Sabda Rasululullah SAW,
“Akan datang kepada umat ini suatu
masa nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek
perdagangan.”
(HR Ibnu Bathah, dari Al
‘Auzai).
Dalam kehidupan kaum
Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi
masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan
menghalalkannya. Ini dikeranakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem
kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada
hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan
yang bersih dan halal. Namun kerana umat pada masa sekarang adalah umat yang
lemah, bodoh, dan tidak mampu membeza-bezakan antara satu pendapat dengan
pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung,
diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.
Riba dan Yahudi dalam Tinjauan
Sejarah
Sejak dahulu, Allah SWT
telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah
sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa
as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut, al Quran
telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT
akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan
harta riba.
Firman Allah SWT:
“Disebabkan oleh kezaliman
orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) kerana
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka
memakan riba. Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan
mereka memakan harta dengan jalan yang bathil (seperti memakan wang sogok,
merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah menyediakan bagi
orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
(QS An Nisaa’ : 160-161).
Dalam sejarahnya, orang
Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara menghalangi
manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi,
berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja
yang telah diharamkan Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara
anak dengan ayah, membolehkan adanya praktik sihir, menghalalkan riba sehingga
terkenalah dari dahulu sampai sekarang bahawa antara Yahudi dengan perbuatan
riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak
kehidupan kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:
“Jikalau kamu memberikan
pinjaman wang kepada umatku, iaitu kepada orang-orang miskin yang ada di antara
kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang
keras, dan janganlah mengambil bunga daripadanya.” (Keluaran, 22:25).
Dalam kitab Imamat
(orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab tersebut
disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaumnya
sendiri:
“Maka jikalau saudaramu telah
menjadi miskin dan tangannya gemetar besertamu, maka janganlah kamu mengambil
daripadanya bunga dan laba yang terlalu (besar). Jangan kamu memberikan wangmu
kepadanya dengan memakai bunga.”
(Imamat 35-37).
Jelaslah di dalam
ayat-ayat tersebut bahawa orang-orang Yahudi telah dilarang memakan riba (bunga).
Namun dalam kenyataannya, mereka membangkang dan mengabaikan larangan tersebut.
Mengapa mereka demikian berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal
ini, Buya Hamka (alm) mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23
ayat 20 :
“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhanmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu) mengambilnya sebagai bahagian dari harta pusakamu.”
Berdasarkan kutipan di
atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahawa ayat tersebut telah menjadi pegangan
kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biarpun tidak duduk pada kerusi
pemerintahan di suatu negeri, tetapi merekalah yang justeru menguasai
pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk pinjaman ribawi (membungakan
wangnya) yang menjerat leher.
Yahudi dan Penguasaan Moneter
Internasional
Dalam sebuah penggalan
naskah Protokolat, iaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa
kebangkitan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang
mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi
yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahawa bantuan luar negeri
yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana selonggok benalu yang mencerap
habis segenap potensi perekonomian negara tersebut.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat kewangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (wang) terbesar di dunia. Sirkulasi kewangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat kewangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (wang) terbesar di dunia. Sirkulasi kewangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Di samping itu, mereka
juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya diperlukan oleh orang
banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan
raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropah dan negeri-negeri di Asia
dan Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang Yahudi menguasai perusahaan
General Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam
perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya
adalah orang-orang Yahudi.
Di Perancis, sebahagian
saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang
Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan
antek-anteknya ikut andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau
perdagangan ubat bius.
Umat Islam Indonesia dan
Perbankan
Sistem perbankan telah
muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai
negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi
Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba). Di Indonesia muncul
bank pertama, iaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya
Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas
di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut
(1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem
perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang
berfungsi sebagai pusat kewangan. Dari kalangan intelektual, didirikanlah
Indonesische Studie Club di Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam
menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama
setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat
Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus
memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun
1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul
berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin
bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya
(BBD, 19 Agustus 1959). Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang
Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang
dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai
sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar,
dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha
Milik Negara/BUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta.
Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia
terbagi ke dalam tiga kategori; iaitu swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susila
Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta merger bank luar (misalnya
Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase Manhattan,
Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America). Untuk melihat perkembangan
perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak
termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard Amerika ditilik dari
jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.
Sistem Perbankan dan Organisasi
Keagamaan
Sebelum tahun 1990-an
umat Islam Indonesia belum terlibat langsung. Sistem ini sejak dahulu hanya
diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja
sama antara Bank Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka
umat Islam Indonesia telah mulai dilibatkan langsung dalam praktik perbankan.
Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak
2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun sebelumnya
BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit
sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan,
untuk pengusaha /pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut
berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.
Rencana NU untuk
mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada dan
dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya
NU mengharamkannya; kemudian memberikan alternatif fatwa iaitu haram, halal dan
subhat; dan terakhir tanggal 22 Julai 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid
sebagai PB NU telah menghalalkannya.
Fatwa NU ini lalu
diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah).
Alasan yang dikemukannya adalah kerana fatwa tersebut diputuskan melalui
perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam.
Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU
ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para
ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan
reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim.
Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakulti Syariah
IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly. Ia berkata bahawa bank yang dibentuk oleh NU
mahupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi
alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahawa sampai sekarang belumlah
ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa hairan mengapa sistem muamalah
yang telah diatur oleh Islam, iaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan
salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistem
bank yang mengandung riba,” celanya.
Di kalangan NU sendiri,
ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini. Kalangan fungsionaris
Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahawa fatwa tersebut tidak sejalan dengan
garis kebijakan mereka. Sebab, menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank
muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling menguntungkan), bukan bank
umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang
pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini? Sesuaikah
pendapat mereka dengan ketentuan syarak? Dapatkah pendapat mereka diterima?
Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik
disebut sebagai muqallid?
Pendapat Intelektual dan Ulama
Modernis
Di antara pekerjaan yang
dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah
soal bunga (rente) bank. Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk
memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit. Bank memberikan kredit kepada
orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya
lebih besar dari besarnya kredit). Selisih pembayaran yang biasanya disebut
bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Dalam masalah ini, para
intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang berbeza-beza, tergantung
dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka yang mengharamkannya
kerana bunga bank tersebut dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya
menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama
(yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasihat
Bank Pakistan), berpendapat bahawa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam
sistem perekonomian sekarang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat
Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakulti Hukum Universiti Cairo
yang memandang bahawa riba Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam al Quran.
Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekonomian orang Yahudi
yang saat ini menguasai perekonomian dunia. Mereka memandang bahawa sistem riba
itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka
menakwilkan dan membahas makna riba. Padahal sudah jelas bahawa makna riba itu
adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada
keraguan lagi tentang keharamannya. Buya Hamka secara sederhana memberikan
batasan bahawa erti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda,
atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan
sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh kerana itu,
susahlah buat tidak mengatakan bahawa meminjam wang dari bank dengan rente
sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito)
ertinya makan riba juga.
Ke dalam kubu kedua
(yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan
intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahawa bunga bank yang berlaku
sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram.
Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam (Persis), yang
mengemukakan bahawa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang sifatnya
berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba yang
sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan
bahawa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang
berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan
sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs. Syarbini Harahap
berpendapat bahawa bunga konsumtif yang dipungut oleh bank tidaklah sama dengan
riba. Kerana, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun
jika bunga konsumtif itu dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang
sebagai riba. Sebab, praktik tersebut memberikan kemungkinan adanya
penganiayaan dan unsur pemerasan antara sesama warga masyarakat, mengingat
bahawa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun
jika bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang
produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis
pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah salah dan tidak
ada keharaman padanya.
Pernyataan Syarbini
Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama nadanya dengan apa
yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin
Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan lain-lain.
Bertolak dari alasan
bahawa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan dengan wang sebagai
komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahawa kalau transaksi kredit dilakukan
dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka hal tersebut dihalalkan. Riba yang
tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu digantikan dengan
mekanisme perdagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan
fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba dalam bentuk bunga
bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam kegiatan perbankan.
Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya yang membenci praktik dan
menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka terhadap praktik riba
tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh kerana
itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mahu meminjam dan menyimpan
wang di bank kerana takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslimin
tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta
banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap hukum yang sebenarnya
tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang keadaan umat Islam setelah
umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) bank.
Bolehkah Kita Menghalalkan Riba?
Orang Islam yang awam
sekalipun pasti tahu bahawa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan dalam
sebuah hadits disebutkan bahawa memakan harta riba termasuk dosa yang paling
besar setelah dosa syirik, praktik sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim.
Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahawa perbuatan riba itu
darjatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul
SAW bersabda :
“Satu dirham yang diperoleh
oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada
perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam).”
(HR Al Baihaqy, dari Anas bin
Malik).
Oleh kerana itu, tidak ada
satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT
memberikan peringatan yang keras bahawa orang-orang yang memakan riba akan
diperangi. (QS Al Baqarah : 279).
Jika pada awalnya riba
yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw
wafat, telah diturunkan iaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281)
yang menurut asbabun nuzulnya merupakan ayat-ayat terakhir dari al Quran. Dalam
rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahawa riba, baik kecil mahupun besar,
berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih
dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah
mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba (bunga) bank:
“Mereka berkata (berpendapat
bahawa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepada mereka larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu
dulu (sebelum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan
bagi orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang tersebut
adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
(QS Al Baqarah : 275).
Dalam hal ini, Ibnu
Abbas berkata:
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mahu meninggalkannya, maka telah menjadi kewajipan bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasihati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap berdegil, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya.”
Juga Al Hasan bin Ali
dan Ibnu Sirin berkata:
“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-wang (money changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasihat agar orang tersebut bertaubat (iaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka tersebut wajib diperangi.”
Apa sesungguhnya riba itu?
Secara global dapatlah disebutkan bahawa definisi riba adalah:
“Tambahan yang terdapat dalam
akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) wang,
material/barang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima
tambahan tersebut.”
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), mahupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan wang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi
ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeza namun riba dapat mencakup banyak
macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah
saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu,
telah mengetahui bahawa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba
dengan alasan perdagangan (bisnes), seperti yang tertera pada hadits pembuka
tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahawa riba pada masa
yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi
berbagai aktiviti bidang kehidupan ekonomi dan kewangan yang akhirnya akan melibatkan
seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw:
“Riba itu mempunyai 73 macam.
Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah
seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri.”
(HR Ibnu Majah, hadits No.2275;
dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).
Juga sabda Rasulullah
saw:
“Sungguh akan datang pada
manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan
memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia
tetap akan terkena debu (riba)nya.”
(HR Ibnu Majah, hadits No.2278
dan Sunan Abu Daud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah).
Semua dalil di atas menunjukkan bahawa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surah Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata mahupun tersembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif mahupun produktif.
Semua dalil di atas menunjukkan bahawa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surah Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata mahupun tersembunyi, sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif mahupun produktif.
Lafazh yang bersifat umum
menurut kaedah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan
pengertiannya. Kaedah Ushul itu berbunyi:
Lafazh umum akan tetap bersifat
umum selama tidak terdapat dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang
mengecualikannya).”
Dalam hal ini tidak
terdapat satu ayat mahupun hadits yang menghalalkan sebagian dari bentuk dan
jenis riba (misalnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan sebahagian
yang lainnya (misalnya riba yang berlipat ganda, konsumtif, riba lintah darat).
Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahawa semua bentuk dan jenis riba
adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh kerana itu, atas dasar
apa para intelektual dan ulama modernis sampai berani menghalalkan riba bunga
bank? Mereka telah berani membeza-bezakan halal-haramnya berdasarkan sifat
konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan RasulNya tidak pernah
membeza-bezakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat (sebab
ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan ulama
modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya kerana
faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan; atau
kerana pada masa sekarang kegiatan perbankan yang berlandaskan kepada aktiviti
riba sudah bermerajalela dalam masyarakat kaum Muslimin?
Barangkali kaum
intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari
Allah SWT:
“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat nanti).”
(HR Thabrani, Al Hakim, dan
Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al Kabir, Jilid I, halaman 132).
Pendapat dan fatwa yang
muncul dari kalangan intelektual dan ulama modernis sesungguhnya tidak pada
tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berwenang untuk
berijtihad serta tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh kerana itu
mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT
dan RasulNya!
Umat Islam diperintahkan
untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam. Kita
wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada
akal dan hawa nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia
harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati
intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama ertinya
kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah
dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy bin Hatim, ketika beliau
menyampaikan firman Allah SWT:
“Mereka mengangkat
pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam; padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang
mereka persekutukan.”
(QS At Taubah : 31).
Kemudian Adiy bin Hatim
berkata :
“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu.” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka.”
(HR Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).
Apakah umat Islam ingin
menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang berhak
menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?
Ya Allah, kami telah sampaikan. Saksikanlah ! [Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM]
Ya Allah, kami telah sampaikan. Saksikanlah ! [Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM]
Walahu a’lam…
Tiada ulasan:
Catat Ulasan