeri, tetapi merekalah yang justeru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi (membungakan wangnya) yang menjerat leher.

Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional
Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, iaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkitan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahawa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana selonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat kewangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (wang) terbesar di dunia. Sirkulasi kewangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya diperlukan oleh orang banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropah dan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan General Elec­tric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya adalah orang-orang Yahudi.
Di Perancis, sebahagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan ubat bius.

Umat Islam Indonesia dan Perbankan

Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba). Di Indonesia muncul bank pertama, iaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat kewangan. Dari kalangan intelektual, didiri­kanlah Indonesische Studie Club di Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendiri­kan Algemene Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959). Bank Pem­bangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga kategori; iaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susi­la Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America). Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.

Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan

Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung. Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan pe­nandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indone­sia telah mulai dilibatkan langsung dalam praktik perbankan. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan seba­nyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.
Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya NU mengharamkannya; kemudian memberikan alternatif fatwa iaitu haram, halal dan subhat; dan terakhir tanggal 22 Julai 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya.
Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah). Alasan yang dikemukannya adalah kerana fatwa tersebut diputuskan mela­lui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim. Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakulti Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahawa bank yang dibentuk oleh NU mahupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahawa sampai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa hairan mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, iaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba,” celanya.
Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini. Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahawa fatwa tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini? Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syarak? Dapatkah pendapat mereka diterima? Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?

Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis

Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank. Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit. Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang berbeza-beza, tergantung dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka yang mengharamkannya kerana bunga bank tersebut dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasihat Bank Pakistan), berpendapat bahawa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakulti Hukum Universiti Cairo yang memandang bahawa riba Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam al Quran. Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekono­mian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia. Mereka memandang bahawa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka menakwilkan dan membahas makna riba. Padahal sudah jelas bahawa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahawa erti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh kerana itu, susahlah buat tidak mengatakan bahawa meminjam wang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito) ertinya makan riba juga.
Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahawa bunga bank yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahawa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahawa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs. Syarbini Harahap berpendapat bahawa bunga konsumtif yang dipungut oleh bank tidaklah sama dengan riba. Kerana, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun jika bunga konsumtif itu dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, praktik tersebut memberikan kemungkinan adanya penganiayaan dan unsur pemerasan antara sesama warga masyarakat, mengingat bahawa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah salah dan tidak ada keharam­an padanya.
Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan lain-lain.
Bertolak dari alasan bahawa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan dengan wang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahawa kalau transaksi kredit dilaku­kan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka hal terse­but dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam ke­giatan perbankan. Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya yang membenci praktik dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka terhadap praktik riba tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh kerana itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mahu meminjam dan menyimpan wang di bank kerana takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslimin tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itu­lah fakta tentang keadaan umat Islam setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) bank.

Bolehkah Kita Menghalalkan Riba?

Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahawa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahawa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktik sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahawa perbuatan riba itu darjatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :

“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam).” 
(HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).

Oleh kerana itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras bahawa orang-orang yang memakan riba akan diperangi. (QS Al Baqarah : 279).
Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan iaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzulnya merupakan ayat-ayat terakhir dari al Quran. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahawa riba, baik kecil mahupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rang­kaian ayat-ayat terse­but, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, ter­masuklah di antaranya riba (bunga) bank:

“Mereka berkata (berpendapat bahawa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah menghalal­kan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (se­belum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (meng­ambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” 
(QS Al Baqarah : 275).

Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:

“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mahu meninggalkannya, maka telah menjadi kewajipan bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasihati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap berdegil, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya.”

Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:

“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-wang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepa­la Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasihat agar orang tersebut bertaubat (iaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi.”

Apa sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan bahawa definisi riba adalah:

“Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) wang, material/barang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut.”

Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), mahupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan wang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeza namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahawa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnes), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahawa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktiviti bidang kehidupan ekonomi dan kewangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw:

“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri.” 
(HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).

Juga sabda Rasulullah saw:

Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya.” 
(HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Daud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).

Semua dalil di atas menunjukkan bahawa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surah Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata mahupun tersembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif mahupun produktif.
Lafazh yang bersifat umum menurut kaedah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaedah Ushul itu berbunyi:
Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya).”
Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat mahupun hadits yang menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (misalnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan sebahagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat ganda, konsumtif, riba lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahawa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh kerana itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis sampai bera­ni menghalalkan riba bunga bank? Mereka telah berani membeza-bezakan halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan RasulNya tidak pernah membeza-bezakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya kerana faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan; atau kerana pada masa sekarang kegiatan per­bankan yang berlandaskan kepada aktiviti riba sudah bermera­jalela dalam masyarakat kaum Muslimin?
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT:

“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah meng­abaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti).”
(HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132).

Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh kerana itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT dan RasulNya!
Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam. Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelek­tual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama ertinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:
“Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan.” 
(QS At Taubah : 31).

Kemudian Adiy bin Hatim berkata :

“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu.” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka.”
 
(HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).

Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?
Ya Allah, kami telah sampaikan. Saksikanlah ! [Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM]


Walahu a’lam…




Tiada ulasan:

Catat Ulasan