"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan
dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."
Q.S.
Ali-`Imran: 185
“Kalau sekiranya kamu dapat melihat malaikat-malaikat mencabut nyawa
orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka serta berkata,
“Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar.” (nescaya kamu akan merasa
sangat ngeri)
(QS.
Al-Anfaal : 50).
“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang
zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat
memukul dengan tangannya (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu!” Pada hari
ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, kerana kamu selalu
mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan kerana kamu selalu
menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.”
(QS. Al-
An’am : 93).
Kedahsyatan Saat Menjelang Maut
Ketahuilah
bahwa seandainya di hadapan manusia yang malang itu tidak ada teror, malapetaka
ataupun siksaan kecuali sakratul maut saja, maka itu sudah cukup untuk
menyusahkan hidupnya, menghalangi kegembiraannya, dan mengusir kealpaan maupun
kelengahannya. Seharusnya dia sentiasa memikirkan hal ini dan meningkatkan
perhatian dalam mempersiapkan diri untuk menghadapinya, apalagi kerana setiap
saat dia berada di dalam genggamannya.
Sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang filsuf, “Malapetaka di tangan orang lain tak boleh diramalkan”. Dan Luqman a.s pernah berkata kepada anaknya, “Wahai, anakku. Jika ada sesuatu yang tak boleh kau pastikan bila dia datang, maka persiapkan dirimu untuk menghadapinya sebelum dia mendatangimu sedangkan engkau dalam keadaan lengah.”
Yang
menghairankan adalah bahawa seringkali seorang manusia, meskipun dia tengah
menikmati hiburan atau berada di tempat yang paling menyenangkan, akan
merasakan cemas dengan kemungkinan kedatangan seorang “tentera” yang akan
menyerangnya. Kerana rasa cemas itu, kenyamanannyapun merasa terganggu dan
nafasnya terasa sesak. Akan tetapi, dia lalai akan keadaannya yang setiap saat
boleh didatangi oleh malaikat maut yang akan menimpakan ke atas dirinya derita
pencabutan nyawa. Tak ada lagi sebab bagi kelalaian seperti ini kecuali sikap
“masa bodoh” dan keteperdayaan.
Ketahuilah
bahawa keluarbiasaan rasa sakit dalam sakratul maut tak dapat diketahui dengan
pasti kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Sedangkan orang yang belum
pernah merasakannya hanya bisa mengetahuinya dengan cara menganalogikannya
dengan rasa sakit yang benar-benar pernah dialaminya atau dengan cara mengamati
orang lain yang sedang berada dalam keadaan sakratul maut. Lewat jalan analogi,
yang akan membuktikannya derita sakratul maut akan diketahui bahwa setiap
anggota badan yang sudah tidak bernyawa tidak lagi bisa merasakan sakit.
Jika ada
jiwa, maka serapan rasa sakit itu tentulah berasal dari aktiviti jiwa. Dan
ketika ada anggota tubuh yang terluka atau terbakar, maka pengaruhnya akan
menjalar kepada jiwa. Dan sesuai dengan kadar yang menjalar ke jiwa, maka
sebesar itu pula rasa sakit yang dialami oleh seseorang. Derita rasa sakit itu
terpisah dari daging, darah, dan semua anggota tubuh yang lain. Tak ada yang
boleh mencederai jiwa kecuali penyakit-penyakit tertentu. Jika salah satu dari
sekian banyak penyakit langsung mengenai jiwa dan tidak berpencar ke
bagian-bagian yang lain, maka betapa pedih dan kerasnya rasa sakit itu.
Sakratul
maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar
ke seluruh bagian jiwa, sehingga tak ada lagi satupun bagian jiwa yang terbebas
dari rasa sakit itu. Rasa sakit tertusuk duri misalnya, menjalar pada bagian
jiwa yang terletak pada anggota badan yang tertusuk duri.
Sedangkan pengaruh luka bakar lebih luas kerana bagian-bagian api menyebar ke bagian-bagian tubuh lain sehingga tidak ada bagian dalam ataupun luar anggota tubuh yang tidak terbakar, dan efek terbakar itu dirasakan oleh bagian-bagian jiwa yang mengalir pada semua bagian daging.
Adapun luka tersayat pisau hanya akan menimpa bagian tubuh yang terkena dan kerana itulah rasa sakit yang diakibatkan oleh luka tersayat pisau lebih ringan daripada luka bakar.
Akan
tetapi rasa sakit yang dirasakan selama sakratul maut menghujam jiwa dan
menyebar ke seluruh anggota badan sehingga pada orang yang sedang sekarat
merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat
saraf, persendian dari setiap akar rambut, kulit kepala sampai ke ujung jari
kaki. Jadi, jangan anda tanyakan lagi tentang derita dan rasa sakit yang tengah
dialaminya.
Kerana
alasan inilah dikatakan bahawa : “Maut lebih menyakitkan daripada tusukan
pedang, gergaji atau sayatan gunting”. Kerana rasa sakit yang diakibatkan oleh
tusukan pedang terjadi melalui asosiasi bagian tubuh yang tertusuk dengan ruh,
maka betapa sangat sakitnya jika luka itu langsung dirasakan oleh jiwa itu
sendiri!.
Orang yang ditusuk boleh berteriak kesakitan kerana masih adanya sisa tenaga dalam hati dan lidahnya. Sedangkan suara dan jeritan orang yang sekarat, terputus kerana rasa sakit yang amat sangat dan rasa sakit itu telah memuncak sehingga tenaga menjadi hilang, semua anggota tubuh melemah, dan sama sekali tak ada lagi daya untuk berteriak meminta pertolongan.
Orang yang ditusuk boleh berteriak kesakitan kerana masih adanya sisa tenaga dalam hati dan lidahnya. Sedangkan suara dan jeritan orang yang sekarat, terputus kerana rasa sakit yang amat sangat dan rasa sakit itu telah memuncak sehingga tenaga menjadi hilang, semua anggota tubuh melemah, dan sama sekali tak ada lagi daya untuk berteriak meminta pertolongan.
Rasa sakit itu telah melumpuhkan akalnya, membungkam lidahnya dan melemahkan semua raganya. Dia ingin sekali meratap, berteriak dan menjerit meminta tolong, namun dia tak kuasa lagi melakukan itu. Satu-satunya tenaga yang masih tersisa hanyalah suara lenguhan dan gemeretak yang terdengar pada saat ruhnya dicabut.
Warna
kulitnya pun berubah menjadi keabu-abuan menyerupai tanah liat, tanah yang
menjadi sumber asal-usulnya. Setiap pembuluh darah dicerabut bersamaan dengan
menyebarnya rasa pedih ke seluruh permukaan dan bagian dalamnya, sehingga bola
matanya terbelalak ke atas kelopaknya, bibirnya tertarik ke belakang, lidahnya
mengerut, kedua buah zakar naik, dan ujung jemari berubah warna menjadi hitam
kehijauan.
Jadi,
jangan lagi anda tanyakan bagaimana keadaan tubuh yang seluruh pembuluh
darahnya dicerabut, sebab satu saja pembuluh darah itu ditarik, rasa sakitnya
sudah tak kepalang. Jadi, bagaimanakah rasanya jika yang dicabut itu adalah
ruh, tidak hanya dari satu pembuluh, tetapi dari semuanya?…
Kemudian
satu per satu anggota tubuhnya akan mati. Mula-mula telapak kakinya menjadi
dingin, kemudian betis dan pahanya. Setiap anggota badan merasakan sekarat demi
sekarat, penderitaan demi penderitaan, dan itu terus terjadi hingga ruhnya
mencapai kerongkongannya. Pada titik ini berhentilah perhatiannya kepada dunia
dan manusia-manusia yang ada di dalamnya. Pintu taubat ditutup dan diapun
diliputi oleh rasa sedih dan penyesalan.
Rasulullah
SAW bersabda :
“Taubat seorang manusia tetap diterima selama dia belum sampai pada
sakratul maut.”
(Hakim,
IV.257).
Mujahid
mengatakan [dalam menafsirkan] Firman Allah SWT, ‘Taubat bukanlah untuk mereka
yang berbuat jahat, dan kemudian manakala maut telah datang kepada salah
seorang di antara mereka, dia berkata : “Sekarang aku bertaubat.” (Q.S. An-Nisaa, 4 : 18),
yakni ketika dia melihat datangnya utusan-utusan maut (yakni para malaikat
maut)’.
Pada saat
ini, wajah malaikat maut muncul di hadapannya. Janganlah Anda bertanya tentang
pahit dan getirnya kematian ketika terjadi sakratul maut!. Kerana itulah
Rasulullah SAW bersabda : “Ya Allah Tuhanku, ringankanlah sakratul maut bagi
Muhammad.” (Ibn Majah, Janaa’iz, 64).
Sesungguhnya sebab manusia tidak memohon perlindungan darinya dan tidak memandangnya dengan penuh rasa gentar adalah kerana kebodohan mereka. Ini di keranakan banyak hal yang belum pernah terjadi hanya bisa diketahui melalui cahaya kenabian dan kewalian. Itulah sebabnya para nabi alaihimussalaam dan para wali senantiasa berada dalam keadaan takut kepada maut. Bahkan Isa a.s bersabda, “Wahai, para sahabat. Berdoalah kepada Allah SWT agar DIA meringankan sekarat ini bagiku. Sebab rasa takutku kepadanya setiap saat justeru bisa menyeretku ke tepi jurangnya.”
Diriwayatkan
pada suatu ketika sekelompok Bani Israil berjalan melewati pekuburan, dan salah
seorang di antara mereka berkata kepada yang lain, “Bagaimana jika kalian
berdoa kepada Allah SWT agar DIA menghidupkan satu mayat dari pekuburan ini dan
kalian bisa mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya?” Mereka pun lalu berdoa
kepada Allah SWT. Tiba-tiba mereka berhadapan dengan seorang laki-laki dengan
tanda-tanda sujud di antara kedua matanya yang muncul dari salah satu kuburan
itu. “Wahai, manusia. Apa yang kalian kehendaki dariku? Lima puluh tahun yang
lalu aku mengalami kematian, namun kini rasa pedihnya belum juga hilang dari
hatiku!”.
Aisyah
r.a berkata, “Aku tidak iri kepada seorangpun yang dimudahkan sakratul maut
atasnya setelah aku menyaksikan gejolak sakratul maut pada diri Rasulullah
SAW.”
Diriwayatkan
bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya engkau telah mencabut nyawa
dari urat-urat, tulang hidung dan ujung-ujung jari. Ya Allah, tolonglah aku
dalam kematian, dan ringankanlah dia atas diriku.” (Ibn Abi’l-Dunya, K.
Al-Maut, Zabiidii, X.260).
Diriwayatkan
dari Al-Hasan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menyebut-nyebut kematian,
cekikan, dan rasa pedih. Beliau bersabda, “Sakitnya sama dengan tiga ratus
tusukan pedang.” (Ibn Abi’l-Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.260).
Suatu
ketika Beliau SAW pernah ditanya tentang pedihnya kematian. Dan Beliau
menjawab, “Kematian yang paling mudah ialah serupa dengan sebatang pohon duri
yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat
diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang terkoyak?” (Ibn Abi’l-Dunya,
K. Al-Maut, Zabiidii, X.260).
Suatu
ketika Beliau menjenguk seseorang yang sedang sakit, dan beliau bersabda, “Aku
tahu apa yang sedang dialaminya. Tak ada satu pembuluhpun yang tidak merasakan
pedihnya derita kematian.” (Al Bazzar, Al-Musnad, Haitsami, Majma`, II.322).
Ali k.w
biasa membangkitkan semangat tempur orang banyak dengan berkata, “Apakah kalian
semua tidak akan berperang dan lebih memilih mati dengan (cara biasa)? Demi
Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tusukan seribu pedang adalah lebih
ringan atasku daripada mati di tempat tidur.”
Al-Auzaa`i
berkata, “Telah disampaikan kepada kami bahwa orang mati itu terus merasakan
sakitnya kematian sampai dia dibangkitkan dari kuburnya.”
Syaddad
bin Aus berkata, “Kematian adalah penderitaan yang paling menakutkan yang
dialami oleh seorang yang beriman di dunia ini atau di akhirat nanti. Ia lebih
menyakitkan daripada dipotong-potong dengan gergaji, disayat dengan gunting,
atau digodok dalam belanga. Seandainya seseorang yang sudah mati bisa
dihidupkan kembali untuk menceritakan kepada manusia di dunia ini tentang
kematian, nescaya mereka tidak mempunyai gairah hidup dan tidak akan bisa
merasakan nikmatnya tidur.”
Zaid bin
Aslam meriwayatkan bahwa suatu ketika ayahnya berkata, “Jika bagi seorang
beriman masih ada derajat tertentu (maqam) yang belum berhasil dicapainya
melalui amal perbuatannya, maka kematian dijadikan sangat berat dan menyakitkan
agar dia bisa mencapai kesempurnaan derajatnya di surga. Sebaliknya, jika
seorang kafir mempunyai amal baik yang belum memperoleh balasan, maka kematian
akan dijadikan ringan atas dirinya sebagai balasan atas kebaikannya dan dia
nanti akan langsung mengambil tempatnya di neraka.”
Diriwayatkan
bahwa ada seseorang yang gemar bertanya kepada sejumlah besar orang sakit
mengenai bagaimana mereka mendapati (datangnya) maut. Dan ketika (pada
gilirannya) dia jatuh sakit, dia ditanya, “Dan engkau sendiri, bagaimana engkau
mendapatinya?” Dia menjawab, “Seakan-akan langit runtuh ke bumi dan ruhku
ditarik melalui lubang jarum.”
Dan Nabi
SAW berkata,
“Kematian yang tiba-tiba adalah rahmat bagi orang yang beriman, dan
nestapa bagi pendosa.”
(Abu
Daud, Janaa’iz, 10).
Diriwayatkan
dari Makhul bahwa Nabi SAW bersabda,
“Seandainya seutas rambut dari orang yang sudah mati diletakkan di atas
para penghuni langit dan bumi, nescaya dengan izin Allah SWT mereka akan mati
kerana maut berada di setiap utas rambut, dan tidak pernah jatuh pada
sesuatupun tanpa membinasakannya.”
(Ibn
Abi’l Dunya, K. Al-Maut, Zabiidii, X.262).
Diriwayatkan
bahwa ‘Seandainya setetes dari rasa sakitnya kematian diletakkan di atas semua
gunung di bumi, nescaya gunung-gunung itu akan meleleh.’
Diriwayatkan
bahwa ketika Ibrahim a.s meninggal dunia, Allah SWT bertanya kepadanya,
“Bagaimanakah engkau merasakan kematian, wahai teman-Ku?” dan beliau menjawab,
“Seperti sebuah pengait yang dimasukkan ke dalam gumpalan bulu yang basah,
kemudian ditarik.” “Yang seperti itu sudah Kami ringankan atas dirimu”,
Firman-Nya.
Diriwayatkan
tentang Musa a.s bahawa ketika ruhnya akan menuju ke hadirat Allah SWT, DIA
bertanya kepadanya, “Wahai Musa, bagaimana engkau merasakan kematian?” Musa
menjawab, “Kurasakan diriku seperti seekor burung yang dipanggang hidup-hidup,
tak mati untuk terbebas dari rasa sakit dan tak bisa terbang untuk
menyelamatkan diri.” Diriwayatkan juga bahwa dia berkata, “Kudapati diriku
seperti seekor domba yang dipanggang hidup-hidup.”
Diriwayatkan
bahwa ketika Nabi SAW berada di ambang kematian, di dekat Beliau ada seember
air yang ke dalamnya Beliau memasukkan tangan untuk membasuh mukanya seraya
berdoa, “Wahai Tuhanku, ringankanlah bagiku sakratul maut!” (Bukhari, “Riqaq”,
42). Pada saat yang sama, Fathimah r.a berkata, “Alangkah berat penderitaanku
melihat penderitaanmu, Ayah.” Tetapi Beliau berkata, “Tidak akan ada lagi
penderitaan ayahmu sesudah hari ini.” (Ibn Majah, Janaa’iz, 45).
Umar r.a
berkata kepada Ka`b Al-Ahbar, “Wahai Ka`b, berbicaralah kepada kami tentang
kematian!” “Baik, wahai Amirul Mu’minin,” jawabnya. “Kematian adalah sebatang
pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Kemudian seorang
laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya, maka ranting itu pun membawa serta
semua yang terbawa dan meninggalkan yang tersisa.”
Nabi SAW
bersabda,
“Manusia pasti akan merasakan derita dan rasa sakit kematian dan
sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain
seraya berkata, “Sejahteralah atasmu, sekarang kita saling berpisah hingga
datang hari kiamat.” (Qusyairi, Risalah, II.589)
Itulah
sakratul maut yang dirasakan oleh para Wali Allah dan hamba-hamba yang
dikasihi-Nya. Lalu bagaimanakah nanti yang akan kita rasakan nanti, padahal
kita selalu bergelimang dalam perbuatan dosa?
Bersamaan
dengan sakratul maut berturut-turut datang pula tiga macam petaka.
Petaka yang pertama adalah kedahsyatan peristiwa dicabutnya ruh, seperti yang telah dijelaskan. Petaka yang kedua adalah menyaksikan wujud malaikat maut dan timbulnya rasa takut di dalam hati. Manusia yang paling kuat sekalipun, tak akan sanggup melihat wujud malaikat maut saat menjalankan tugasnya untuk mencabut nyawa manusia yang penuh dosa.
Petaka yang pertama adalah kedahsyatan peristiwa dicabutnya ruh, seperti yang telah dijelaskan. Petaka yang kedua adalah menyaksikan wujud malaikat maut dan timbulnya rasa takut di dalam hati. Manusia yang paling kuat sekalipun, tak akan sanggup melihat wujud malaikat maut saat menjalankan tugasnya untuk mencabut nyawa manusia yang penuh dosa.
Diriwayatkan
bahawa suatu ketika Ibrahim a.s, sahabat Allah, bertanya kepada malaikat maut,
“Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu ketika mencabut nyawa manusia yang gemar
melakukan perbuatan jahat?”. Malaikat menjawab, “Engkau tidak akan sanggup.”
“Aku pasti sanggup,” jawab beliau. “Baiklah,” kata sang malaikat. “Berpalinglah
dariku.” Ibrahim a.s pun berpaling darinya. Kemudian ketika beliau berbalik
kembali, maka yang ada di hadapannya adalah seorang berkulit legam dengan
rambut berdiri, berbau ‘busuk’ dan mengenakan pakaian berwarna hitam. Dari
mulut dan lubang hidungnya keluar jilatan api.
Melihat pemandangan itu, Ibrahim a.s pun jatuh pingsan, dan ketika beliau sadar kembali, malaikat telah berubah dalam wujud semula. Beliau pun berkata, “Wahai, malaikat maut! Seandainya seorang pelaku kejahatan pada saat kematiannya tidak menghadapi sesuatu yang lain kecuali wajahmu, nescaya cukuplah itu sebagai hukuman atas dirinya.”
Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Daud a.s adalah seorang manusia
yang telaten (sangat peduli) terhadap isterinya dan akan mengunci semua pintu
jika dia bermaksud meninggalkan rumahnya. Suatu hari, setelah beliau mengunci
semua pintu dan pergi keluar rumah, isterinya masih mendapati seorang laki-laki
di dalam rumahnya. “Siapa yang mengizinkan laki-laki ini masuk?” tanyanya dalam
hati. “Seandainya Daud pulang, ia pasti akan marah.”
Ketika Daud a.s pulang dan melihat laki-laki itu, beliau bertanya, “Siapa engkau?” Laki-laki itu menjawab, “Aku yang tidak takut kepada raja dan tidak pernah boleh dihalangi oleh pengawal raja”. “Jadi, engkau adalah malaikat maut”, kata Daud a.s. Dan di tempat itu jugalah beliau wafat.”
Diriwayatkan
bahwa suatu ketika Isa a.s berjalan melewati sebuah tengkorak. Kemudian beliau
menyentuh tengkorak itu dan berkata, “Berbicaralah, dengan izin Allah”.
Tengkorak itu pun berkata, “Wahai, Ruh Allah! Aku adalah seorang raja yang
berkuasa di suatu zaman. Suatu hari ketika aku duduk di atas singgasana dengan
mengenakan mahkotaku dan dikelilingi oleh para menteriku, tiba-tiba muncul
malaikat maut di hadapanku sehingga seluruh anggota badanku menjadi beku dan
nyawaku kembali ke hadirat-Nya. Ah, seandainya tak pernah ada saat perpisahan
dengan orang-orang di sekelilingku, seandainya tak ada pemutus segala
kegembiraanku.”
Ini
adalah petaka yang menimpa para pendosa dan berhasil dihindari oleh orang-orang
yang taat. Sesungguhnya, para nabi telah menceritakan sakratul maut selain
kengerian yang dirasakan oleh orang yang melihat wujud malaikat maut. Bahkan
seandainya seseorang hanya melihatnya dalam mimpi saja, nescaya dia tidak akan
pernah merasakan lagi kegembiraan sepanjang hidupnya. Lalu, bagaimana pula jika
orang secara sadar melihatnya dalam bentuk seperti itu?
Namun,
manusia yang bertaqwa akan melihatnya (malaikat maut) dalam rupa yang bagus dan
indah. Ikrimah (putra shalih dari Abu Jahal, red.) telah meriwayatkan dari Ibn
Abbas bahwa Ibrahim a.s adalah seorang manusia yang penuh perhatian. Beliau
mempunyai rumah untuk beribadah dan selalu dikuncinya jika dia pergi.
Pada
suatu hari ketika pulang ke rumah, beliau melihat ada seorang laki-laki di
dalamnya. “Siapa yang mengizinkanmu masuk ke dalam rumahku?” tanya beliau.
Orang itu menjawab, “Aku diizinkan masuk oleh Pemiliknya”. “Tapi akulah pemilik
rumah ini,” kata Ibrahim a.s. Orang itu berkata, “Aku diizinkan masuk oleh DIA
yang lebih berhak atas rumah ini daripada engkau ataupun aku.” “Kalau begitu,
malaikat apakah engkau ini?” tanya beliau. “Aku adalah malaikat maut,” demikian
orang itu menjawab.
Ibrahim a.s lalu bertanya, “Dapatkah engkau memperlihatkan kepadaku rupamu ketika mencabut nyawa orang yang beriman (taat)?” “Tentu saja,” kata Malaikat itu. “Berpalinglah dariku.”
Ibrahim pun berpaling, dan ketika berbalik kembali ke arah malaikat itu, maka berdiri di hadapannya seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian indah dan menyebarkan bau harum mewangi. “Wahai, malaikat maut! Seandainya orang yang beriman, taat, melihat rupamu pada saat kematian, niscaya cukuplah itu sebagai imbalan atas amal baiknya,” kata beliau.
Petaka
selanjutnya adalah melihat kedua malaikat pencatat amal. (Menurut hadits yang
dinisbatkan kepada Nabi, “Allah telah mengamanatkan hamba-Nya kepada dua
malaikat yang mencatat amal-amalnya, baik dan buruk.” — Ahmad bin Mani`, Al-Musnad
; Ibn Hajar, Mathaalib, III.56).
Wuhaib mengatakan, ‘Telah disampaikan kepada kami bahawa tak seorangpun manusia yang mati kecuali akan diperlihatkan kepadanya dua malaikat yang bertugas mencatat amalnya. Jika dia seorang yang sholeh, maka kedua malaikat itu akan berkata, “Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepadamu, sebab engkau telah menyatakan kami untuk duduk di tengah-tengah kebaikan dan membawa kami hadir menyaksikan banyak perbuatan baikmu”. Akan tetapi jika dia adalah seorang pelaku kejahatan, maka mereka akan berkata kepadanya, “Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik sebab engkau telah hadirkan kami ke tengah-tengah perbuatan yang keji dan membuat kami hadir menyaksikan banyak perbuatan buruk, memaksa kami mendengarkan ucapan-ucapan buruk. Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik”. Ketika itulah orang yang sekarat itu menatap lesu ke arah kedua malaikat itu dan selamanya dia tidak akan pernah kembali ke dunia ini lagi’.
Petaka
yang ketiga dialami pada saat manusia-manusia yang berdosa menyaksikan
tempat mereka di neraka, dan rasa takut juga telah mencekam mereka sebelum
mereka menyaksikan peristiwa itu. Hal ini kerana ketika mereka berada dalam
sakratul maut, tenaga mereka telah hilang sementara ruh mereka mulai merayap keluar
dari jasad mereka. Akan tetapi, ruh mereka tidaklah keluar kecuali setelah
mereka mendengar suara malaikat maut menyampaikan salah satu dari dua kabar.
Kabar tersebut berupa, “Rasakanlah, wahai musuh Allah, siksaan neraka!” atau
“Bergembiralah, wahai sahabat Allah, dengan surga!”. Dari sinilah timbul rasa
takut di dalam hati orang-orang yang tak ber’aql (tidak menggunakan akal, red).
Nabi SAW
bersabda,
“Tak seorangpun di antara kalian yang akan meninggalkan dunia ini
kecuali telah diberikan tempat kembalinya dan diperlihatkan kepadanya tempatnya
di syurga atau di neraka.”
(Ibn
Abi`l-Dunya, K. Al-Maut ; Zabiidii, X.262).
Rasulullah
SAW juga bersabda,
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun akan
senang bertemu dengannya; dan barangsiapa membenci pertemuan dengan-Nya, maka
DIA pun tidak akan senang bertemu dengannya.” “Tetapi kami semua takut pada
kematian,” para sahabat berkata. Beliau pun menjawab, “Tidaklah sama sebab
ketika penderitaan yang dijumpai oleh orang yang beriman (taat) dalam menempuh
perjalanan menuju Allah telah dihilangkan, maka dia akan gembira bertemu dengan
Allah, dan Allah pun gembira bertemu dengannya.”
(Muslim,
Dzikr, 15).
Diriwayatkan
pada suatu saat menjelang akhir malam, Hudzaifah bin Al-Yaman berkata kepada
Ibn Mas`ud, “Bangunlah, dan lihatlah waktu apa sekarang.” Ibn Mas`ud pun bangun
dan melakukan hal yang diperintahkan kepadanya, dan ketika dia kembali, dia
berkata, “Langit telah memerah.” Hudzaifah kemudian berkata, “Aku berlindung
kepada-Mu dari perjalanan pagi menuju neraka.”
Suatu
ketika, Marwan menemui Abu Hurairah dan berkata, “Ya Allah, ringankanlah
bebannya.” Tetapi Abu Hurairah menyahut, “Ya Allah, perberatlah.” Lalu dia
mulai menangis seraya berkata, “Demi Allah, aku tidaklah menangis karena sedih
kehilangan dunia ini, tidak pula bersedih karena berpisah dengan kalian; tapi
aku sedang menanti salah satu di antara dua kabar dari Tuhanku: apakah kabar
neraka ataukah kabar surga.”
Diriwayatkan
bahawa Nabi SAW bersabda,
“Jika Allah Swt redha terhadap hamba-Nya, maka DIA akan berfirman,
‘Wahai Malaikat Maut, pergilah kepada si fulan dan bawalah kepada-Ku ruhnya
untuk Kuanugerahi kebahagiaan. Amalnya Kupandang telah mencukupi: Aku telah
mengujinya dan mendapatinya seperti yang Kuinginkan’. Malaikat itupun turun
bersama lima ribu malaikat lain. Semuanya membawa tongkat yang terbuat dari
kayu manis dan akar-akar tanaman safron, setiap malaikat itu menyampaikan pesan
dari Tuhannya. Kemudian para malaikat itu membentuk dua barisan untuk mempersiapkan
keberangkatan ruhnya. Ketika syaitan melihat mereka, dia meletakkan tangannya
di atas kepalanya dan menjerit keras-keras. Para bala tentaranya bertanya, ‘Ada
apa, tuanku ?’ Dia menjawab, ‘Tidakkah kamu lihat kehormatan yang telah
diberikan kepada manusia ini? Apakah kalian tidak melakukan tugas kalian
terhadap manusia ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami telah berusaha sekeras-kerasnya
terhadapnya, tetapi dia tak boleh dipengaruhi.”
(Ibn
Abi`l-Dunya, K. Al-Maut; Zabiidii, X.267).
Al-Hasan
berkata, “Tidak ada kebahagiaan bagi orang beriman kecuali dalam perjumpaannya
dengan Allah swt, dan barangsiapa dianugerahi perjumpaan tersebut, maka hari
kematiannya adalah hari kegembiraan, kebahagiaan, keamanan, kejayaan, dan
kehormatan.”
Menjelang
ajalnya, Jabir bin Zaid ditanya apakah ada sesuatu yang diinginkannya, dan dia
menjawab, “Aku ingin menatap wajah Al-Hasan.” Ketika Al-Hasan datang
menjenguknya, kepadanya dikatakan, “Inilah Al-Hasan.” Jabir lalu membuka
matanya untuk memandang Al-Hasan dan berkata, “Wahai, saudaraku. Saat ini, demi
Allah, aku berpamitan kepadamu untuk pergi, entah ke syurga ataukah ke neraka.”
Menjelang
ajalnya, Muhammad bin Wasi berkata, “Wahai, saudara-saudaraku. Selamat tinggal!
Aku pergi, entah ke neraka, ataukah menuju ampunan Tuhanku.”
Sebagian
orang berangan-angan untuk tetap berada dalam saat-saat kematian dan tak pernah
dibangkitkan untuk menghadapi pahala atau siksaan. Oleh kerana itu, rasa takut
terhadap kematian dalam keadaan berdosa (keadaan su`ul khotimah) mengoyak hati
orang-orang ‘arif, sebab hal itu termasuk ke dalam petaka dahsyat yang
menyertai kematian. Kami telah menjelaskan makna “akhir kehidupan yang buruk”
(su`ul khotimah) dan rasa takut orang-orang ‘arif terhadapnya di dalam ‘Kitab
Tentang Takut dan Harap’ (dalam Ihya IV, kitab ke-3). Bab tersebut masih
relevan dengan konteks pembicaraan sekarang.
Kesedihan
Ketika Berjumpa Malaikat Maut
Asy`ats
bin Aslam berkata, “Suatu ketika Ibrahim a.s mengajukan beberapa pertanyaan
kepada malaikat maut yang namanya adalah `Izrail. ‘Wahai malaikat maut, apa
yang engkau lakukan jika ada seorang manusia (yang sedang sekarat) di timur dan
seorang lagi di barat, atau ketika negeri sedang dilanda wabah, atau ketika dua
pasukan tentara sedang bertempur?’. Malaikat maut menjawab, ‘Kupanggil ruh-ruh
itu dengan izin Allah hingga mereka berada di antara kedua jariku ini.’ Dan
Ibrahim a.s berkata, ‘Kemudian bumi diratakan dan kelihatan seperti sebuah
hidangan yang dia makan sebanyak yang diinginkannya.’ ” Asy`ats berkata,
“Ketika itulah Allah SWT memberinya kabar gembira bahwa beliau adalah Kekasih
(khalil) (Q.S. An-Nisaa, 4 : 125)
Allah SWT.”
Sulaiman
putra Daud a.s bertanya kepada malaikat maut, “Mengapa aku tidak melihatmu
bertindak adil kepada umat manusia? Engkau mengambil nyawa seorang manusia
tetapi membiarkan yang lain.” “Aku tidak mengetahui hal itu lebih daripada yang
kau ketahui,” jawabnya. “Aku hanya diberi daftar dan buku-buku yang berisi
nama-nama.”
Wahb bin
Munabbih berkata, “Suatu ketika seorang raja berkeinginan pergi ke sebuah
provinsi. Dia minta dibawakan seperangkat pakaian, tapi tak ada di antara
pakaian itu yang menyenangkan hatinya. Setelah beberapa kali memilih, barulah
dia menemukan pakaian yang disukainya. Dengan cara yang sama, dia meminta
dibawakan seekor kuda, tapi ketika dibawakan, dia menolak kuda itu. Lalu
kuda-kuda yang lain dibawakan kepadanya hingga akhirnya dia menaiki kuda yang
paling baik di antaranya. Kemudian setan mendatanginya dan meniupkan sifat
takabur ke dalam lubang hidung raja itu. Setelah itu, dia dan rombongannya
memulai perjalanan dengan sikap penuh kesombongan. Akan tetapi, kemudian dia
didekati oleh seseorang bertampang kusut, kumal, yang mengucapkan salam
kepadanya. Ketika raja itu tidak menjawab salamnya, orang itu kemudian merampas
tali kekang kudanya. ‘Lepaskan tali kekangku!’ bentak sang raja. ‘Engkau telah
melakukan kesalahan besar!’ Namun, orang itu malah menukas, ‘Aku punya sebuah
permintaan kepadamu.’ ‘Tunggu sebentar,’ kata raja, ’sampai aku turun dari
kudaku.’ ‘Tidak,’ jawab orang itu. ‘Sekarang juga!’ dan dia lalu menarik tali
kekang kuda sang raja. ‘Baiklah, katakan apa permintaanmu,’ kata raja.
‘Permintaanku itu rahasia,’ jawab orang itu. Raja pun menundukkan kepalanya
kepada orang itu, dan orang asing itu kemudian berbisik kepadanya, ‘Aku adalah
malaikat maut!’ Mendengar itu, raja berubah air mukanya. Lidahnya bergetar dan
ia berkata, ‘Beri aku waktu agar aku bisa kembali kepada keluargaku untuk
mengucapkan selamat tinggal dan membereskan urusan-urusanku.’ ‘Tidak, demi
Allah,’ kata malaikat maut. ‘Engkau tidak akan pernah melihat keluarga dan
harta kekayaanmu lagi!’ Sambil berkata demikian, malaikat mencabut nyawa raja
itu yang tak lama kemudian tersungkur mati, bagaikan sebongkah kayu kering.”
“Kemudian
Malaikat meneruskan perjalanannya. Dia berjumpa dengan seorang beriman yang
membalas salamnya ketika dia mengucapkan salam kepadanya. ‘Aku punya permintaan
yang ingin kubisikkan ke telingamu,’ kata Malaikat. ‘Baiklah, akan
kudengarkan,’ kata orang itu. Si malaikat pun membisikkan rahasianya dan
berkata, ‘Aku adalah malaikat maut!’ Orang beriman itu menjawab, ‘Selamat datang,
wahai siapa yang telah lama kunanti-nantikan. Demi Allah, tak ada siapapun di
muka bumi ini yang lebih kunanti daripada dirimu.’ Mendengar itu, malaikat maut
berkata kepadanya, ‘Selesaikanlah urusanmu yang telah menjadi maksud
keberangkatanmu.’ Namun, orang itu menjawab, ‘Aku tidak mempunyai urusan lain
yang lebih penting dan lebih kucintai daripada bertemu dengan Allah SWT.’ Dan
malaikat berkata kepadanya, ‘Kalau begitu, pilihlah keadaanmu yang paling kau
sukai untuk aku mengambil nyawamu.’ ‘Apakah engkau bisa melakukannya?’ orang
itu bertanya. Malaikat menjawab, ‘Ya, demikianlah aku diperintahkan.’ ‘Kalau
begitu, tunggulah aku sebentar, agar aku bisa berwudhu dan shalat, lalu
ambillah nyawaku selagi aku bersujud.’ Dan Malaikat pun melakukan hal yang
diminta oleh orang beriman itu.”
Bakr bin
`Abdullah Al-Mazani berkata, “Suatu ketika seorang laki-laki dari Bani Israil
mengumpulkan sejumlah besar kekayaan. Ketika dia telah dekat dengan ajalnya,
dia berkata kepada anak-anaknya, ‘Perlihatkanlah kepadaku berbagai macam
kekayaanku!’ Lalu, dibawakanlah kepadanya sejumlah besar kuda, unta, budak dan
harta benda yang lain. Ketika dia melihat semua itu, dia pun mulai menangis
kerana tak kuasa berpisah dengannya. Melihat orang itu menangis, malaikat maut
pun bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau menangis? Sungguh, demi DIA yang telah
memberimu anugerah semua ini, aku tidak akan meninggalkan rumahmu sebelum
memisahkan nyawamu dari ragamu.’ ‘Berilah aku waktu sebentar,’ orang itu
memohon kepadanya, ‘agar aku bisa membagi-bagikan kekayaanku.’ ‘Alangkah
bodohnya!’ kata malaikat maut. ‘Waktumu telah berakhir. Seharusnya engkau telah
mengerjakan hal itu sebelum habis waktumu.’ Sambil berkata begitu,
dicabutnyalah nyawa orang itu.”
Diceritakan
bahwa suatu ketika seorang laki-laki telah mengumpulkan kekayaan yang besar
hingga tidak ada satu jenis kekayaan pun yang tidak berhasil diraihnya. Dia
membangun sebuah istana dengan dua pintu gerbang yang sangat kuat. Dia membayar
sepasukan pengawal yang terdiri dari orang-orang muda. Kemudian dia mengundang
seluruh sanak keluarganya dan menjamu mereka dengan makanan. Setelah itu dia
duduk di atas sofa sambil mengangkat kaki, sementara sanak keluarganya makan
minum.
Setelah
mereka selesai makan, dia berkata kepada dirinya sendiri, ‘Bersenang-senanglah
selama bertahun-tahun kerana aku telah mengumpulkan semua yang engkau
perlukan.’ Akan tetapi, baru saja dia mengucapkan perkataan itu, datanglah
malaikat maut dalam wujud seorang laki-laki berpakaian compang-camping seperti
seorang pengemis. Laki-laki itu memukul pintu gerbang dengan sangat keras dan
mengejutkan orang kaya yang sedang berada di atas tempat tidurnya.
Orang-orang
muda yang menjadi pengawalnya melompat dan bertanya, ‘Apa urusanmu di sini?’
‘Panggilkan tuanmu,’ kata orang itu. ‘Haruskah tuan kami datang menemui orang
semacam engkau ini?’ tanya mereka. ‘Ya,’ jawabnya. Dan ketika mereka
menyampaikan kepada tuan mereka hal yang terjadi, dia berkata, ‘Kalian telah
berbuat semestinya.’ Akan tetapi, kemudian pintu gerbang diketuk lagi dengan
suara yang lebih keras daripada sebelumnya. Dan ketika para pengawal melompat
untuk berbicara kepada orang itu, dia berkata, ‘Katakan kepadanya bahawa aku
adalah malaikat maut.’
Ketika
mendengar perkataan orang itu, mereka menjadi ngeri dan orang kaya itu juga
merasa sangat hina dan rendah. ‘Berbicaralah kepadanya dengan sopan,’
perintahnya kepada mereka. ‘Dan tanyakan kepadanya apakah dia akan mengambil
nyawa seseorang di rumah ini.’ Namun kemudian malaikat masuk dan berkata,
‘Berbuatlah sesuka hatimu kerana aku tidak akan meninggalkan rumah ini sebelum
aku mencabut nyawamu.’ Lalu orang kaya itu memerintahkan agar semua kekayaannya
dibawa ke hadapannya. Setelah semuanya berada di depan matanya, dia berkata
(kepada harta bendanya), ‘Semoga Allah mengutukmu sebab engkau telah
memalingkan aku dari beribadah kepada Tuhanku dan menghalang-halangi aku dari
pengabdian kepada-Nya.’
Allah
membuat harta bendanya berbicara, ‘Mengapa engkau menghinaku sedangkan kerana
akulah engkau boleh diterima para sultan, padahal orang-orang yang bertakwa
kepada Allah malah diusir dari pintunya? Kerana akulah engkau boleh mengahwini
wanita-wanita lacur, duduk bersama raja-raja dan membelanjakanku di jalan
keburukan. Namun aku tak pernah membantah. Seandainya saja engkau membelanjakan
aku di jalan kebaikan, nescaya aku telah memberi manfaat kepadamu. Engkau dan
semua anak Adam diciptakan dari tanah, kemudian sebagaian dari mereka
memberikan sedekah, sedang yang lain berbuat keji.’ Malaikat maut pun segera
mencabut nyawa orang kaya itu dan robohlah orang itu ke lantai.
Wahb bin
Munabbih berkata, ‘Suatu ketika malaikat maut mencabut nyawa seorang penguasa
tiran yang tidak ada tandingannya di muka bumi. Kemudian malaikat itu naik
kembali ke langit. Malaikat-malaikat lain bertanya kepadanya, ‘Kepada siapa di
antara orang-orang yang telah kau cabut nyawanya, engkau telah menaruh belas
kasihan?’ Malaikat itu menjawab, ‘Suatu ketika aku pernah diperintahkan
mencabut nyawa seorang perempuan di padang pasir. Ketika aku mendatanginya, dia
baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Aku pun menaruh belas kasihan
kepada perempuan itu kerana keterpencilannya dan juga kasihan terhadap anak
laki-laki perempuan itu, kerana betapa dia masih sangat kecil namun tak terawat
di tengah buasnya padang pasir.’ Lalu para malaikat itu berkata, ‘Penguasa
lalim yang baru saja engkau cabut nyawanya itu adalah anak kecil yang dulu
pernah engkau kasihani.’ Malaikat maut kemudian berujar, ‘Maha Suci DIA yang
memperlihatkan kebaikan kepada yang dikehendaki-Nya.’
`Atha bin
Yasar berkata, “Pada setiap tengah malam bulan Syaaban, malaikat maut menerima
lembaran tulisan dan dikatakan kepadanya, ‘Tahun ini engkau harus mencabut
nyawa orang-orang yang namanya tercantum dalam lembaran ini.’ Seorang laki-laki
boleh jadi sedang menanam tanam-tanaman, mengawini wanita-wanita, dan membangun
gedung-gedung, sementara dia tak menyadari bahwa namanya ada dalam daftar
tersebut.”
Al-Hasan
berkata, “Setiap hari malaikat maut memeriksa setiap rumah tiga kali dan
mencabut nyawa orang-orang yang rezekinya telah habis dan umurnya telah
berakhir. Apabila dia telah melakukan hal itu, maka seisi rumah yang
bersangkutan akan meratap dan menangis. Sambil memegang gagang pintu, malaikat
maut berkata, ‘Demi Allah, aku tidak memakan rezekinya, tidak menghabiskan
umurnya, dan tidak memperpendek batas hidupnya. Aku akan selalu kembali dan
kembali lagi ke tengah-tengah kalian hingga tak ada lagi yang tersisa di antara
kalian!’ “. Al-Hasan berkata, “Demi Allah, seandainya mereka bisa melihatnya
berdiri di situ dan mendengar kata-katanya, nescaya mereka akan melupakan
jenazah tersebut dan menangisi diri mereka sendiri.”
Yazid
Al-Ruqasyi berkata, “Ketika seorang penguasa lalim dari Bani Israil sedang
duduk seorang diri di istananya tanpa ditemani oleh salah seorang isterinya,
masuklah seorang laki-laki melalui pintu istananya. Penguasa tiran itu marah
dan berkata, ‘Siapa engkau? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke dalam rumahku?’
Orang itu menjawab, ‘Yang mengizinkan aku masuk ke dalam rumah ini adalah
pemilik rumah ini. Sedangkan aku adalah yang tak boleh dihalangi oleh seorang
pengawal pun dan tidak pernah meminta izin untuk masuk bahkan kepada raja-raja
sekalipun, tidak pernah takut kepada kekuatan raja-raja yang perkasa dan tidak
pernah diusir oleh penguasa tiran yang keras kepala ataupun syaitan
pembangkang.’
Mendengar
itu, penguasa lalim tersebut menutup mukanya, dan dengan tubuh gemetar dia
jatuh tersungkur. Kemudian dia bangkit dengan wajah memelas. ‘Jadi engkau
adalah malaikat maut ?’ tanyanya. ‘Ya,’ jawab laki-laki itu. ‘Sudikah engkau
memberiku kesempatan agar aku bisa memperbaiki kelakuanku?’ Alangkah bodohnya
engkau,’ jawab sang malaikat, ‘Waktumu telah habis, nafasmu dan masa hidupmu
telah berakhir; tidak ada jalan lagi untuk memperoleh penangguhan.’ Penguasa
tiran itu lalu bertanya, ‘Kemana engkau akan membawaku?’ ‘Kepada amal-amalmu
yang telah engkau kerjakan sebelumnya. Dan juga ke tempat tinggal yang telah
engkau dirikan sebelumnya,’ jawab malaikat. ‘Bagaimana mungkin,’ kata sang
tiran, ‘Aku belum pernah mempersiapkan amal baik dan rumah baik yang
bagaimanapun.’ Malaikat pun menjawab, ‘Kalau begitu, ke neraka, yang menggigit
hingga ke pinggir-pinggir tulang.’ (Q.S. Al-Ma’arij, 70 :
15-16).
“Kemudian
Malaikat mencabut nyawa sang tiran, dan diapun jatuh mati di tengah-tengah
keluarganya, di tengah-tengah mereka yang kemudian meratap-ratap dan menjerit.”
Yazid Al-Ruqasyi berkata, “Seandainya mereka mengetahui bagaimana buruknya
neraka itu, tentu mereka akan menangis lebih keras lagi.”
Al-A`masy
meriwayatkan dari Khaitsamah, bahwa suatu ketika malaikat maut mendatangi
Sulaiman putra Daud a.s dan mulai mengamati salah seorang dari
sahabat-sahabatnya. Ketika dia telah pergi, sahabat itu bertanya, “Siapa itu
tadi?” Dan dikatakan kepadanya bahawa itu adalah malaikat maut. Berkatalah
sahabat itu, “Kulihat dia memandangiku seolah-olah dia mengincarku.” “Lalu, apa
keinginanmu?” tanya Sulaiman. “Saya ingin agar Tuanku menyelamatkan saya
darinya dengan menyuruh angin membawa saya ke tempat yang paling jauh di
India.” (Sulaiman memiliki kemampuan mengatur arah angin, Q.S. Al-Anbiyaa, 21 : 81).
Angin pun kemudian melakukan apa yang diperintahkan.
Ketika
malaikat maut datang lagi, Sulaiman a.s bertanya kepadanya, “Kulihat engkau
menatap terus-menerus ke arah salah seorang sahabatku?” “Ya,” kata Malaikat,
“Aku sangat heran sebab aku telah diperintahkan untuk mencabut nyawanya di
bagian paling jauh di India dengan segera. Namun melalui engkau, dia malah
sedang menuju ke tempat itu. Oleh kerana itu, aku heran.” ***
Dikutip
dari: Al-Ghazali. Metode Menjemput Maut Perspektif Sufistik.
Penerbit Mizan. 1999.).
Sumber: Nina Kirana. Kedahsyatan Saat Menjelang Maut. penyair at yahoogroups.com. 2 April 2005. (Dengan pengeditan seperlunya, tanpa mengubah makna).
Sumber: Nina Kirana. Kedahsyatan Saat Menjelang Maut. penyair at yahoogroups.com. 2 April 2005. (Dengan pengeditan seperlunya, tanpa mengubah makna).
***
Cara
Malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang
bersangkutan, bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada Allah,
maka Malaikat Izrail mencabut nyawa secara kasar. Sebaliknya, bila terhadap
orang yang soleh, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan dengan hati-hati.
Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat
menyakitkan.
“Sakitnya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul
pedang”.
(H.R.
Ibnu Abu Dunya).
Di dalam
kisah Nabi Idris a.s, beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan solat
sampai puluhan rakaat dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam
kesibukannya sehari-hari. Catatan amal Nabi Idris a.s yang sedemikian banyak,
setiap malam naik ke langit. Hal itulah yang sangat menarik perhatian Malaikat
Maut, Izrail. Maka bermohonlah ia kepada Allah Swt agar diperkenankan
mengunjungi Nabi Idris a.s. di dunia. Allah Swt, mengabulkan permohonan
Malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang
lelaki tampan, dan bertamu ke rumah Nabi Idris.
“Assalamu’alaikum,
yaa Nabi Allah”. Salam Malaikat Izrail,
“Wa’alaikum
salam wa rahmatullah”. Jawab Nabi Idris a.s.
Beliau
sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu ke rumahnya itu adalah
Malaikat Izrail. Seperti tamu yang lain, Nabi Idris a.s. melayani Malaikat
Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris a.s. mengajaknya makan
bersama, namun ditolak oleh Malaikat Izrail. Selesai berbuka puasa, seperti
biasanya, Nabi Idris a.s mengkhususkan waktunya “menghadap”. Allah sampai
keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail. Juga
ketika Nabi Idris terus-menerus berzikir dalam melakukan kesibukan
sehari-harinya, dan hanya berbicara yang baik-baik saja. Pada suatu hari yang cerah,
Nabi Idris a.s mengajak jalan-jalan “tamunya”. Itu ke sebuah perkebunan di mana
pohon-pohonnya sedang berbuah, ranum dan menggiurkan.
“Izinkanlah
saya memetik buah-buahan ini untuk kita”. pinta Malaikat Izrail (menguji Nabi
Idris a.s). “Subhanallah, (Maha Suci Allah)” kata Nabi Idris a.s. “Kenapa?”
Malaikat Izrail pura-pura terkejut.
“Buah-buahan
ini bukan milik kita”. Ungkap Nabi Idris a.s. Kemudian Beliau berkata: “Semalam
anda menolak makanan yang halal, kini anda menginginkan makanan yang haram”.
Malaikat Izrail tidak menjawab. Nabi Idris a.s perhatikan wajah tamunya yang
tidak merasa bersalah. Diam-diam beliau penasaran tentang tamu yang belum
dikenalnya itu. Siapakah gerangan ? pikir Nabi Idris a.s.
“Siapakah
engkau sebenarnya ?” tanya Nabi Idris a.s.
“Aku
Malaikat Izrail”. Jawab Malaikat Izrail. Nabi Idris a.s terkejut, hampir tak
percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya. “Apakah kedatanganmu untuk
mencabut nyawaku ?” selidik Nabi Idris a.s serius.
“Tidak” Senyum Malaikat Izrail penuh hormat.
“Atas izin Allah, aku sekadar berziarah kepadamu”. Jawab Malaikat Izrail. Nabi Idris manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam. “Aku punya keinginan kepadamu”. Tutur Nabi Idris a.s “Apa itu? katakanlah!”. Jawab Malaikat Izrail. “Kumohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang. Lalu mintalah kepada Allah SWT untuk menghidupkanku kembali, agar bertambah rasa takutku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku”. Pinta Nabi Idris a.s. “Tanpa seizin Allah, aku tak dapat melakukannya”, tolak Malaikat Izrail.
Pada saat
itu pula Allah SWT memerintahkan Malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan
Nabi Idris a.s. Dengan izin Allah Malaikat Izrail segera mencabut nyawa Nabi
Idris a.s. sesudah itu beliau wafat. Malaikat Izrail menangis, memohonlah ia
kepada Alloh SWT agar menghidupkan Nabi Idris a.s. kembali. Allah mengabulkan
permohonannya. Setelah dikabulkan Allah Nabi Idris a.s. hidup kembali.
“Bagaimanakah
rasa mati itu, sahabatku ?” Tanya Malaikat Izrail.
“Seribu
kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti”. Jawab Nabi Idris a.s.
“Caraku
yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu”. Kata Malaikat Izrail.
MasyaAllah,
lemah-lembutnya Malaikat Maut (Izrail) itu terhadap Nabi Idris a.s.
Bagaimanakah
jika sakaratul maut itu, datang kepada kita?
Siapkah
kita untuk menghadapinya?
/*Dikutip
dari: http://www.dudung.net/index.php?naon=depan&action=detail&id=69&cat=2
Tiada ulasan:
Catat Ulasan