Sabda Rasulullah saw:
“Apabila zina dan riba telah
nampak nyata di suatu negeri, maka mereka telah menghalalkan diri mereka untuk
menerima azab Allah.”
(HR. Al-Hakim).
Zina, mungkin tindakkan ini masih dianggap tabu oleh sebahagian
masyarakat kita. Namun, tidak ada yang dapat menyembunyikan fakta bahawa
perbuatan tersebut telah meraja-lela di kanan-kiri kita. Menurut survei KPAI,
dari 28 ribu responden pelajar lelaki, 10%nya mengaku sudah pernah berhubungan
seksual. BKKBN 2008 mendapatkan angka yang jauh lebih fantastis, 51% responden
pelajar perempuan di Jabotabek mengaku pernah berhubungan seks. Mana yang
benar? Entahlah, yang jelas angka hasil dua survei itu sama-sama membuat miris.
Menurut Gubernur jatim, Soekarwo (mei 2012), terdapat 47
lokalisasi pelacuran di Jatim, tersebar di 33 daerah tingkat dua. Di kabupaten
Bekasi pada 2011 tercatat ada 3,648 wanita yang berprofesi sebagai pezina
profesional. Itu yang tercatat. Di Tangsel, tercatat beberapa tempat
prostitusi, seperti: di Jalan Menjangan Raya di Ciputat Timur, Ruko Tua
Cimanggis di Ciputat, Perempatan Duren Kampung Sawah di Ciputat, Jalan Raya
Tegal Rotan Pondok Kacang Barat, Pondok Jaya, Pondok Pucung di Pondok Aren,
Halte Bundaran BSD, kawasan ruko di BSD, Bantaran Rel Stasiun Serpong, Jalan
Raya Viktor, Kawasan Alang-alang di Serpong, sepanjang Jalan Raya Puspiptek di
Setu dan Perempatan Gaplek di Pamulang. Maka, tak diragukan lagi, ketika kita
menyadari banyaknya tempat prostitusi yang ada bererti zina merupakan perkara
yang nyata dalam masyarakat kita.
Salah satu hal yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah
hukum. Jika Islam menganggap zina sebagai tindak kriminal yang layak dijatuhi
hukuman super berat (seratus kali pukul bagi yang belum menikah atau rajam bagi
yang telah menikah), lain halnya dengan hukum di negara ini. Zina di negara ini
tidak dengan sendirinya dianggap sebagai tindakkan kriminal. Selama tidak ada
yang dirugikan, maka zina bukanlah pelanggaran hukum. Inilah masalahnya.
Riba: Kemaksiatan
yang bergengsi
Meski bagaimana pun, zina -dalam benak sebahagian besar
masyarakat- tetap merupakan perkara yang tabu bin memalukan. Lain halnya dengan
praktik riba (lihat artikel jenis-jenis riba). Membungakan wang bukanlah hal yang
aneh dalam masyarakat kita. Justeru aneh kalau ada lembaga yang meminjamkan wang
tanpa bunga. Padahal jelas, bunga dari akad pinjam-meminjam uang (qardh) adalah
riba yang diharamkan dalam Islam, bahkan sangat dicela oleh Allah Taala.
Dalam masyarakat kita, riba tidak hanya nampak dalam
kegiatan individual, bahkan, terdapat sekian ribu lembaga kewangan di negeri
ini yang mempraktikkannya. Mereka tidak menjalankan bisnes riba dengan
malu-malu, bahkan mereka membangun kantor-kantor dan gedung-gedung yang megah
untuk menjalankan kemaksiatan mereka. Tak cukup sampai di situ, mereka juga
memamerkan kemaksiatan mereka di pelakat-pelakat, baliho-baliho, iklan radio,
iklan di TV dan internet. Mereka juga memiliki jutaan nasabah, memiliki ribuan
karyawan, menerima dan menyalurkan trilyunan wang nasabah dengan akad ribawi.
Berbagai bisnis dan projek yang sehari-hari kita saksikan sebahagian besar
didanai dengan transaksi ribawi. Sungguh sebuah praktik kemaksiatan yang
demonstratif dan menggurita, kemaksiatan yang dilakukan tanpa ada rasa bersalah
dan rasa hina.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah bahawa
ternyata riba itu juga dipraktikkan oleh negara. Bahkan, negara merupakan aktor
utama dalam hal ini. Sistem perbankan diatur oleh negara lewat
undang-undangnya. Pemerintah dan Bank Sentral menjadi eksekutornya. Mereka
telah menjadikan sesuatu hal yang haram menjadi jantung yang memompa denyut
nadi perekonomian masyarakat. Bank Sentral juga mengendalikan kondisi moneter
lewat mekanisme ribawi dengan memainkan besaran suku bunga. Negara tak jarang menerbitkan
SUN yang berbunga tinggi. Maka Nyatalah, bahawa riba tidak lagi sekadar
kemaksiatan individual, namun sudah menjadi kemaksiatan masyarakat dan negara,
pelanggaran berjama’ah yang sistemik dan tak dipandang salah.
Apa yang salah?
Riba menjadi suatu hal yang biasa kerana adanya persepsi
umum bahawa riba alias bunga adalah wajar, bahkan niscaya. Mereka tidak mampu
membayangkan jalannya kehidupan ekonomi tanpa eksistensi riba. Apakah mereka
tidak memperhatikan firman Allah Taala,
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ} [البقرة: 278، 279]
Ertinya: “Hai orang-orang yang beriman
bertaqwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah adanya peperangan dari
Allah dan RasulNya.”
(Surah 2, Al
Baqarah : ayat 278-279)
Lihat, betapa kerasnya ancaman Allah kepada mereka yang
mempraktikkan riba. Lantas kenapa negara dan masyarakat kita begitu santainya
menghadapi ancaman Allah tersebut?
Jawabnya adalah kerana pemerintah dan masyarakat kita
memang tidak merasa ada yang salah dengan riba. Ini menunjukkan bahawa negara
dan masyarakat belum merupakan negara dan masyarakat yang Islami. Dalam erti,
mereka memang muslim, tapi mereka belum menjadikan islam dan hukum-hukumnya
sebagai patokan-patokan yang secara riil mengatur interaksi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Itu kerana pemikiran dan perasaan mereka belum
sepenuhnya merujuk kepada Islam, sehingga aturan-aturan kehidupan yang mereka
terapkan pun tidak merujuk kepada Islam. Puncaknya terlihat pada hukum yang
diterapkan. Negara tidak melihat praktik riba sebagai suatu tindakkan yang
perlu dicegah dan dihilangkan. Hukum juga tidak melihat riba sebagai tindakkan
tercela yang perlu diperkarakan. Benarlah kata Ibnu Taimiyah: “amar ma’ruf nahi
munkar tidaklah sempurna tanpa penegakkan sanksi-sanksi syar’i”.
Maka dari itu, persoalan zina dan riba ini merupakan
perkara sosial yang sistemik. Solusinya tidak berhenti pada ranah pembinaan
mental individu, namun harus sampai kepada perombakan pemikiran, perasaan dan
sistem yang berlaku di tengah masyarakat dari yang tidak islami menjadi Islam.
Wallahu a’lam (titokpriastomo.com)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan