Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Rabu, 28 Mei 2014

R 34 : ZINA DAN RIBA DALAM MASYARAKAT KITA

Sabda Rasulullah saw:

“Apabila zina dan riba telah nampak nyata di suatu negeri, maka mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.”
(HR. Al-Hakim).

Zina, mungkin tindakkan ini masih dianggap tabu oleh sebahagian masyarakat kita. Namun, tidak ada yang dapat menyembunyikan fakta bahawa perbuatan tersebut telah meraja-lela di kanan-kiri kita. Menurut survei KPAI, dari 28 ribu responden pelajar lelaki, 10%nya mengaku sudah pernah berhubungan seksual. BKKBN 2008 mendapatkan angka yang jauh lebih fantastis, 51% responden pelajar perempuan di Jabotabek mengaku pernah berhubungan seks. Mana yang benar? Entahlah, yang jelas angka hasil dua survei itu sama-sama membuat miris.
Menurut Gubernur jatim, Soekarwo (mei 2012), terdapat 47 lokalisasi pelacuran di Jatim, tersebar di 33 daerah tingkat dua. Di kabupaten Bekasi pada 2011 tercatat ada 3,648 wanita yang berprofesi sebagai pezina profesional. Itu yang tercatat. Di Tangsel, tercatat beberapa tempat prostitusi, seperti: di  Jalan Menjangan Raya di Ciputat Timur, Ruko Tua Cimanggis di Ciputat, Perempatan Duren Kampung Sawah di Ciputat, Jalan Raya Tegal Rotan Pondok Kacang Barat, Pondok Jaya, Pondok Pucung di Pondok Aren, Halte Bundaran BSD, kawasan ruko di BSD, Bantaran Rel Stasiun Serpong, Jalan Raya Viktor, Kawasan Alang-alang di Serpong, sepanjang Jalan Raya Puspiptek di Setu dan Perempatan Gaplek di Pamulang. Maka, tak diragukan lagi, ketika kita menyadari banyaknya tempat prostitusi yang ada bererti zina merupakan perkara yang nyata dalam masyarakat kita.
Salah satu hal yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah hukum. Jika Islam menganggap zina sebagai tindak kriminal yang layak dijatuhi hukuman super berat (seratus kali pukul bagi yang belum menikah atau rajam bagi yang telah menikah), lain halnya dengan hukum di negara ini. Zina di negara ini tidak dengan sendirinya dianggap sebagai tindakkan kriminal. Selama tidak ada yang dirugikan, maka zina bukanlah pelanggaran hukum. Inilah masalahnya.

 

Riba: Kemaksiatan yang bergengsi


Meski bagaimana pun, zina -dalam benak sebahagian besar masyarakat- tetap merupakan perkara yang tabu bin memalukan. Lain halnya dengan praktik riba (lihat artikel jenis-jenis riba). Membungakan wang bukanlah hal yang aneh dalam masyarakat kita. Justeru aneh kalau ada lembaga yang meminjamkan wang tanpa bunga. Padahal jelas, bunga dari akad pinjam-meminjam uang (qardh) adalah riba yang diharamkan dalam Islam, bahkan sangat dicela oleh Allah Taala.

Gedung perbankan

Dalam masyarakat kita, riba tidak hanya nampak dalam kegiatan individual, bahkan, terdapat sekian ribu lembaga kewangan di negeri ini yang mempraktikkannya. Mereka tidak menjalankan bisnes riba dengan malu-malu, bahkan mereka membangun kantor-kantor dan gedung-gedung yang megah untuk menjalankan kemaksiatan mereka. Tak cukup sampai di situ, mereka juga memamerkan kemaksiatan mereka di pelakat-pelakat, baliho-baliho, iklan radio, iklan di TV dan internet. Mereka juga memiliki jutaan nasabah, memiliki ribuan karyawan, menerima dan menyalurkan trilyunan wang nasabah dengan akad ribawi. Berbagai bisnis dan projek yang sehari-hari kita saksikan sebahagian besar didanai dengan transaksi ribawi. Sungguh sebuah praktik kemaksiatan yang demonstratif dan menggurita, kemaksiatan yang dilakukan tanpa ada rasa bersalah dan rasa hina.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah bahawa  ternyata riba itu juga dipraktikkan oleh negara. Bahkan, negara merupakan aktor utama dalam hal ini. Sistem perbankan diatur oleh negara lewat undang-undangnya. Pemerintah dan Bank Sentral menjadi eksekutornya. Mereka telah menjadikan sesuatu hal yang haram menjadi jantung yang memompa denyut nadi perekonomian masyarakat. Bank Sentral juga mengendalikan kondisi moneter lewat mekanisme ribawi dengan memainkan besaran suku bunga. Negara tak jarang menerbitkan SUN yang berbunga tinggi. Maka Nyatalah, bahawa riba tidak lagi sekadar kemaksiatan individual, namun sudah menjadi kemaksiatan masyarakat dan negara, pelanggaran berjama’ah  yang  sistemik dan tak dipandang salah.

 

Apa yang salah?


Riba menjadi suatu hal yang biasa kerana adanya persepsi umum bahawa riba alias bunga adalah wajar, bahkan niscaya. Mereka tidak mampu membayangkan jalannya kehidupan ekonomi tanpa eksistensi riba. Apakah mereka tidak memperhatikan firman Allah Taala,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ  فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ} [البقرة: 278، 279]

Ertinya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah adanya peperangan dari Allah dan RasulNya.”
(Surah 2,  Al Baqarah : ayat 278-279)

Lihat, betapa kerasnya ancaman Allah kepada mereka yang mempraktikkan riba. Lantas kenapa negara dan masyarakat kita begitu santainya menghadapi ancaman Allah tersebut?
Jawabnya adalah kerana pemerintah dan masyarakat kita memang tidak merasa ada yang salah dengan riba. Ini menunjukkan bahawa negara dan masyarakat belum merupakan negara dan masyarakat yang Islami. Dalam erti, mereka memang muslim, tapi mereka belum menjadikan islam dan hukum-hukumnya sebagai patokan-patokan yang secara riil mengatur interaksi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Itu kerana pemikiran dan perasaan mereka belum sepenuhnya merujuk kepada Islam, sehingga aturan-aturan kehidupan yang mereka terapkan pun tidak merujuk kepada Islam. Puncaknya terlihat pada hukum yang diterapkan. Negara tidak melihat praktik riba sebagai suatu tindakkan yang perlu dicegah dan dihilangkan. Hukum juga tidak melihat riba sebagai tindakkan tercela yang perlu diperkarakan. Benarlah kata Ibnu Taimiyah: “amar ma’ruf nahi munkar tidaklah sempurna tanpa penegakkan sanksi-sanksi syar’i”.
Maka dari itu, persoalan zina dan riba ini merupakan perkara sosial yang sistemik. Solusinya tidak berhenti pada ranah pembinaan mental individu, namun harus sampai kepada perombakan pemikiran, perasaan dan sistem yang berlaku di tengah masyarakat dari yang tidak islami menjadi Islam. Wallahu a’lam (titokpriastomo.com)




Tiada ulasan:

Catat Ulasan