Kalau rezeki itu diukur
dari kerja keras, maka kuli bangunanlah yang akan cepat kaya.
Jika rezeki itu ditentukan
dari waktu kerja, maka warung kopi 24 jamlah yang akan lebih mendapatkannya. Bahkan
mungkin mampu mengalahkah KFC dan Mc. DONALD.
Jika rezeki itu milik orang
pintar, maka dosen yang bergelar panjang yang akan lebih kaya.
Jika rezeki itu kerana
jabatan maka presiden dan rajalah orang yg akan menduduki 100 orang terkaya di
dunia.
Rezeki itu kerana kasih
sayang ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA.
"Mengejar rezeki, jangan
mengejar jumlahnya tetapi berkahnya."
(Ali bin Abi Thalib)
Meskipun Lari, Rezekimu
Akan Tetap Mengejarmu
“Kalaulah anak Adam lari
dari rezekinya untuk menjalankan perintah ALLAH sebagaimana
ia lari dari kematian, nescaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian
itu akan mengejarnya.”
(HR Ibnu Hibban No. 1084)
Miskin kaya sudah ada yang
mengaturnya. Abdurrahman Bin Auf Selalu Gagal Jadi Orang Miskin. Jika tiba-tiba
kondisi ekonomi "down", saya selalu terhibur mengingat kisah bisnes
Abdurrahman bin Auf, tentang investasinya membeli kurma busuk.
Suatu ketika Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam berkata, Abdurrahman bin Auf r.a akan masuk syurga
terakhir kerana terlalu kaya. Ini kerana orang yang paling kaya akan dihisab
paling lama. Maka mendengar ini, Abdul Rahman bin Auf ra pun berfikir keras,
bagaimana agar boleh kembali menjadi miskin supaya dapat masuk syurga lebih
awal. Setelah Perang Tabuk, kurma di Madinah yang ditinggalkan sahabat menjadi
busuk. Lalu harganya jatuh. Abdurrahman bin Auf ra pun menjual semua hartanya,
kemudian memborong semua kurma busuk milik sahabat tadi dengan harga kurma
bagus.
Semuanya bersyukur. Alhamdulillah.
Kurma yang dikuatirkan tidak laku, tiba-tiba laku keras! Diborong semuanya oleh Abdurrahman bin Auf. Sahabat
gembira. Abdurrahman bin Auf ra pun juga gembira. Sahabat lain gembira
sebab semua dagangannya laku. Abdurrahman bin Auf r.a gembira juga sebab berharap
jatuh miskin!
Masya Allah....hebat. Cuba
kalau kita? Usaha diuji sedikit, sudah teriak tak tentu arah. Abdurrahman bin
Auf r.a merasa sangat lega, sebab tahu akan bakal masuk syurga dulu, sebab
sudah miskin.
Namun.. Masya Allah. Rencana
ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA itu memang terbaik. Tiba-tiba, datang utusan dari Yaman membawa berita,
Raja Yaman mencari kurma busuk. Rupa-rupanya, di Yaman sedang berjangkit wabak
penyakit menular, dan ubat yang sesuai adalah kurma busuk. Utusan Raja Yaman
berniat memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf ra dengan harga 10 kali lipat
dari harga kurma biasa.
Allahu Akbar. Orang lain
berusaha keras jadi kaya. Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras jadi
miskin tapi selalu gagal. Benarlah firman ALLAH SUBHANAHU WA
TAALA:
"Wahai manusia, di
langit ada rezeki bagi kalian. Juga semua kurnia yang dijanjikan pada kalian."
(Qs. Adz Dzariat, 22)
Jadi, yang banyak memberi
rezeki itu datangnya dari kurma yang bagus atau kurma yang busuk?
ALLAH SUBHANAHU WA TAALA lah yang
memberi rezeki.
Semoga kisah ini dapat
menyuntik kembali semangat dalam diri kita semua, yang sedang diuji dalam
pekerjaan dan usaha kita, untuk lebih mengutamakan urusan kepada ALLAH
SUBHANAHU WA TAALA dibanding urusan dunia yang sementara ini, aamiin.
Kisah di atas sesuai dengan
hadist. Daripada Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا
هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ
ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ
الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ
، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
“Barangsiapa tujuan
hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan
kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali
menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya.
Barangsiapa yang niat
(tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya,
menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”
Hadits ini shahih,
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Mâjah (no. 4105);
Imam Ibnu Hibbân (no. 72–Mawâriduzh Zham’ân); al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat
Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu.
Lafazh hadits ini milik
Ibnu Mâjah rahimahullah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan