Tujuh kali naik Haji tidak boleh melihat Kaabah “Kubur adalah rumah akhirat pertama, Bila selamat di kubur, maka yang setelahnya menjadi lebih mudah, bila tidak selamat di kubur, maka yang setelahnya lebih sulit.”
(HR. Tirmidzi dan Ibn Majah).
Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sihat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah swt, Tuhan Semesta Alam. “Labaik allahuma labaik,aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.
Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah(Bu,lihatl! ah Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya. Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan.
Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak boleh melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan. Padahal, tak ada masalah dengan kesihatan matanya.
Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak boleh melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan. Padahal, tak ada masalah dengan kesihatan matanya.
Beberapa minit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita.
Tujuh kali Haji Anak yang soleh itu bersimpuh di hadapan Allah swt. Ia solat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitulah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah swt, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugerah-Nya, dengan menatap Kaabah, kelak. Anak yang soleh itu berniat akan kembali membawa ibunya
berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya. Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Kaabah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan simbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak boleh melihat Kaabah.
berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya. Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Kaabah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan simbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak boleh melihat Kaabah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya. Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Kaabah.
Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis fikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Kaabah. Padahal, setiap berada jauh dari Kaabah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ? Apa yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala pertanya! an berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal kerana kesolehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan bererti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud. Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang soleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mahu menelefonnya. anak yang berbakti inipun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Iapun mahu menelefon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah swt.
Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.
“Anda harus berterus terang kepada saya, kerana masalah Anda bukan masalah kecil,” kata ulama itu pada Sarah. Sarah ! terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah menelefon.
“Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah sakit,” cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu.
“Tapi saya mencari wang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang.
Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.
“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, kerana tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan wang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka.”
Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah. “Astagfirullah……” betapa kejamnya wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah swt untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirosaknya, sehingga tidak jelas nasabnya. Apakah Sarah tidak tahu, bahawa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dalam perkawinan, terutama dalam masalah mahram atau muhrim, iaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah. “Cuma itu ?” tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahawa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan!”. ucap ulama dengan nada tinggi. “Lalu apa lagi yang Anda kerjakan?” tanya ulama itu lagi sedikit kesal. “Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama “Ya, tapi saya memandikan orang mati kerana ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya?” tanya ulama tidak mengerti. “Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati .”
“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya cuba lagi begitu seterusnya berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”
Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah. “Cuma itu yang kamu lakukan?”. “Masya Allah….!!!
Saya tidak boleh bantu anda. Saya angkat tangan”. Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu kejam, begitu keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu. Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah swt, kerana hanya Dialah yang boleh mengampuni dosa Anda.”
Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telefon. Ia berharap Sarah telah bertaubat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah swt akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah swt datang kepadanya. Kerana tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima telefon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu. “Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelefon ustaz,” ujar Hasan Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut. “Bagaimana ibumu meninggal, Hasan?” tanya ulama itu. Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelefon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas izin Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup rapat.
Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahawa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayat. Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian kerana pekerjaan mereka tak juga selesai. Siangpun berlalu, petang menjelang, bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali.
Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja
tergeletak di hamparan tanah kering kerontang. Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya di tempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.
Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja
tergeletak di hamparan tanah kering kerontang. Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya di tempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.
Dengan izin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, kerana terhalang tutup ! kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya, “Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!”. kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya. “Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu. Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan jenazah ibunya.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya. “Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu. Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan jenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan, melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langkah seribu, iapun bergegas meninggalkan tempat itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahawa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman kerana terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahawa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan izin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahawa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap,apapun perbuatan dosa yg telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.
Semoga kisah nyata ini boleh menjadi pelajaran bagi kita semua…
Aamiin
Sumber: Emel fwd.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan