Ustaz Abu Asma Kholid
Syamhudi
Jihad merupakan amal kebaikan
yang disyariatkan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Ia menjadi sebab kukuh dan
mulianya umat Islam. Sebaliknya, jika kaum Muslimin meninggalkan jihad di jalan
ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, maka mereka akan mendapatkan kehinaan.
Dijelaskan dalam hadits yang
shahih : [1]
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Daripada Ibnu Umar, beliau
berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila
kalian telah berjual-beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan reda dengan pertanian
serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan
(kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada
agama kalian.”
[HR Abu Daud]
Ibnu Taimiyah menyatakan
:
“Tidak diragukan lagi, jihad
dan melawan orang yang menyelisihi para rasul, dan mengarahkan pedang syariat
kepada mereka, serta melaksanakan kewajipan-kewajipan disebabkan pernyataan
mereka, untuk menolong para nabi dan rasul dan untuk menjadi pelajaran berharga
bagi yang mengambilnya, sehingga orang-orang yang menyimpang menjadi jera; yang
demikian ini termasuk amalan paling utama yang Allah perintahkan kepada kita
sebagai wujud ibadah mendekatkan diri kepadaNya”[2]
Namun, amal kebaikan ini
harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai dengan syariat Islam.
Kerana keduanya merupakan
syarat diterimanya suatu amalan.
Di samping itu juga, jihad
bukanlah perkara mudah bagi jiwa.
Sangat erat kaitannya dengan
pertumpahan darah, jiwa dan harta, yang menjadi perkara agung dalam Islam,
sebagaimana disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
فَإِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ
يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ
تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ
اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ
سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Sesungguhnya,
darah, kehormatan dan harta kalian, diharamkan atas kalian (saling menzalimi),
seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negeri kalian ini, sampai
kalian menjumpai Rabb kalian. Ketahuilah, apakah aku telah menyampaikan?” Mereka
menjawab: “Ya.”
Maka
beliaupun berkata: “Yaa Allah, persaksikanlah. Maka, hendaklah orang yang
hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, kerana terkadang yang disampaikan
lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kufur
sepeninggalanku, sebahagian kalian saling membunuh sebahagian lainnya.”
[Muttafaqun ‘alaihi].[3]
Demikian agungnya perkara
jihad ini, sehingga menuntut setiap Muslim untuk ikut berperanan dalam
menggapai cinta dan keredaan ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Tentu saja, hal ini menuntut
pelakunya untuk komitmen dengan ketentuan dan batasan syari’at, sesuai dengan
hukum al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, tanpa meninggalkan satu ketentuan
pun, agar selamat dari sikap ekstrim, dan jihadnya menjadi jihad syar’i di
atas jalan yang lurus, dan mendapatkan pahala yang besar di akhirat nanti.
Hal itu, disebabkan ia
berjalan di atas cahaya Ilahi, petunjuk dan ilmu dari al Quran dan Sunnah
NabiNya.[4]
Oleh kerana itu, menjadi
kewajipan bagi setiap Muslim, agar belajar mengenai konsep Islam tentang jihad
secara benar, dan bertanya kepada para ulama pewaris Nabi tentang hal-hal yang
belum ia ketahui. Terlebih lagi dalam permasalahan yang sangat penting ini.
Jenis
dan tingkatan jihad
Kata jihad, memiliki pengertian yang luas. Jihad dalam erti memerangi orang kafir, hanya merupakan salah satu dari bentuk dan jenis jihad, kerana pengertian jihad lebih umum dan lebih luas dari hal tersebut. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan jenis jihad ditinjau dari objeknya, memiliki empat martabat, iaitu:
Jihad memerangi nafsu,
Jihad memerangi syaitan,
Jihad memerangi orang kafir
dan
Jihad memerangi orang munafik
[5].
Dalam keterangan selanjutnya,
Imam Ibnul Qayyim menambah dengan jihad melawan pelaku kezaliman, bidaah dan
kemungkaran.[6]
Kemudian beliau rahimahullah
menjelaskan tigabelas martabat bagi jenis jihad di atas dengan menyatakan, bahawa
jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkat.
Pertama:
Jihad memeranginya untuk
belajar petunjuk Ilahi dan agama yang lurus, yang menjadi sumber keberuntungan
dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Barangsiapa yang
kehilangan ilmu petunjuk ini, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.
Kedua:
Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengetahuinya. Kalau tidak demikian, sekedar hanya mengilmuinya tanpa amal. Walaupun tidak merosakannya, namun tidak bermanfaat.
Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengetahuinya. Kalau tidak demikian, sekedar hanya mengilmuinya tanpa amal. Walaupun tidak merosakannya, namun tidak bermanfaat.
Ketiga:
Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah ALLAH SUBHANAHU WA TAALA turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat, tidak menyelamatkannya dari azab ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah ALLAH SUBHANAHU WA TAALA turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat, tidak menyelamatkannya dari azab ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Keempat:
Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar menanggungnya kerana ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar menanggungnya kerana ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Apabila telah sempurna empat
martabat ini, maka ia termasuk Rabbaniyun. Para salaf telah sepakat menyatakan,
seorang ‘alim (ulama) tidak berhak disebut Rabbani sampai ia mengenal
kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga hanya orang yang berilmu,
beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.
Adapun jihad memerangi syaitan
memiliki dua martabat.
Pertama:
Memeranginya untuk menolak syubahat dan keraguan yang merosakan keimanan, yang diarahkan syaitan kepada hamba.
Memeranginya untuk menolak syubahat dan keraguan yang merosakan keimanan, yang diarahkan syaitan kepada hamba.
Kedua:
Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat, yang dilemparkan syaitan kepada hamba.
Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat, yang dilemparkan syaitan kepada hamba.
Jihad yang pertama dilakukan
dengan yakin, dan jihad yang kedua dengan kesabaran.
Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا
مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا
بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami
jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(as Sajdah : 24)
ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
menjelaskan, bahawa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan
yakin.
Dengan kesabaran, ia menolak
syahwat dan keinginan rosak.
Dan dengan yakin, ia menolak
keraguan dan syubahat.
Sedangkan jihad memerangi
orang kafir dan munafiqin, memiliki empat martabat, iaitu:
dengan hati,
lisan,
harta dan
harta dan
jiwa.
Jihad memerangi orang kafir,
lebih khusus dengan tangan. Dan jihad memerangi orang munafik, lebih khusus
dengan lisan. Sedangkan jihad memerangi pelaku kezaliman, bidaah dan
kemungkaran, memiliki tiga martabat.
Pertama, dengan tangan bila
mampu.
Apabila tidak mampu, maka
dengan lisan.
Bila tidak mampu juga, maka
dengan hati.
Inilah tiga belas martabat
jihad. Barangsiapa yang meninggal dan belum berperang, dan tidak pernah
membisikan jiwanya untuk berperang, maka ia meninggal di atas satu cabang kemunafikan.[7]
Daripada penjelasan Imam
Ibnul Qayyim di atas dapat diambil beberapa pelajaran.
Pertama:
Banyak kaum Muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja. Demikian ini adalah pemahaman parsial.
Banyak kaum Muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja. Demikian ini adalah pemahaman parsial.
Kedua:
Sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi, dengan taat kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, memerangi jiwa dengan cara menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam, memahami al Quran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para salafush shalih. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Kerana maksud dari ilmu adalah diamalkan.
Sudah seharusnya seorang muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi, dengan taat kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, memerangi jiwa dengan cara menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam, memahami al Quran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para salafush shalih. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Kerana maksud dari ilmu adalah diamalkan.
Setelah itu, memerangi jiwa
dengan berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal, lalu bersabar dari
semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah
jihad memerangi nafsu, yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari
selainnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan juga, jihad memerangi musuh
Allah yang diluar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالْمُجَاهِدُ
مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللهُ عَنْهُ
“Mujahid
adalah, orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan Allah. Dan
muhajir adalah, orang yang berhijrah dari larangan Allah.”[8]
Maka jihad memerangi jiwa
lebih didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
yang di luar (jiwa) dan menjadi induknya kerana orang yang belum berjihad
(memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan, serta belum memeranginya di jalan ALLAH SUBHANAHU WA
TAALA, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang di luar (itu).
Bagaimana ia mampu berjihad
memerangi musuhnya, padahal musuh yang berada di sampingnya berkuasa dan menjajahnya,
serta belum ia berjihad dan memeranginya. Bahkan tidak mungkin ia dapat
berangkat memerangi musuhnya, sebelum ia berjihad memerangi jiwanya untuk
berangkat berjihad.[9]
Jihad memerangi nafsu hukumnya
wajib atau fardhu ‘ain, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain kerana jihad
ini berhubungan dengan peribadi setiap orang.[10]
Ketiga:
Para ulama menjelaskan, syaitan menggoda manusia melalui dua pintu, iaitu syahwat dan syubahat. Apabila seorang manusia lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, maka syaitan akan mendatanginya melalui pintu syahwat. Dan jika syaitan mendapati manusia sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya, maka ia mendatanginya melalui pintu syubahat, keraguan dan menjerumuskannya kepada perbuatan bidaah.[11]
Para ulama menjelaskan, syaitan menggoda manusia melalui dua pintu, iaitu syahwat dan syubahat. Apabila seorang manusia lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada ALLAH SUBHANAHU WA TAALA, maka syaitan akan mendatanginya melalui pintu syahwat. Dan jika syaitan mendapati manusia sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya, maka ia mendatanginya melalui pintu syubahat, keraguan dan menjerumuskannya kepada perbuatan bidaah.[11]
Jihad melawan syaitan ini
hukumnya fardhu ‘ain, juga disebabkan berhubungan langsung dengan setiap peribadi
manusia, sebagaimana firman ALLAH SUBHANAHU WA TAALA:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ
عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu).”
[Faathir : 6]
Keempat. :
Jihad melawan orang kafir dan munafiqin dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik :
Jihad melawan orang kafir dan munafiqin dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik :
جَاهِدُوا
الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah
kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lisan kalian”. [12]
Pengertian jihad melawan
orang kafir dan munafik dengan hati adalah, membenci mereka dan tidak
memberikan loyaliti ataupun kecintaan, serta merasa gembira dengan kerendahan
dan kehinaan mereka, dan sikap lainnya, yang disebutkan di dalam al Quran dan
Sunnah yang berhubungan dengan hati.
Pengertian jihad dengan lisan
adalah, menjelaskan kebenaran dan membantah kesesatan serta kebatilan-kebatilan
mereka, dengan hujjah dan bukti konkrit.
Sedangkan pengertian jihad
dengan harta adalah, menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara jihad
perang atau dakwah, serta menolong dan membantu kaum Muslimin.
Adapun jihad dengan jiwa,
maksudnya adalah, memerangi mereka dengan tangan dan senjata sampai mereka
masuk Islam atau kalah, sebagaimana firman ALLAH SUBHANAHU WA TAALA:
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka.
Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim.”
[al Baqarah : 193]
Dan juga firman ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (iaitu orang-orang) yang diberikan al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jiziah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
[at Taubah : 29].
Kaum kafir dan munafiqin
diperangi dengan keempat jihad di atas. Namun kaum kafir lebih khusus dihadapi
dengan tangan, kerana permusuhannya secara terang-terangan. Sedangkan munafiqin
dengan lisan, kerana permusuhannya tersembunyi dan keadaan mereka di bawah
kekuasaan kamu Muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan dibongkar keadaan
mereka yang sebenarnya, serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar orang-orang
mengetahui hal itu, dan berhati-hati dari mereka agar tidak terjerumus kepada
kemunafikan tersebut.
Kelima:
Beliau rahimahullah mengutarakan jihad memerangi pelaku kezaliman, pelaku bidaah dan kemungkaran, dilakukan dengan tiga martabat, iaitu dengan tangan. Bila tidak mampu, maka dengan lisan. Dan bila tidak mampu juga, maka dengan hati. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id al Khudri yang berbunyi:
Beliau rahimahullah mengutarakan jihad memerangi pelaku kezaliman, pelaku bidaah dan kemungkaran, dilakukan dengan tiga martabat, iaitu dengan tangan. Bila tidak mampu, maka dengan lisan. Dan bila tidak mampu juga, maka dengan hati. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id al Khudri yang berbunyi:
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang melihat dari kalian satu kemungkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Lalu, bila tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.”
“Barangsiapa yang melihat dari kalian satu kemungkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Lalu, bila tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.”
[HR Muslim]
Setiap muslim dituntut
berjihad menghadapi pelaku perbuatan zalim, bidaah dan mungkar sesuai dengan
kemampuannya, dan dengan memperhatikan kaedah-kaedah amar makruf nahi mungkar. Demikianlah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan di dalam hadits Ibnu
Mas’ud yang berbunyi :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ
بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ
حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ
ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada seorang nabi yang Allah utus kepada suatu umat sebelumku, kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya.
“Tidak ada seorang nabi yang Allah utus kepada suatu umat sebelumku, kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya.
Kemudian
datang generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka
amalkan, dan mengamalkan yang tidak diperintahkan.
Barangsiapa
yang menghadapi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin.
Dan
barangsiapa yang menghadapi mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin.
Serta
barangsiapa yang menghadapi mereka dengan hatinya, maka ia seorang mukmin, dan
tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari iman.”[14]
Setiap muslim pasti mampu melakukan
jihad jenis ini, iaitu dengan hatinya. Demikian itu dengan cara mengingkari dan
membenci perbuatan bidaah, kezaliman dan kemungkaran dengan hatinya, dan
berharap perbuatan-perbuatan tersebut hilang.
Maksud
tujuan jihad[15]
ALLAH SUBHANAHU WA TAALA tidak mewajibkan dan mensyariatkan sesuatu tanpa adanya maksud tujuan yang agung. Demikian juga, jihad disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang telah dijelaskan para ulama dengan pernyataan mereka. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.[16]
Beliau rahimahullah juga
menyatakan, maksud tujuan jihad adalah, agar tidak ada yang disembah kecuali ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA, sehingga tidak ada seorangpun yang berdoa, solat, sujud dan
puasa untuk selain ALLAH SUBHANAHU WA TAALA.
Tidak berumrah dan berhaji,
kecuali ke rumahNya (Kaabah), tidak disembelih-sembelihan kecuali untukNya, dan
tidak bernazar dan bersumpah, kecuali denganNya.[17]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as Sa’di menyatakan, jihad ada dua jenis.
Jihad dengan tujuan untuk
kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah, akhlak, adab (perilaku) dan
seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka, baik ilmiah
dan amaliah. Jenis ini adalah induk dan tonggaknya jihad, serta menjadi dasar
bagi jihad yang kedua, iaitu jihad dengan maksud menolak orang yang menyerang
Islam dan kaum Muslimin dari kalangan orang kafir, munafiqin, mulhid dan
seluruh musuh agama dan menentang mereka.[18]
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
menyatakan, jihad terbagi menjadi dua, iaitu jihad ath tholab (menyerang) dan
jihad ad daf’u (bertahan). Maksud tujuan keduanya adalah, menyampaikan agama ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA dan mengajak orang mengikutinya. Mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya Islam dan meninggikan agama ALLAH SUBHANAHU WA TAALA di
muka bumi, serta menjadikan agama ini hanya untuk ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
semata, sebagaimana dijelaskan dalam al Quran Surah Al Baqarah ayat 193: Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu
hanya untuk ALLAH SUBHANAHU WA TAALA belaka. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim.
“Dan peranglah
mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.”
[Al Anfal : 39]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan:
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا
بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku
diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan syahadatain, menegakkan
solat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat demikian, maka darah
dan harta mereka telah terjaga dariku, kecuali dengan hak Islam. Dan hisab
mereka diserahkan kepada Allah.”
[Muttafaqun ‘alaihi]
Dari keterangan para ulama di
atas jelaslah, bahawa maksud tujuan disyariatkannya jihad adalah, untuk
menegakkan agama Islam di muka bumi ini, dan bukan untuk dendam peribadi, atau
golongan, sehingga sangat diperlukan pengetahuan tentang konsep Islam dalam
jihad, baik secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang,
sebagai konsekwensi dari pelaksanaan jihad.
Demikian, mudah-mudahan
bermanfaat. Wallahu A’lam.
[Disalin dari Majalah
As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183,
Telp. 0271-761016]
Sumber: https://almanhaj.or.id/2736-jihad-dalam-perspektif-hukum-is…
Tiada ulasan:
Catat Ulasan