Majlis ke Dua Puluh
Sembilan
Pelajaran
yang diambil dari Peristiwa Uhud
Ibnul
Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitab Zadul Maad beberapa
hikmah yang kesudahan yang terpuji yang boleh diambil dari perang Uhud, iaitu:
Pertama,
mengenalkan kepada kaum mukminin terhadap buruknya akibat perbuatan
durhaka/maksiat, gagal dan perselisihan dan sesungguhnya yang menimpa mereka
adalah kerana sialnya hal itu. Seperti firman Allah swt:
Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu
membunuh mereka dengan seizin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih
dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan
kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan
di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan
kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan
kamu.
(QS. Ali
Imran :152)
Maka
tatkala mereka merasakan akibat durhaka kepada Rasulullah saw, pertentangan dan
kegagalan mereka, mereka menjadi lebih hati-hati dan waspada setelah hal itu.
Kedua,
Sesungguhnya hikmah dan sunnah Allah swt pada para rasul dan para pengikut
mereka telah berlalu bahawa kemenangan terkadang berada di pihak mereka dan di
saat yang lain mereka merasakan kekalahan, akan tetapi kesudahan yang baik
adalah untuk mereka. Sesungguhnya jika mereka selalu menang, nescaya masuklah bersama mereka
orang-orang beriman dan selain mereka, dan tidak boleh dibezakan yang benar dan
tidak.
Ketiga,
berbezalah orang beriman yang benar dari orang munafik yang pembohong. Sesungguhnya ketika Allah
swt memberikan kemenangan kepada kaum muslimin terhadap musuh mereka di perang
Badar, pamor mereka naik, masuklah ke dalam agama Islam bersama mereka orang
yang tidak punya iman di batinnya. Maka hikmah Allah swt menuntut untuk mencoba
hamba-Nya untuk membedakan di antara yang beriman dan munafik. Maka orang-orang
munafik menampakkan kepala mereka di peperangan ini dan mengungkapkan apa-apa
yang mereka sembunyikan. Dan orang-orang beriman menyadari bahaawa mereka
mempunyai musuh dari dalam rumah mereka sendiri, maka mereka bersiap-siap dan
berhati-hati dari mereka.
Keempat,
mengeluarkan penghambaan wali-wali dan golongan-Nya di saat senang dan susah,
dalam perkara yang mereka suka dan benci, di saat kemenangan mereka dan
kemanangan musuh terhadap mereka. Maka apabila mereka tetap taat dan menyembah
dalam perkara yang mereka suka dan benci, maka mereka adalah hamba-Nya yang
sebenarnya.
Kelima,
sesungguhnya jika Allah swt selalu menolong mereka, memberikan kemenangan
terhadap musuh di setiap peperangan, dan selalu menjadikan keteguhan terhadap
musuh-musuh mereka, nescaya jiwa menjadi zalim dan menjadi tinggi, maka tidak
ada yang pantas untuk memperbaiki hamba-hamba-Nya kecuali senang dan susah.
Keenam,
sesungguhnya apabila Allah swt menguji mereka dengan kekalahan, tentu mereka
merasa hina dan tunduk, maka mereka pantas mendapatkan kemuliaan dan
kemenangan.
Ketujuh,
sesungguhnya Allah swt menyediakan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman tempat
(kedudukan) di negeri kemulian-Nya yang tidak boleh dicapai oleh amal ibadah
mereka dan mereka tidak mungkin mencapainya kecuali dengan bala dan cubaan,
maka Allah swt memberikan sebab kepada mereka yang menyampaikan mereka
kepadanya berupa cubaan dan ujian.
Kelapan,
dari kesihatan, kemenangan dan kekayaan sesungguhnya jiwa menjadi zalim dan
cenderung kepada dunia. Hal itu merupakan penyakit yang menghalangi
kesungguhannya berjalan menuju Allah swt dan negeri akhirat. Maka bila Rabb
ingin memberikan kemuliaan-Nya, Allah swt memberikan cubaan dan ujian yang
merupakan ubat terhadap penyakit tersebut. Maka cubaan dan ujian tersebut
bagaikan doktor yang memberikan ubat yang pahit kepada yang sakit, dan jikalau
Dia membiarkannya nescaya hawa nafsu akan menguasainya, hingga terjadilah
kebinasaan.
Kesembilan,
sesungguhnya mati syahid di sisi-Nya merupakan kedudukan tertinggi
wali-wali-Nya. Para
syuhada adalah orang-orang khusus dan hamba-hamba-Nya yang terdekat. Tidak ada
kedudukan setelah para shidiqin kecuali syahid. Dan tidak ada jalan untuk mendapatkan
darjat ini kecuali dengan takdir sebab-sebab yang membawa kepadanya berupa
kemenangan musuh.
Kesepuluh,
sesungguhnya apabila Allah swt ingin membinasakan musuh-musuh-Nya dan
memusnahkan mereka, Allah swt menciptakan sebab-sebab yang mengakibatkan
kebinasaan mereka, dan di antara penyebab terbesar setelah kekafiran mereka
adalah: kezaliman dan kecongkakan mereka, melewati batas dalam menyakiti,
memerangi dan membunuh para wali-Nya serta menguasai mereka. Maka hal itu
menghapuskan dosa dan aib mereka. Semua itu menjadi penyebab bertambahnya
sebab-sebab kebinasaan dan kehancuran musuh-musuh-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan