1.
Pengertian Riba
Riba berasal dari bahasa
Arab yang bererti tambahan (al-ziyadah),
berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’),
dan membesar (al-‘uluw). Dengan
demikian, riba dapat diertikan sebagai pengambilan
tambahan dalam transaksi pinjam meminjam, bahkan tambahan dalam transaksi jual
beli yang dilakukan secara batil juga dapat dikatakan sebagai riba.
Beberapa ulama
memberikan definisi riba seperti berikut ini.
a). Muhammad ibnu
Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki, dalam kitab Ahkam al Quran, (IBI,39), memberikan pengertian riba, iaitu
secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam al Quran iaitu
setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu ‘iwad (penyeimbang/pengganti)
yang dibenarkan syariah.
b). Kemudian, Badr
ad-Dien al-Ayni, dalam kitab Umdatul Qari, (IBI, 39),
menjelaskan bahwa prinsip
utama riba adalah penambahan. Menurut syariah riba bererti penambahan atas
harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
c). Imam Sarakhsi,
dalam kitab al-Mabsul, (IBI, 39), memberikan pengertian riba adalah tambahan yang
disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh(padanan) yang dibenarkan
syariah atas penambahan tersebut.
2.
Jenis Riba
Secara garis besar,
riba diklasifikasikan menjadi dua kelompok, iaitu riba yang terjadi akibat hutang-piutang
dan riba yang
terjadi akibat jual-beli. Berikut ini jenis riba dari dua kelompok riba tersebut, iaitu, riba nasi’ah dan riba
fadhal.(Sabiq, 2007)
a.
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah adalah
pertambahan bersyarat yang diterima oleh pemberi hutang dari orang yang berhutang
kerana penangguhan pembayaran. Jenis riba ini diharamkan oleh al Quran, Sunnah,
dan Ijma ‘ulama.
b.
Riba Fadhal
Riba fadhal adalah
jual beli wang dengan wang atau barang pangan dengan barang pangan yang
disertai tambahan (juga emas dengan emas, perak dengan perak).
Daripada Abu Said,
Rasulullah SAW bersabda,
“Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum sama banyak dan sama-sama
diserahkan dari tangan ke tangan. Barangsiapa yang menambahkan atau minta
tambahan sungguh ia telah berbuat riba. Pengambil dan pemberi sama.”
(HR Bukhari dan
Ahmad)
3.
Hukum Riba
Islam secara tegas
melarang praktik riba dalam perekonomian umat manusia. Allah
SWT melarang riba melalui al Quran dengan empat tahap
pelarangan, yakni sebagai berikut.
1) Allah
memberikan pengertian bahawa riba
tidak akan menambah kebaikan di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan sesuatu riba (tambahan)
yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
(Surah 30, Ar Ruum : ayat 39).
2) Allah
memberikan gambaran siksa bagi Yahudi dengan salah satu karakternya yang suka
memakan riba. Allah SWT berfirman,
“Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan kerana mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal mereka
sesungguhnya telah dilarang dari padanya, dan kerana mereka memakan harta orang
dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih.”
(Surah 4, An Nisaa’ : ayat 160-161).
3) Allah
SWT melarang memakan riba yang berlipat ganda, seperti firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
(Surah 3, Ali
Imran : ayat 130).
4) Allah
SWT melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba,
seperti dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dan lepaskan sisa-sisa riba(yang belum dipungut) jika
kamu orang yang beriman, Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah Allah dan Rasullnya akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari
pengambilan Riba), maka bagimu modalmu (pokok hartamu), Kamu tidak menganiaya
dan tidak pula dianiaya.”
(Surah 2, Al
Baqarah : ayat 278-279).
Sementara
bagi kita jelas apa yang dilarang (riba)
dan yang dihalalkan (jual-beli). Allah berfirman,
“Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.”
(Surah 2, Al
Baqarah ayat 275).
Dengan
adanya ayat-ayat yang melarang praktik riba dalam perekonomian umat manusia maka
seluruh manusia hendaknya meninggalkan riba dalam kegiatan ekonominya agar
tergolong orang-orang yang beriman. Hanya orang yang beriman dan beramal
sholehlah yang akan diberikan balasan syurga oleh Allah SWT. Dengan pelarangan riba ini, Allah telah memberikan
keleluasaan praktik ekonomi yang halal, iaitu jual beli seperti dijelaskan pada
Al Baqarah 275 tersebut di atas.
Bagaimana
besarnya dosa riba, nabi besar Muhammad SAW telah menjelaskan dalam haditsnya
dengan periwayat yang berbeza. Di antara hadits tersebut adalah,
“Allah
melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dua orang
saksinya, dan penulisnya (sekretarisnya / pengadministrasinya).”
(diriwayatkan
semua penulis Sunan. At – Tirmidzi mensahihkan hadist ini).
“Satu
dirham riba yang dimakan seseorang dengan sepengetahuannya itu lebih berat
dosanya dari pada tiga puluh enam berbuat zina.”
(diriwayatkan Ahmad dengan sanad shahih).
“Riba mempunyai tiga puluh tujuh pintu.
Pintu yang paling ringan ialah seseorang menikahi ibu kandungnya.”
(diriwayatkan Al-Hakim dan ia menshahihkannya)
[ Al-Jazairi, 2001].
Dengan
memperhatikan hadist nabi Muhammad SAW tersebut, sebagai orang yang beriman
kepada Allah dan RasulNya, maka pastilah takut luar biasa akan mendapatkan dosa
kerana memakan riba, naudzubillahi
mindzalik, semoga kita segera bertaubat untuk kembali ke al Quran
dan al Hadist untuk meninggalkan sistem riba dalam perekonomian dan kehidupan
kita. Dengan niat yang ikhlas kerana Allah, in sya Allah kita dapat keluar dari
himpitan sistem riba dan membangun sistem ekonomi tanpa riba yang diredhai oleh
Allah SWT.
(Sumber:
Wiyono, Slamet (2009), Ebook Membumikan Akuntansi Syariah di Indonesisia,
Shambie Publisher, Tangerang)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan