Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

V 167 : ASMAUL HUSNA ( 74. AL ZOHIR )

AL ZOHIR   ( الظاهر )   ALLAH Yaa Zohir Yang Maha Nyata menegaskan kepada kita DIA nyata, dapat dilihat dan sesungguhnya hadir. Kehadira...

Ahad, 12 Ogos 2012

G 19 ILMU DAN TEKNOLOGI

Pandangan Al Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya
(QS Al-’Alaq [96]: 1-5).

Iqra’ terambil dari akar kata yang bererti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, kerana Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam erti bermanfaat untuk
kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahawa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksima kemampuan.
Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahawa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra’ wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahawa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, iaitu Allah swt mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum
diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeza, keduanya berasal dari satu sumber, iaitu Allah Swt. Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahawa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek.
Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronomi menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai “kebetulan” yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah swt yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran tersebut.

ILMU
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam erti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilmu dari segi bahasa bererti kejelasan, kerana itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeza dengan ‘arafa (mengetahui)’ a’rif (yang mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan).

Allah Swt. tidak dinamakan a’rif’ tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu –untuk Allah– dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun ghaib, tersembunyi, atau dirahsiakan.
Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan kepada Allah: ya’lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka rahsiakan), ya’lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa
(apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan), ma fi anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khainat al-’ayun  wa ma tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam
dada). Demikian juga ‘ilmu yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.

Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat
Al-Baqarah (2) 31 dan 32:

Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar (menurut dugaanmu).” Mereka (para malaikat) menjawab, “Mahasuci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Kerana itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan.

Menurut pandangan Al-Quran –seperti diisyaratkan oleh wahyu  pertama– ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai ‘ilm ladunni, seperti diinformasikan antara lain oleh Al-Quran surat Al-Kahfi (18):
65. Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba dan hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dan sisi Kami.

Kedua, ilmu yang diperoleh kerana usaha manusia, dinamai ‘ilm kasbi. Ayat-ayat ‘ilm kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang ‘ilm laduni.  Pembagian ini disebabkan kerana dalam pandangan Al-Quran terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak,
sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain dalam firman-Nya: Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).

Dengan demikian, objek ilmu meliputi material dan non-material. fenomena dan non-fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusiapun tidak.
Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Nahl [16]

Dari sini jelas pula bahawa pengetahuan manusia amatlah terbatas, kerana itu wajar sekali Allah swt menegaskan.
Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS Al-lsra’[17]: 85).

OBJEK ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA

Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan terdahulu, secara garis besar objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, iaitu alam material dan alam non-material. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam material, menyebabkan manusia
membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realiti yang tidak dapat dibuktikan di alam material. Kerana itu. objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya. Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam material dan non-material. Kerana itu, sebagai ilmuwan Muslim –khususnya kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran– memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams  (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realiti wujud. Kelima hal tersebut adalah: (l) alam nasut (alam material), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan
(5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).

Tentu ada tatacara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut. Allah swt mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun. dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).

Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana iaitu, pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati. Trial and error (cuba-cuba), pengamatan, percubaan, dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang
digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan
upaya mengetahui alam material. Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi
… (QS Yunus [10]: 101).

Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan?
(QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20).

Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang baik?
(QS Al-Syu’ara’ [26]: 7)

Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi …
(QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain).

Di samping mata, telinga, dan fikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, Al-Quran pun menggaris bawahi pentingnya peranan kesucian hati. Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah swt dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia. Sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih
melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), kerana mereka sedar terhadap kebenaran firman Allah:

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi –tanpa alasan yang benar– dari ayat-ayat Ku …
(QS Al-A’raf [7]: 146).

Berkali-kali pula Al-Quran menegaskan bahawa inna Allah la yahdi, sesungguhnya Allah swt tidak akan memberi petunjuk kepada al-zhalimin (orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin (orang-orang yang kafir), al-fasiqin (orang-orang yang fasik),
man yudhil (orang yang disesatkan), man huwa kadzibun kaffar (pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab (pemboros lagi pembohong), dan lain-lain.

Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah ilmu Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi yang mereka peroleh itu terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena). Bukan pula yang berkaitan dengan realiti di luar alam material.

Dalam konteks ini Al-Quran menegaskan:
… Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sedangkan tentang akhirat mereka lalai
(QS Al-Rum [30]: 6-7).

Para ilmuwan Muslim juga menggaris bawahi pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi Saw.:
Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.

Sebahagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat kandungan hadis tersebut.

Bertakwalah kepada Allah, nescaya Dia mengajar kamu. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahawa seseorang yang memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula, antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama
(QS Fathir [35]: 28).
Dalam konteks ayat ini, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam.
Rasulullah Saw. menegaskan bahawa:
Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah yang bermanfaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah, maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia.

MANFAAT ILMU

Dari wahyu pertama, juga ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Melalui Iqra’ bismi Rabbika, digariskan bahawa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah kerana Allah swt.

Syeikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, memahami Bacalah demi Allah swt dengan erti untuk kemaslahatan makhluknya. Bukankah Allah swt tidak memerlukan sesuatu, dan justeru makhluk yang memerlukan Allah Swt.?
Semboyan “ilmu untuk ilmu” tidak dikenal dan tidak dibenarkan oleh Islam. Apapun ilmunya, material pembahasannya harus bismi Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani. Sehingga ilmu yang –dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat sebahagian ahli– “bebas nilai”, harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan Muslim.
Kaum Muslim harus menghindari cara berfikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi tidak memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah Saw. sering berdoa, Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat. Atas dasar ini pula berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkap rahsia alam metafisik, tidak boleh dilakukan. Artinya, hati mesti dipergunakan untuk menjelajahi alam  metafisik.
Menarik untuk dikemukakan bahawa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya, menggunakan redaksi yang berlainan ketika menunjukkan manfaat yang diperoleh dan alam raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama.

Perhatikan misalnya ketika Al-Quran menguraikan as-samawat wal-ardh. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 164, penjelasan ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya’qilun (sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal).
Sedangkan dalam Al-Quran surat Ali-’Imran ayat 90, ketika menguraikan persoalan yang sama diakhiri dengan la ayatin li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab [orang-orang yang memiliki saripati segala sesuatu].
Inilah antara lain fashilat {penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang alam raya, yang darinya dapat ditarik kesan adanya beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih oleh mereka yang mempelajari fenomena alam: yatafakkarun (yang
berfikir) (QS 10: 24) ya’lamun (yang mengetahui) (QS 10: 5), yatazakkarun (yang mengambil pelajaran) (QS 16: 13), ya’qilun (yang memahami) (QS 16: 12), yasma’un (yang mendengarkan) (QS 30: 23), yuqinun (yang meyakini) (QS 45: 4), al-mu’minin
(orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-’alimin (orang-orang yang mengetahui) (QS 30: 22).

TEKNOLOGI

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diertikan sebagai “kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan proses teknis.” Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Kalau demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan manusia bukanlah teknologi, walaupun secara umum alat-alat
tersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah dipergunakan oleh manusia sejak berabad yang lalu, namun abad tersebut belum dinamakan era teknologi.

Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam material dan
fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahawa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah swt untuk manusia. Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Penundukan tersebut –secara potensial– terlaksana melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah swt dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Quran menjelaskan sebahagian dari ciri tersebut, antara lain:

(a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya.
Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS Al-Ra’d [13]:
Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput yang hijau subur atau layu dan kering, semuanya telah ditetapkan oleh Allah swt sesuai ukuran dan hukum-hukumnya. Demikian antara lain dijelaskan oleh Al-Quran surat Ya Sin ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3

(b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya:
Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra’d [13]: 15).

(c) Benda-benda alam –apalagi yang tidak bernyawa– tidak diberi kemampuan memilih, tetapi sepenuhnya tunduk kepada Allah swt melalui hukum-hukum-Nya.
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit yang ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia (Allah) berkata kepada-Nya, “Datanglah (Tunduklah)
kamu berdua (langit dan bumi) menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!” Mereka berdua berkata, “Kami datang dengan suka hati” (QS Fushshilat: ll).
Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri dan hukum-hukum yang berkaitan dengan alam raya, sebagaimana diinformasikan oleh firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 31,
Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini bererti manusia berpotensi mengetahui rahsia alam raya.

Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah swt, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Kerananya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan
alam yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfatkan alam itu merupakan buah teknologi. Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab.
Ciri mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali-’Imran (3) 190-191:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Iaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berfikir tentang
kejadian langit dan bumi …Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab,
yaitu tafakkur dan zikir. Kemudian keduanya menghasilkan natijah yang diuraikan pada ayat 195: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka
dengan berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan …”Natijah bukanlah sekadar idea-idea yang tersusun dalam benak, melainkan melampauinya sampai kepada pengamalan dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah mengomentari ayat Ali ‘Imran tadi sebagai berikut:

[tulisan Arab]
Maksudnya adalah bahawa ayat-ayat tersebut merupakan metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari
ayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan amal.

Lebih jauh dapat ditambahkan bahawa “Khalq As-samawat wal Ardh” di samping bererti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan bumi, juga bermakna “memikirkan tentang sistem tata kerja alam semesta”. Kerana kata khalq selain bererti “penciptaan”, juga
bererti “pengaturan dan pengukuran yang cermat”. Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepada rahsia-rahsia alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat manusia.

Jadi, dapatkah dikatakan bahawa teknologi merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Al-Quran?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perlu diperhatikan.

Pertama, ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, terlihat secara jelas bahawa pembicaraannya selalu dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt.
Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam:

Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahawa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya, dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?
(QS Al-Anbiya’ [21]: 30).

Ayat ini difahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai isyarat tentang teori Big Bang (Ledakan Besar), yang mengawali terciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja berbeza pendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai proses
terjadinya pemisahan langit dan bumi. Yang pasti, ketika Al-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya dengan kekuasaan dan kebesaran Allah swt; serta keharusan beriman
pada-Nya.

Pada saat mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dari posisinya, sebagaimana kemudian dibuktikan para ilmuwan informasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah Swt.: ~ 

Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di tempatnya, padahal berjalan sebagaimana halnya awan. Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kukuh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan
(QS Al-Naml [27]: 88).

Ini bererti bahawa sains dan hasil-hasilnya harus selalu
mengingatkan manusia terhadap Kehadiran dan Kemahakuasaan Allah Swt., selain juga harus memberi manfaat bagi kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik.
Kedua, Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkhara yang maknanya bermuara kepada “kemampuan meraih –dengan mudah dan sebanyak yang diperlukan– segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dari alam raya melalui keahlian di bidang teknik”.
Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang erti harfiahnya menundukkan atau merendahkan, maksudnya adalah agar alam raya dengan segala manfaat yang dapat diraih darinya harus tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia. Bukankah manusia diciptakan oleh Allah swt sebagai khalifah? Tidaklah wajar seorang khalifah tunduk dan merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah swt kepadanya. Jika khalifah tunduk atau ditundukkan oleh alam. maka ketundukan itu tidak sejalan dengan maksud Allah Swt.

Di atas telah dikemukakan bahawa penundukan Allah swt terhadap alam raya bersama potensi yang dimiliki manusia –bila digunakan secara baik– akan membuahkan teknologi. Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahawa teknologi dan hasil-hasilnya di samping harus mengingatkan manusia kepada Allah swt, juga harus mengingatkan bahawa manusia adalah khalifah yang kepadanya tunduk segala yang berada di alam raya ini. Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkrit teknologi, dapat dikatakan bahawa pada mulanya teknologi merupakan perpanjangan organ manusia. Ketika manusia menciptakan pisau sebagai alat pemotong, alat ini menjadi perpanjangan tangannya. Alat tersebut disesuaikan dengan keperluan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada si Pemakai, melebihi tunduknya budak belian. Kemudian teknologi berkembang, dengan memadukan sekian banyak alat sehingga menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya, semuanya berkembang, khususnya ketika mesin tidak lagi
menggunakan sumber energi manusia atau binatang, melainkan air, wap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya, adalah mesin. Kini, pesawat udara tidak lagi menjadi Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau penciptaan
organ dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang memungkinkannya mampu terbang? Tetapi dengan pesawat, ia bagaikan memiliki sayap. Alat atau mesin tidak lagi menjadi budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.

Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih. Mesin-mesin tersebut melalui daya akal manusia –digabung-gabungkan dengan yang lainnya, sehingga semakin
kompleks, serta tidak boleh lagi dikendalikan oleh seorang. Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu mesti dilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telah menjadi semacam “seteru” manusia, atau lawan yang harus
disiasati agar mau mengikuti kehendak manusia. Dewasa ini telah lahir teknologi – khususnya di bidang rekayasa genetika– yang dikhawatirkan dapat menjadikan alat
sebagai majikan. Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal “majikan” yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jika begitu, ini jelas bertentangan dengan kedua catatan yang disebutkan di terdahulu.

Berdasarkan petunjuk kitab sucinya, seorang Muslim dapat menerima hasil-hasil teknologi yang sumbernya netral, dan tidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur “debu tanah”
manusia maupun unsur “ruh Ilahi” manusia.

Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan seseorang dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan hasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus
memperingatkan dan mengarahkan manusia yang menggunakan teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat mengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan penciptaan, sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Kerana itu,
menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi, dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan fikir dan zikir, ilmu dan iman?

Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Rasul Allah Muhammad Saw. pun diperintahkan agar berusaha dan berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni
‘ilma (Berdoalah [hai Muhammad], “Wahai Tuhanku, tambahlah untukmu ilmu”) (QS Thaha [20]: 114), kerana fauqa kullu zi ‘ilm (in) ‘alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada yang amat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72).

Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan. Rasulullah Saw. bersabda:
Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta. Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan
teknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah swt yang dilimpahkan kepadanya. Kerana itu, laju teknologi memang tidak dapat dibendung. Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diri agar tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta dan ilmu/teknologi yang dapat membahayakan dinnya. Agar ia tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinya sendiri kerana kepandaiannya.

Al-Quran menegaskan:

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya –kerana air itu–
tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga bahawa mereka mampu menguasainya (melakukan segala sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, maka kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir 
(QSYunus [10]: 24).
—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net




Tiada ulasan:

Catat Ulasan